Sunday, May 27, 2007

Seni Tradisi di Ibukota: Banyak Penggiat Miskin Peminat

-- Reini Dwinanda

Tantangannya adalah meracik seni trasisi menjadi menarik bagi generasi muda.

Ibarat sepiring gado-gado, Jakarta menampung warganya yang campur aduk latar belakang budayanya. Pendatang --entah dari berbagai penjuru Indonesia atau negara lain-- dan tentunya juga orang Betawi asli, memadati Jakarta.

Meski tak lagi di kampung halamannya, para pendatang tak serta merta melupakan jati diri kesenian tradisionalnya. Jadilah Jakarta -- ibukota yang hampir genap berusia 480 -- itu sebagai pentas besar seni tradisi.

Semanis itukah kenyataannya? Rupanya tidak. Di Jakarta, seni tradisi tidak hidup penuh gemerlap. Bahkan, geliatnya lemah. Seni tradisi terpinggirkan, tergerus.

Pengamat seni tradisi, Jusuf Sugito, memantau fenomena tersebut. Selaku kasubdis pembinaan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, ia tak berdiam diri. ''Demikian pula mitra kami yang melakukan pengkajian dan pengembangan kebudayaan,'' katanya.

Pemerintah, lanjut Jusuf, tak meluputkan perhatiannya pada keberadaan seni tradisi. Sejumlah uang dianggarkan untuk membina sanggar-sanggar seni tradisi yang hidup di Jakarta. Tanpa menyebut jumlahnya, Jusuf mengatakan APBD memang mengadakan pos pendanaan tersebut.

Dukungan pemerintah ditunjukkan pula dengan mengadakan ajang pemberdayaan kelompok-kelompok kesenian melalui lomba dan festival untuk kalangan pelajar. Lantas, pemerintah juga mengupayakan peningkatan kualitas SDM. ''Di lima wilayah Jakarta terdapat balai latihan kesenian yang dapat dimanfaatkan oleh para penggerak seni tradisi,'' papar Jusuf.

Bentuk pembinaan yang paling penting, menurut Jusuf, adalah kesempatan tampil. Ini akan menjadi alat bukti eksistensi sebuah kelompok kesenian. ''Pagelaran seni tradisi dibutuhkan untuk pelakon sekaligus meningkatkan apresiasi masyarakat,'' katanya.

Seni tradisi memang banyak pelakonnya. Mereka terus saja berkesenian di tengah kesibukan sehari-hari mempertahankan hidup di Jakarta. Malah, tak jarang para pelakon menyambung hidup dengan berkesenian. ''Sayangnya, orang yang mengapresiasinya masih terbatas,'' sesal Jusuf.

Kenyataan getir tadi tak bisa diubah oleh pemerintah seorang. Posisi pemerintah dalam hal ini hanyalah fasilitator. ''Yang bisa mengubah keadaan cuma masyarakat,'' ucap Jusuf.

Di Jakarta, ada 32 lembaga kebudayaan daerah. Yang berhasil mengemas seni tradisi dengan menariklah yang dapat bertahan. Seni tradisi yang dipercantik penampilannya itu lantas menjelma menjadi milik bersama, dan lebih mudah mencuri hati penikmat seni.

Jusuf mencontohkan ketoprak humor. Seni lakon orang Jawa itu kini diminati masyarakat secara luas. ''Ketoprak humor sukses menggaet penonton tanpa mempedulikan perbedaan latar belakang budayanya,'' katanya.

Bagaimana dengan seni tradisi Betawi? Sebagai tuan rumah, kesenian tradisional Betawi mendapat perhatian besar dari pemerintah setempat. ''Pelestarian seni tradisinya dipusatkan di Srengseng yang kini dikenal sebagai perkampungan budaya Betawi,'' kata Jusuf.

Soal nasib seni tradisi di Jakarta, Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Aurora Tambunan, pernah mengungkapkan kegusarannya. Ia miris melihat kawula muda menganggap kuno seni tradisi. ''Ini merupakan tantangan bagi penggiat seni tradisi, bagaimana meraciknya menjadi suguhan yang menarik bagi generasi muda,'' katanya.

Padahal, seperti diyakini Prof Dr Arief Rachman MPH, seni tradisi berdampak positif bagi tumbuh kembangnya anak. Ia bahkan yakin pengajaran seni tradisi di kalangan pelajar dapat meminimalisir angka kejadian bullying.

Berpegang pada keyakinan tersebut, ketua harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO itu lantas memberi dukungan penuh pada penyelenggaraan Konser Karawitan Muda Indonesia yang akan digelar pada 28 dan 29 Mei mendatang di Auditorium RRI Pusat Jakarta.

''Berbagai tindak kekerasan terjadi karena orang tak lagi dekat dengan seni budaya,'' kata Arief kepada Republika beberapa waktu silam.

Untuk mendekatkan anak muda zaman sekarang dengan seni tradisi, Arief berpendapat pengenalan harus dilakukan di sekolah. Seni tradisi selayaknya dijadikan ekstrakurikuler.

Agar pengenalan seni tradisi berjalan lancar, menurut Arief, tenaga pengajar tentunya mesti disiapkan dan digaji dengan semestinya.

Sumber: Republika, Minggu, 27 Mei 2007

No comments: