Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang tentang Kebahasaan tidak menjamin permasalahan dalam penggunaan bahasa Indonesia akan terselesaikan. Sebab, berbahasa tak semata persoalan kata-kata, melainkan terkait dengan permasalahan budaya secara keseluruhan.
Demikian terungkap dalam diskusi bertajuk "RUU Kebahasaan: Melindungi atau Mengancam?" yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jumat (19/1). Pakar linguistik sekaligus guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika Atma Jaya Bambang Kaswanti Purwo, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono, sastrawan Remy Silado, dan pengamat periklanan Enin Supriyanto menjadi pembicara dalam acara tersebut.
Enin mengatakan, bahasa bersifat organik atau bertumbuh. Bahasa dibentuk oleh masyarakatnya dan sebaliknya. Dalam dunia periklanan yang kerap disoroti lantaran tidak tertib berbahasa seperti penggunaan bahasa asing atau bahasa yang tercampur aduk, misalnya, umumnya hanya mengambil kekayaan bahasa sebagai sesuatu yang organik tersebut dari masyarakat.
"Bahasa-bahasa yang kerap muncul dalam iklan itu biasanya memang sudah lebih dahulu ada dalam masyarakat," katanya. Namun, dalam RUU Kebahasaan, dia melihat terdapat permasalahan ketika bahasa yang bersifat organik itu "dikacaukan" dengan bahasa sebagai kebijakan politik.
Sutardji Colzoum Bachri yang hadir sebagai peserta diskusi ketika dimintai tanggapan oleh moderator juga menyatakan hal senada. Dia berpandangan, yang terpenting ialah menumbuhkan antusiasme masyarakat untuk menggunakan dan memproduksi karya dalam bahasa Indonesia. Antusiasme tersebut muncul seiring dengan adanya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia.
Menurut dia, bahasa bukan sekadar kata-kata, tetapi bagian produk budaya. "Bahasa Indonesia hanya merupakan sebagian kecil dari produk budaya. Saat ini sejauh mana kehebatan pencapaian produk kita sehingga memunculkan kebanggaan, termasuk terhadap bahasa?" katanya.
Kendati begitu, Sutardji mengaku tidak keberatan adanya RUU Kebahasaan, mengingat berbagai negara lain juga memiliki pengaturan tentang kebahasaan.
Pendapat senada diungkapkan sastrawan Remy Silado. Niat pemerintah untuk menjaga dan semakin mengembangkan pemakaian bahasa Indonesia tentu akan menguntungkan pula bagi para sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia. Namun, kata dia, RUU tersebut bukan satu-satunya jalan keluar.
Pakar linguistik Bambang Kaswanti mengatakan, RUU Kebahasaan tersebut masih belum jelas landasannya dan hal yang ditangani masih kabur sifatnya. Selain itu, masih dipertanyakan apakah RUU Kebahasaan akan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan bahasa Indonesia.
Tuntutan UUD 1945
Menurut Dendy Sugono, pembuatan RUU Kebahasaan merupakan tuntutan UUD 1945 yang harus dilaksanakan. RUU tersebut mengatur penggunaan bahasa asing, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah, sehingga saling melengkapi sesuai kebutuhan.
Pada era globalisasi, bahasa Indonesia juga menghadapi tantangan berat. Padahal, bahasa memainkan peran strategis. Bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sarana ekspresi dan menunjukkan cara berpikir.
RUU tentang Kebahasaan itu sendiri isinya menegaskan tentang berbagai keharusan penggunaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia diatur mulai dari pidato kenegaraan, dokumen resmi negara, forum resmi, penulisan karya ilmiah di Indonesia, sampai publikasi karya ilmiah. Selain itu, media massa, baik cetak dan elektronik maupun media lain, wajib menggunakan bahasa Indonesia. (INE)
Sumber: Kompas, Senin, 22 Januari 2007
No comments:
Post a Comment