-- Radhar Panca Dahana*
SEMBILAN tahun reformasi berlalu dan Orde Baru tumbang ternyata masih meninggalkan banyak pesimisme di berbagai kalangan. Kritik dan keluhan banyak dilontarkan pada merosotnya kemampuan produksi, daya saing, kreativitas, dan kualitas produk-produk unggulan negeri ini.
Biar tercatat sedikit kemajuan, ia tidak cukup signifikan untuk mengangkat standar hidup, terutama di kalangan rakyat kecil, ke tingkatan yang sama dengan negara-negara tetangga, bahkan pada level yang pernah dicapai pemerintahan Soeharto. Apa yang kini menjadi bahan keributan utama justru urusan-urusan politik, atau segala macam persoalan yang dipandang dari kepentingan politis.
Hal itu tak hanya membuat kita menderita mental "kalahan", sampai tak mampu berbuat apa-apa ketika beberapa potensi utama bangsa ini "dirampok" atau dipatenkan oleh pihak asing, di mana mereka mengomersialkannya secara global tanpa sisa keuntungan sedikit pun untuk kita.
Dominasi kepentingan politis itu membuat kita lupa pada satu kekuatan utama, yang—dalam sejarah panjang negeri ini—justru membuat bangsa mana pun respek, bahkan mengapresiasinya dengan kekaguman. Di kala semua komoditas ekonomi, sosial, dan politik kita mengalami inflasi di tingkat global, potensi inilah satu-satunya yang dapat mempertahankan nilai dan mutunya.
Mesti diakui, potensi dan produk yang satu ini pula yang selama ini berhasil menjaga wibawa, meningkatkan "harga", bahkan mendukung—langsung dan tak langsung—sukses diplomasi kita. Potensi itu tidak lain adalah karya kreatif, artistik pada khususnya. Kita menyebutnya karya seni dan kesenian.
Bahkan, sebelum negeri ini secara modern terbentuk dan diakui, kesenian negeri kepulauan ini telah sukses. Tak hanya menerima aplaus, tetapi juga menanam pengaruh yang tajam di beberapa seniman legendaris dunia. Sejak dari masa Raden Saleh, kekaguman Rabindranath Tagore (yang menolak menyatakan Borobudur adalah karya seni derivatif dari India), hingga Claude Debussy, Antonin Artaud, atau Peter Gabriel—antara lain—yang konsep-konsep jenial mereka "meminjam" atau dipengaruhi oleh kekaguman dan studi mereka pada kesenian di kepulauan ini.
Dan itu berlaku hingga hari ini.
Senjata budaya
Betapa pun, dahulu Soekarno—sebagai presiden pertama Indonesia—memiliki perhatian begitu besar pada kesenian. Begitu pun KH Abdurrahman Wahid, presiden keempat, memiliki keterlibatan kental dengan hidup kesenian. Akan tetapi, tetap saja seni sebagai sebagai "kekuatan"—kultural, ekonomis, juga politis—belum diperhitungkan dalam strategi besar kita dalam bernegara.
Berbagai kebijakan perihal kesenian hingga di kabinet "SBY", sebagaimana tertuang dalam kebijakannya di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, masih tetap melihat peran kesenian secara minor, jika tidak termarjinalisasi, dibandingkan sektor-sektor lainnya. Pemahaman akan kesenian lebih didominasi oleh pertimbangan ekonomis: sebagai salah satu sektor penghasil keuntungan finansial.
Pandangan tersebut tidak seluruhnya keliru. Namun, tentu, ia tidak harus menafikan potensi kesenian dalam menciptakan fungsi dan peran yang jauh lebih kuat dan lebih luas dari itu. Dibandingkan dengan nama-nama besar dalam dunia politik dan diplomasi kita, mulai dari Soekarno, Agus Salim, hingga Adam Malik, Soeharto hingga Gus Dur, dan presiden incumbent kita sekarang ini, banyak nama dalam kesenian Indonesia yang memperoleh penghargaan dan kehormatan setara di dunia internasional.
Katakanlah nama Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar (yang masuk dalam ensiklopedia resmi Perancis dan Rusia, misalnya), Mochtar Lubis, Rendra, Putu Wijaya, Sardono W Kusumo hingga belakangan Rahayu Supanggah, Garin Nugroho, dan masih banyak nama lagi. Penghargaan internasional banyak diraih tokoh-tokoh kesenian, bahkan di saat citra Indonesia—secara sosial, politik, dan ekonomi—terpuruk.
Itu pun belum memperhitungkan karya-karya kreatif lain yang bersifat kolektif dan anonim, baik yang modern, tradisional, maupun yang primitif. Dibandingkan dengan sektor-sektor hidup lain, bukti dan potensi ini sesungguhnya dapat menjadi kekuatan pendamping, bahkan senjata utama, dalam usaha diplomasi atau penegakan posisi tawar Indonesia di mata dunia.
Sayangnya, masih banyak pengambil kebijakan yang memandangnya sebelah mata. Itu karena mereka tak mengenalnya dengan baik atau telanjur terkena stigma negatif akibat latar historis seni yang buruk atau perilaku yang kadang terpandang "eks-sentris", urakan bahkan asosial.
Potensi raksasa
Satu hal lagi yang terlupa dari potensi kesenian sebagai produk budaya adalah kemampuannya dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara sangat signifikan. Hal ini terbukti di Inggris, negeri yang pada tahun 1990-an awal disebut sebagai "negara ketiga Eropa" secara ekonomis karena kekalahannya dalam industri berat, terutama setelah ekspansi macan-macan Asia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan India belakangan.
Tahun 1998, Pemerintah Inggris melakukan pemetaan yang komprehensif mengenai potensi ekonominya. Mereka menemukan ternyata sektor (industri) kreatif, termasuk musik—yang sampai 1997 dipandang sebelah mata—telah memberi sumbangan sangat signifikan dan pertumbuhan ekonomi mereka. Data itu membuat para pengambil kebijakan memberi fokus yang lebih kuat pada industri budaya tersebut.
Hasilnya, industri kreatif Inggris—seperti kriya, desain, busana, film, televisi, musik, seni pertunjukan, iklan, arsitektur—menciptakan pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun, tiga kali lebih pertumbuhan ekonomi nasionalnya yang hanya 2,8 persen. Tahun 2003 ia menyumbang 8 persen dari PDB Inggris (121,6 miliar pound) dan 15 persen dari nilai ekspornya. Ia menjadi sumber penghasilan kedua setelah jasa perbankan, dan merekrut tidak kurang dari dua juta tenaga kerja.
Di bagian lain dunia, kita tahu, bisnis serupa merupakan penghasil uang terbanyak di Amerika Serikat, setelah bisnis senjata. Di Singapura ia menyumbang 5 persen dari PDB dengan pertumbuhan annual 10 persen. Di Kolombia, 4 persen PDB dan jauh lebih tinggi dari produk unggulan mereka: kopi.
Di Indonesia, potensi itu begitu meraksasa. Bukan hanya karena pengenalan dunia pada kreativitas seniman kita yang tinggi dan penuh ide, tetapi juga fakta-fakta kecil, seperti 1.500 gerai pakaian independen ("distro") di Jakarta, Bandung, Yogya, Medan atau Surabaya, yang memberi penghasilan pada pengusaha muda hingga 75.000-100.000 dollar AS tiap bulannya.
Belum lagi kreativitas seniman muda kita dalam semangat DIY (Do It Yourself)-nya, yang juga mampu menembus pasar internasional di bidang game dan animasi. Bahkan, dalam permebelan global muncul merek Chamdani, perusahaan lokal yang semula bernama Alam Calamus.
Raksasa tidur
Contoh kecil di atas masih tak bisa menutupi kenyataan bagaimana sentra-sentra industri kreatif, kota-kota atau komunitas dengan kekayaan artistik dan produk budayanya, seperti batik, lukisan, patung, musik, seni pertunjukan, furnitur, hingga arsitektur, masihlah kembang kempis hidupnya, sebagaimana UKM pada umumnya.
Karya-karya mereka begitu kaya dan unik, tetapi selalu gagal pada tahap komersialisasi atau industrinya. Banyak yang kemudian menjadi korban pembajakan dan "perampokan" potensi ekonominya. Posisi mereka begitu lemah bahkan subordinat di antara kapital besar. Sementara bukan hanya birokrasi pemerintah, para elite, melainkan juga pihak swasta (perbankan antara lain) tak berhasil memandang kekuatan gigantik dari raksasa tidur itu.
Pihak kreator dan senimannya sendiri kerap bereaksi secara pasif dan defensif, seperti Putu Wijaya yang pernah menyatakan, "Biarlah mereka merampok satu-dua, bahkan sepuluh-dua puluh ide kita, karena kita masih menyimpan seribu dalam kepala." Sikap ini memang mengundang decak kekaguman walau juga menyiratkan kenaifan dan semacam kepasrahan.
Padahal, Putu sendiri, dengan gaya teatrikal eksperimental tahun 70-annya saja, masih mampu meraih penghargaan tertinggi dalam festival teater eksperimental internasional di Cairo, tahun lalu. Dan masih banyak putu-putu lain, yang tak cukup menyadari, betapa mereka sesungguhnya adalah panglima besar yang dapat menjadi loko bagi perkembangan bangsa ini di semua lini.
Karena, mereka memiliki satu hal yang khas: karya kreatif. Sebuah arsenal yang begitu utama, tetapi kita melupakannya. Maka, siapa pun jenderal dan prajurit negeri ini pasti menderita rugi bila mereka lupa diri dan tenggelam melulu dalam statistik serta indikator politik-ekonomi, yang sebenarnya sudah bisu dan basi.
* Radhar Panca Dahana, Sastrawan Tinggal di Tangerang
Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Mei 2007
No comments:
Post a Comment