-- Udo Z. Karzi dan Andri Saputra*
DALAM sebulan terakhir, kehidupan birokrasi di Kotawaringin Barat menunjukkan gejala yang kurang bersahabat. Sejumlah pejabat menolak diwawancarai dengan alasan yang beragam. Anehnya, sikap ini ditunjukkan setelah pers memublikasikan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penyimpangan anggaran yang terjadi di beberapa instansi.
Aneh bin ajaib jika ada pejabat yang mengatakan menerima atau menolak diwawancarai dengan atau tanpa alasan sebagai sebuah hak asasi pejabat yang bersangkutan. Mana bisa seorang ketua lelang mengaku tidak mengetahui daftar nama proyek; seorang pejabat mengaku tidak ikut rapat, padahal jelas-jelas ia menjadi peserta rapat.
Kita menjadi bertanya-tanya ‘hak asasi’ semacam apa yang membenarkan pejabat berwewenang atau yang paling berkompeten dengan urusan pemerintahan dan pembangunan kok malah tutup mulut. Pejabat toh pemimpin rakyat yang kebetulan mendapat amanah mengepalai atau menjadi ketua sebuah dinas/badan/institusi atau bagian/subbagian/seksi dalam institusi (organisasi) pemerintahan daerah.
Jelas dan gamblang pejabat (pemimpin) atau bahkan pegawai terendah di Pemkab Kobar menjalankan kegiatan pemerintahan dan pembangunan untuk tujuannya, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, di antaranya yang terpenting, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyejahterakan masyarakat. Tidak pada tempatnya pejabat menjadi tertutup dengan informasi kepada rakyat (Warga Negara Indonesia). Dan, koran sebagai media publik menjalankan peran itu, yaitu membuka akses sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Paradigma yang dianut birokrasi itu yang harus dibalik. Yang punya hak asasi itu adalah warga (publik). Tegasnya, pejabat dilarang menyimpan informasi. Apa lagi yang terkait dengan kepentingan publik. Tidak ada argumen pemerintah bagi pemerintah secara sengaja menggunakan kekuasaan untuk membatasi hak-hak publik dalam memperoleh informasi.
Menjadi soal ketika pejabat (termasuk dalam hal ini para legislator) dengan gampang berkata, saya tidak bisa bilang, ini ‘rahasia negara’. ‘Rahasia negara’, kata dia, tetapi sesungguhnya karena ada kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu. Yah, sudah menjadi rahasia umum kalau yang namanya penguasa itu suka berkongkalikong atau bahasa resminya KKN dengan pengusaha.
‘Kepentingan’ kelompok inilah yang hendak dilindungi oleh kata-kata ‘rahasia negara’ atau ‘saya tidak berkompeten untuk bicara’ itu. Jelas, pejabat tertutup karena memang takut ‘rahasia pribadi’ atau ‘rahasia atasan’ (bukan rahasia negara) terbongkar. Padahal, ini bukan zamannya lagi. Kalau memang good governance, clean government, transparansi, akuntabilitas, profesionalisme benar-benar mau dijalankan -- sekali lagi -- tidak ada argumen yang tepat untuk mengelak dan menutup diri terhadap kerja pers.
Soalnya konsep-konsep penyelenggaraan pemerintah yang baik yang dikemukakan tadi; memerlukan satu syarat terbuka terhadap informasi. Bagaimana bisa dikatakan good goverment jika publik tidak mempunyai jalan untuk menilai? Bagaimana clean government kalau jalannya pemerintah justru serbarahasia? Bagaimana akuntabilitas jika pejabatnya suka bohong? Lalu, transparan bagaimana kalau masih suka ketertutupan? Kok bisa mau dikatakan profesional kalau tidak paham pada apa yang dilakukan (kegiatan pemerintahan dan pembangunan)?
Pers sebagai pilar keempat demokrasi, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, telah menyediakan diri menjadi sarana untuk mewujudkan apa yang digembargemborkan sebagai good governance, termasuk clean government, akuntabilitas, dan sebagainya yang menjadi bagian dari good governance itu.
Saat inilah Pemkab Kobar sebagai pihak yang mendapatkan amanat masyarakat membuktikan komitmennya untuk mewujudkan tujuan pemerintahan, yaitu antara lain meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan rakyat. Karena esensi segala kegiatan pemerintahan dan pembangunan diarahkan kepada kepentingan rakyat banyak dan bukan untuk segelintir orang/golongan yang sedang berkuasa atau yang berharta; maka ‘tidak boleh ada dusta di antara kita’.
Semua terbuka, semua transparan; tidak boleh ada yang dirahasiakan. Lebih dari itu pejabat daerah tidak boleh antikritik. Jangan pernah meremehkan masyarakat yang sudah melek informasi, dan menganggap mereka tidak (boleh) tahu apa-apa. Menutup diri justru akan semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah kita alergi terhadap kritik. Semestinya, pemerintah legowo terhadap berbagai kritik yang disampaikan publik.
Sikap serba tertutup para pejabat, justru menjadi penyemangat bagi kerja jurnalis dan menantang bagi upaya ‘membongkar kebobrokan birokrasi’. Pers, kata Goenawan Mohamad, memang bukan satu-satunya kebenaran, tetapi dia akan terus-menerus mengupayakan kebenaran.
Sederhana saja, kalau tidak salah, mengapa pejabat takut berbicara di koran. Atau, jangan-jangan ketertutupan para pejabat, sesungguhnya untuk menyembunyikan ‘ketidakbecusan’ menjalankan roda pemerintah.
Apanya yang transparan, kalau begitu?
* Udo Z. Karzi dan Andri Saputra, keduanya jurnalis
No comments:
Post a Comment