-- Aminudin TH Siregar*
TULISAN Bre Redana dan Afrizal Malna yang dimuat dalam harian ini (Kompas, 6 Mei 2007) sama-sama mempermasalahkan peran dan fungsi kritik(us) seni atau boleh dibilang keduanya tengah mempertanyakan kemerosotan "aura" (pamor) kritik seni. Menurut Bre, dibalik agresivitas pasar mengonsumsi karya-karya seni rupa kontemporer, diam-diam posisi kritikus jadi dilematis. Bre curiga, pasar sesungguhnya tidak membutuhkan acuan dari seorang kritikus, sebab pasar sanggup berjalan dengan logikanya sendiri.
Sementara, kritikus cenderung merayakan pasarnya, yaitu "pasar wacana" yang berbeda kepentingan dengan "pasar" dalam arti sesungguhnya. Di lain pihak, Afrizal Malna berkeluh kesah tentang transformasi peran kritik seni sebagai promotor seni. Kritik seni, demikian Afrizal, menjadi lipstik untuk karya yang dipuji dan menjadi comberan untuk karya yang dianggap buruk.
Baik Afrizal maupun Bre kemudian mencium gelagat bahwa kondisi seni rupa kita sekarang belum bisa keluar dari kungkungan pasar. Yang berbahaya, dalam situasi demikian, kritikus mau tidak mau harus tunduk pada kepentingan pasar.
Oleh karena itulah, pertanyaan esensial yang diajukan oleh keduanya: apakah peran kritik(us) seni di zaman komersialisasi-komodifikasi seni dewasa ini? Alih-alih menjawab peran maupun fungsi kritik seni, saya lebih tertarik untuk mendiskusikan soal bagaimana seseorang menjalani hidup sebagai kritikus di tengah perubahan konstelasi maupun infrastruktur seni rupa sekarang ini.
Afrizal agak benar ketika menyebutkan bahwa kritik yang menjelma ke dalam "jurnalisme gaya hidup" condong bersikap kurang adil, sebab lebih mengutamakan seniman selebritas. Padahal, sejatinya kritik seni menyasar pula ke relung medan seni rupa di lapis bawah. Namun, inilah kiranya, hemat saya, risiko yang dihadapi oleh kritikus kontemporer yang berhadapan dengan perubahan dalam paradigma seni yang begitu cepat.
Menjalani hidup sebagai kritikus saat ini tidak lagi berhadapan dengan medan sosial seni yang sederhana, sebagaimana yang dihadapi oleh, misalnya, generasi S Sudjojono maupun Trisno Sumardjo. Meskipun demikian, bobot permasalahannya boleh jadi sama-sama rumit. Satu hal yang kentara jelas, di masa S Sudjojono cakupan mediasi seni jauh lebih variatif dan hubungan-hubungan antarjenis kesenian masih bisa disatukan dalam satu majalah. "Tradisi" kritik kita mulanya dibangun melalui komunikasi interdisiplin.
Kita pun tahu sejumlah terbitan majalah seni budaya pada masa itu siap menampung tulisan-tulisan kritik, begitu pula surat kabar umum yang sesekali disisipi tulisan tentang seni rupa. Kita kenang majalah Zenith, Indonesia, Budaja, Siasat, Seni, Seniman atau Mimbar Indonesia, dan banyak lagi. Berbeda dengan peluang kritikus untuk menulis di segelintir media massa yang kita miliki sekarang di mana kritikus pun harus rela antre agar tulisannya bisa dimuat di sebuah koran nasional, sebab setiap koran atau majalah sudah memiliki penulis yang otomatis mengambil peran kritikus. Kalaupun kelak tulisan kritik tersebut dimuat, kritikus pun geleng-geleng kepala menghitung kecilnya jumlah bayaran yang diterima.
Kondisi yang payah ini tak ayal membuat kritikus beralih ke profesi lain yang kini makin terkenal, yaitu kurator. Tentu saja, dari segi ekonomis, menjalani hidup sebagai kurator jauh lebih layak.
Pendek kata, merosotnya jumlah kritikus di Indonesia antara lain disebabkan kecilnya ruang mediasi yang kita miliki sekarang dan minimnya pendapatan ekonomis. Belum pernah ada dalam sejarah di Republik ini yang mengabarkan kelayakan hidup seorang kritikus seni dibandingkan seniman. Sejarah lebih sering mengabarkan keperihan hidup seorang kritikus.
Kita tentu ingat almarhum kritikus Trisno Sumardjo. Sampai-sampai pelukis Nashar, Rusli, dan Zaini pada tahun 1970-an berinisiatif menggelar pameran yang hasil penjualannya kelak dimanfaatkan untuk memperbaiki makamnya. "Kalau tidak mau TBC", kata S Sudjojono dulu, "jangan jadi seniman!" Kredo ini bisa berlaku untuk kritikus sekarang. "Kalau tidak mau TBC, jangan jadi kritikus!"
Krisis kritisisme semacam ini sempat melanda seni rupa Amerika beberapa tahun silam. Kritisisme di Amerika mengalami kemerosotan pasca-Clement Greenberg. Setiap surat kabar maupun majalah sudah memiliki penulis internal. Lalu, jurnal-jurnal seni rupa seolah diperuntukkan khusus untuk kritikus terkenal. Bayaran yang diterima kritikus pun relatif kecil untuk menyambung hidup selama sebulan. Persis dengan situasi di Indonesia, tidak heran kalau berbondong-bondong kritikus menjelmakan dirinya sebagai kurator.
Belum lagi, "kritikus-kritikus sejati" kini berhadapan dengan "kritikus medioker" yang hanya numpang sesaat menulis di surat kabar nasional atau majalah. Bisa dikatakan, meneruskan nalar Afrizal, setiap orang hari ini bisa tiba-tiba menjadi kritikus sebagaimana tiba-tiba seseorang menjadi seniman dan dibaptis oleh media massa, dirayakan oleh kilau gaya hidup.
Saya paham bahwa alasan di balik fenomena kritikus medioker adalah premis-premis yang menginginkan terciptanya egaliterisme dalam dunia seni rupa. Premis ini bertolak dari pemikiran bahwa dunia seni rupa adalah dunia elitis, menara gading. Salah satu biang keroknya yang sering disasar tak lain adalah akademi-akademi seni rupa. Namun, implikasinya, terciptanya situasi egaliter sekarang membuat kita akan selalu bertemu dengan tulisan-tulisan kritik yang medioker tersebut.
Situasi sekarang membuat kita tidak tahu lagi, mana kritik yang baik, mana kritik yang sifatnya review, mana kritik yang tidak berbekal pemahaman seni rupa. Nah, sebenarnya pada titik ini terasa ganjil kalau Afrizal Malna menilai lemahnya peran akademi dan penelitian menghadapi fenomena perkembangan seni rupa. Dari perspektif akademi, bagaimanapun juga perkara demikian lagi-lagi akan menciptakan sikap dilematis alias serba salah. Bukan, tidak mustahil, kembali dominannya para kaum akademis dalam medan sosial seni akan memunculkan kecemburuan dan kecaman dari publik seni. Tetapi, mau tidak mau demikianlah situasinya.
Sudah sepantasnya publik seni rupa tidak harus menuntut peran dan fungsi kritik(us). Keberanian untuk menjalani hidup sebagai seorang kritikus di zaman sekarang saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.
* Aminudin TH Siregar, Kurator Galeri Soemardja
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Mei 2007
No comments:
Post a Comment