-- St Sularto
MENURUT Antonio Gramsci (1891-1937), sejarah dan politik tidak bisa lepas dari keterikatan intelektual dan masyarakat (Selections from Political Writings 1921-1926). Cendekiawan harus memihak kelas atau kelompok tertentu. Justru kalau kaum intelektual terbenam dalam menara gading dengan moralitasnya dan abai memberikan sumbangan untuk masyarakatnya, mereka adalah intelektual yang tak bermoral.
Bagaimana cendekiawan, secara simpel diartikan sebagai intelektual yang pandangan dan perhatiannya keluar dari kerangkeng disiplin tertentu, berkontribusi pada pengembangan masyarakat?
Sebagai ilmuwan, cendekiawan memberikan sumbangan berupa analisis, melihat masalah secara holistis, dan menawarkan solusi, termasuk mendudukkan persoalan. Mereka menjadi pendamping masyarakat yang sering bingung oleh perubahan serba cepat, dunia sekeliling yang lari tunggang langgang.
Media massa cetak, dalam hal ini harian Kompas, sejak awal terbitnya pada 28 Juni 1965, menyediakan halaman khusus untuk penulis luar. Halaman itu ibarat hyde park bagi siapa saja untuk beradu pendapat, beradu argumen tentang berbagai masalah kemasyarakatan, termasuk tata cara santun menyampaikan kritik.
Ruangan ”demokratis” itu dimaksudkan untuk mendorong berkembang suburnya bunga di kebun perdebatan secara intelektual. Oleh karena itu, visioner sifatnya, bersemangat serba terbuka sebagai salah satu nuansa demokratisasi.
Sengaja ditempatkan berdekatan dengan Tajuk Rencana untuk menegaskan fungsinya sebagai halaman adu argumentasi yang demokratis. Mereka mengajak berpikir, beradu pendapat dengan arah sebagai bagian dari darma bakti intelektual. Tulisan mereka pun memperkuat peranan yang ingin dimainkan media, yakni ikut serta mencerdaskan masyarakat.
Para penulis itu berkesempatan mengeksploitasi tidak sekadar sebagai intelektual pada bidang keahlian atau disiplin ilmunya, tetapi sebagai cendekiawan yang meramaikan perjalanan demokratisasi.
Para kolumnis Kompas selama ini tidak hanya berasal dari kaum intelektual yang berasal atau memperoleh brevet kesarjanaan. Pendeknya, tidak semua ilmuwan atau kaum intelektual adalah cendekiawan.
Tanpa mengecilkan makna gelar kesarjanaan, pemuatan karya mereka terutama dipertimbangkan berdasar isi artikel dan cara menyampaikan, tanpa meninggalkan faktor aktualitas sebagai jati diri sebuah harian.
Dengan memuat pemikiran mereka, Kompas memberikan tempat bagi terealisasinya tugas kecendekiawanan. Di samping mereka yang aktif, produktif, dan setia sebagai kontributor, Kompas menghargai pula ilmuwan-cendekiawan yang setia, asketis, dan produktif menekuni dan mengembangkan pemikirannya untuk perkembangan masyarakat.
Cendekiawan kelompok kedua itu relatif kurang dikenal. Mereka melakukan mesu budi, ulah asketisme intelektual seperti yang ditunjukkan tokoh-tokoh seperti Sartono Kartodirdjo, JB Mangunwijaya, Parsudi Suparlan, Koentjaraningrat, dan Selo Soemardjan.
Antara Kompas dan para kontributor ada hubungan simbiose mutualistis. Kesempatan merayakan ulang tahun dipakai untuk bersyukur dan berterima kasih. Kompas memberikan apresiasi dengan nama Penghargaan Kompas untuk Cendekiawan Berdedikasi. Mereka telah mendedikasikan intelektualitas dan komitmennya untuk mencerahkan masyarakat, kehidupan yang lebih adil dan demokratis.
Untuk pertama kali tahun ini penghargaan disampaikan kepada 5 cendekiawan, yakni Prof Dr MT Zen, Prof Dr Sayogyo, Prof Dr Soetandyo Wignyosoebroto, Prof Dr Satjipto Rahardjo, dan Dr Thee Kian Wie.
Sumber: Kompas, Jumat, 27 Juni 2008
No comments:
Post a Comment