Wednesday, May 23, 2007

Guru Besar: Indonesia Hadapi Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah

Jakarta, Kompas - Kepunahan bahasa, terutama bahasa daerah, menjadi masalah serius yang juga perlu perhatian pemerintah dan masyarakat. Sebab, proses kepunahan bahasa ini akan diikuti dengan kepunahan budaya dan pada akhirnya kepunahan masyarakat.

Padahal, bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya. Untuk itu, upaya serius dalam menyelamatkan bahasa-bahasa daerah perlu dilakukan sehingga Indonesia tetap menjadi negara yang bhineka tetapi tetap bertunggal ika.

Demikian disampaikan Arief Rachman dalam orasi pengukuhan sebagai guru besar bidang ilmu pendidikan bahasa Inggris pada Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta (FBS- UNJ), Selasa (22/5). Sidang pengukuhan tersebut dipimpin Rektor UNJ Bedjo Sujanto.

"Kondisi bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia yang sangat banyak ini ternyata hanya digunakan oleh minoritas masyarakat dan tergeser oleh bahasa-bahasa yang dianggap lebih universal, seperti bahasa Inggris dan bahasa resmi negara masing-masing. Indikasi ini mencerminkan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masuk dalam kategori bahasa mayoritas, tetapi minoritas pemakaiannya, secara perlahan akan mengalami kepunahan," kata Arief dalam orasinya berjudul "Kepunahan Bahasa Daerah karena Kehadiran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta Upaya Penyelamatannya".

Kepunahan bahasa daerah di Indonesia, seperti terhimpun dalam Atlas of The World’s Languages in Danger of Disappearing karya Stephen A Wurm (2001) yang diterbitkan UNESCO menunjukkan fenomena itu. Di Sulawesi, misalnya, dari 110 bahasa daerah, 36 bahasa terancam punah dan satu sudah punah. Di Maluku, 22 bahasa terancam punah dan 11 sudah punah dari 80 bahasa daerah yang ada. Ancaman kepunahan cukup besar ada di Papua. Dari 271 bahasa yang ada di sana, 56 terancam punah.

Dalam konteks Indonesia, kata Arief, memang tidak ada bukti yang dapat dikemukakan bahwa kehadiran bahasa Indonesia ataupun bahasa lainnya, seperti bahasa Inggris, menyisihkan kedudukan bahasa daerah. Akan tetapi, ada indikasi atau kecenderungan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk kepentingan tertentu—termasuk dalam pendidikan formal—membuat kedudukan bahasa-bahasa daerah menjadi lemah.

"Anak-anak sekolah digiring untuk beranggapan bahwa bahasa Indonesia dan (bahasa) Inggris menjadi superior dibandingkan dengan bahasa ibunya. Kondisi ini diperparah sikap orangtua di rumah yang juga tidak memakai bahasa daerah dalam berkomunikasi," jelas Arief.

Menurut Arief, perlu dibuat program-program penyelamatan bahasa daerah yang terancam punah melalui kegiatan-kegiatan strategis. Bahasa daerah juga perlu diberi peran yang berarti dalam kehidupan modern, termasuk pemakaian bahasa lokal pada kehidupan sehari-hari, perdagangan, dan pendidikan. (ELN)

Sumber: Kompas, Rabu, 23 Mei 2007

No comments: