Jakarta, Kompas - Pada dasarnya bangsa Indonesia memiliki cita rasa yang tinggi dalam tradisi berbahasa. Bisa dipahami bila pada banyak daerah di Nusantara, tradisi kritik-mengkritik yang disampaikan pun tetap mempertimbangkan aspek kesantunan.
"Dalam konteks budaya Indonesia, salah satu sumber berbahasa dengan santun dapat diambil dari berbagai pantun sebagai inspirasi," kata Pudentia, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, Senin (14/5), terkait rencana pergelaran Festival Pantun Nusantara 2007 dalam waktu dekat.
Festival itu sendiri, menurut Pudentia, akan dikemas sebagai seni pertunjukan dengan tema besar terkait ritus kehidupan. Sedikitnya 12 daerah sudah menyatakan siap berpartisipasi dengan tradisi berpantun mereka yang menggambarkan mulai dari saat manusia di kandungan hingga pantun-pantun yang tersaji pada upacara kematian.
Festival pantun ini merupakan salah satu program Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, bekerja sama dengan ATL; Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI), serta para seniman yang akrab dan kerap mendukung kegiatan seni pertunjukan di Tanah Air.
Sumber keteladanan
Menurut Pudentia, pemerolehan berbahasa yang santun tidak dengan serta-merta dapat dilakukan dan didapatkan oleh seseorang. Sebab, kebiasaan sejak dini dan lingkungan sosial masyarakat akan banyak menentukan pola berbahasa seseorang.
"Bagaimana keefektifan bahasa sebagai sarana komunikasi akan berperan dalam penyampaian gagasan, pikiran, dan perasaan sudah terbukti dan tak perlu lagi diperdebatkan. Namun, yang perlu diingat, bahasa yang baik tidak saja karena konstruksi tata bahasanya benar, tetapi juga karena disampaikan dengan cara yang tepat, sesuai dengan situasi, kondisi, dan sasaran pembicaranya," papar Pudentia, yang sehari-hari adalah staf pengajar di FIB-UI.
Dalam beberapa tahun terakhir muncul gejala, dalam peristiwa politik, misalnya, masyarakat Indonesia mulai mengabaikan aspek kesantunan dalam menyampaikan pikiran dan gagasannya. Bahasa yang digunakan cenderung vulgar, bahkan terkesan kasar, jauh dari sifat dasar pola berbahasa orang-orang Indonesia pada umumnya yang penuh kesantunan.
"Festival pantun yang direncanakan digelar bulan Oktober nanti adalah salah satu upaya untuk mengingatkan kita semua bahwa sifat kesantunan dalam berbahasa itu ada di hampir setiap daerah di Nusantara," ujar N Riantiarno, dramawan yang ikut terlibat dalam persiapan festival ini.
Karena sifat kesantunan dalam ragam pantun Nusantara, kata Pudentia, apa yang diungkapkan pun hampir tidak pernah melukai hati meski yang itu dimaksudkan sebagai kritikan. Karena itu, tak aneh bila pantun dapat digunakan dalam berbagai kesempatan.
"Menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan dengan cara yang santun, tetapi tepat dan sekaligus indah dapat dijadikan sebagai salah satu kebanggaan bangsa, sekaligus juga kekuatan bangsa," kata Pudentia. (ken)
Sumber: Kompas, 15 Mei 2007
No comments:
Post a Comment