-- P Ari Subagyo*
TIDAK ada realitas di luar bahasa. Karena itu, semua peristiwa kekerasan—termasuk ”Tragedi Monas” 1 Juni 2008—pasti melibatkan bahasa.
Bermula dari hasutan kata-kata, lalu terbakarlah amarah massa. Nalar menjadi pudar, budi tersungkur mati. Yang tinggal hanya gelegak emosi. Setiap kali kekerasan terjadi, setiap kali pula terbukti, kata-kata lebih tajam daripada pedang. Words are mightier than swords.
Sebagai buah evolusi fisiologis dan peradaban manusia, bahasa menjadi pembeda manusia dari satwa. Dengan bahasa, manusia mewujudkan kemanusiaannya. Tak heran Sudaryanto (Menguak Fungsi Hakiki Bahasa, 1990) menyimpulkan, fungsi hakiki bahasa adalah pengembang akal budi dan pemelihara kerja sama. Simpulan itu merupakan hasil perasan kritis-reflektif berbagai ide tentang fungsi bahasa dari Bühler, Révész, Jakobson, Sapir, Pei, Leech, Hymes, Malinowsky, Ogden & Richards, Halliday, hingga Wood.
Masalahnya, mengapa bahasa terus menjadi pemicu kekerasan? Mengapa bahasa justru mencederai kemanusiaan yang dilekati, diabdi, dan menjadi alasan meng-ada-nya?
Kekerasan verbal
Menurut Bourdieu (Language and Symbolic Power, 1992), bahasa menjadi sarana perwujudan kuasa simbolik (symbolic power). Bahasa lalu memungkinkan terjadinya kekerasan verbal (verbal violence) melalui kata-kata yang merendahkan, mengancam, atau menyudutkan. Pihak lain tercitrakan sebagai ancaman atau sosok menjijikkan yang wajib dibinasakan. Kekerasan verbal lalu memicu kekerasan fisik (physical violence) dan anarkisme.
Namun, kekerasan verbal tak melulu akibat manifestasi kuasa simbolik. Secara natural atau kultural, sejumlah kata berasosiasi dengan kekerasan. Kata-kata seperti membunuh, menyerbu, menyerang, menendang, dan menghantam dalam dirinya telah bermakna kekerasan.
Begitu pun lembaga dan jabatan semacam front, laskar, milisi, komando, komandan, dan panglima berasosiasi dengan kekerasan sebab menghadirkan nuansa perang. Maka, nama ormas yang berasosiasi dengan kekerasan atau berpotensi menimbulkan kekerasan seyogianya ditinjau ulang. Apalagi ormas-ormas semacam itu—apa pun motif pembentukannya—telah menjadi kelompok bersenjata yang tak segan mengambil alih fungsi aparat keamanan dan penegak hukum.
Kekerasan verbal sebenarnya hadir amat lembut dalam pronomina aku-kamu dan kita-mereka yang ada nyaris di semua bahasa. Pronomina itu diam-diam membentuk paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka” yang asimetris. Bahasa memang dapat membangun solidaritas sekaligus permusuhan, seperti kata Jay (The Psychology of Language, 2003), ”Language brings us together, and it separates us from others. Language establishes who we and who we are not”.
Paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka” gamblang terpampang terutama dalam nama-nama ormas atau tim ad hoc yang beridentitas agama. Paradigma itu tak tersadari telah menjadi kerangka berpikir dalam memandang sesama: si A bagian kita, sedangkan si B bagian mereka!
Harap maklum, nama agama dan segala kata yang bersangkutan dengan agama begitu gampang menyulut sentimen pengikutnya. Sentimen itu tentu melulu bermuatan emosi, bukan nalar dan kearifan.
Pengawafungsian
Tidak selamanya bahasa berfungsi mulia. Sesekali bahasa justru sengaja untuk mengerdilkan akal budi dan memecah kerja sama. Saat kebencian dan kemarahan tidak tertahan, kata-kata menjadi sarana pelampiasan. Jelas itu bukan fungsi bahasa yang diharapkan karena fungsinya telah diselewengkan, bahkan digerogoti atau dienyahkan. Penggerogotan atau pengenyahan fungsi hakiki itulah yang disebut ”pengawafungsian” bahasa (Sudaryanto, 1990).
Padahal, begitu pengawafungsian bahasa terjadi, saat itu juga kebudayaan gagal dikreasi. Roda peradaban terhenti. Bahkan, kebudayaan yang sudah ada dapat dihancur-musnahkan. Rumah, gedung, kemitraan, dan mutiara peradaban, yang dibangun bertahun-tahun, dalam sekejap binasa akibat pengawafungsian bahasa.
Lagi-lagi, kata dan idiom yang membawa identitas agama harus disebut karena begitu rentan diawafungsikan. Tak hanya karena sarat paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka”, tetapi kata-kata berbau agama juga akrab dengan penalaran totem pro pars. Menyebut keseluruhan, tetapi sebenarnya hanya mewakili sebagian. Praktik pengatas-namaan agama dengan berbagai dalih pun marak, lengkap dengan sesat pikirnya. Padahal, tidak ada realitas tunggal, termasuk dalam agama dan keyakinan.
Menyangkut Jakarta, menarik ditengok kesaksian Lubis (2008) dalam Jakarta 1950-an. Sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian, dan ajang pertarungan aneka kepentingan, Jakarta sejak awal republik telah diriuhkan berbagai laskar rakyat, yang disebut Lubis ”the militia of Jakarta”. Siapa pun dapat mendirikan laskar asal memiliki keberanian dan karisma seorang warlord. Anggota direkrut begitu saja dari masyarakat. Untuk membangkitkan sentimen, digunakan atribut khususnya agama dan kedaerahan. Mereka tidak segan merampok, memerkosa, mengancam, dan meresahkan warga yang tergolong ”bukan kita”. Jadi, Jakarta memang lahan subur pengawafungsian bahasa.
Kesalehan lingual
Bangsa ini perlu mengupayakan kesalehan lingual, yakni kearifan berbahasa agar memendam kata-kata yang menebar permusuhan dan memicu kekerasan. Chapman (dalam The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate) menawarkan lima ”bahasa kasih”, salah satunya words of affirmation (kata-kata penguatan) guna memampukan pasangan membangun kepercayaan dan citra diri.
Tawaran Chapman memang untuk relasi interpersonal suami-istri. Situasinya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan ”rumah tangga” Indonesia yang rumit penuh silang-sengketa kepentingan. Tawaran itu dapat dijadikan inspirasi mengelola lidah dan kata-kata demi menghasilkan bahasa kasih. Apalagi genderang ”perang” kampanye Pemilu 2009 segera berdentang. Repotnya, lidah dan kata-kata digerakkan pikiran, perasaan, keinginan, juga kepentingan. Kesalehan lingual memang menuntut kerelaan dan kedewasaan kita sebagai bangsa.
* P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008
No comments:
Post a Comment