Sunday, June 03, 2007

Esai: Sastra Tanpa Kredo

-- F Rahardi*

Sejak 20 tahun terakhir, sastra buku dan koran maju cukup pesat. Namun, kemajuan itu tampak hanya sekadar teknis, sekadar kulit. Bukan isi dan bukan esensi, alias sastra tanpa kredo.

Bait puisi Wiji Thukul yang sangat terkenal adalah, Hanya ada satu kata: Lawan! Itulah "Kredo Puisi" Wiji Thukul yang walau tak pernah ditulis seperti Kredo Puisinya Sutardji Calzoum Bachri, tetapi tetap kuat dan punya makna. Sebab yang dia tulis juga dia lakukan dalam bentuk perbuatan. Selain menulis, Thukul juga aktif secara konkret melawan kekuasaan yang represif dan otoriter. Akibat perlawanan melalui kata dan perbuatan ini, Thukul raib sampai sekarang.

Ada memang pihak yang mencemoh Thukul bahwa dia terlalu maju, terlalu berani, terlalu sembrono. Hingga nasib yang menimpanya adalah sebuah konsekuensi dari kesembronoan itu sendiri. Namun, sembrono membela buruh yang digencet kekuasan kapital, kekuasaan birokrasi dan senjata, jauh lebih mulia dibandingkan dengan mereka yang sembrono bermunafik, apalagi sembrono menembaki rakyat sampai mati. Mereka yang munafik tampak seakan-akan kritis terhadap kapitalis AS dan Pemerintah RI, tetapi uang proyek dari dua negeri ini diembat juga dengan lahap.

Sastra lalu menjadi bagian dari proses degradasi nasional. Mereka yang bersedia ikut arus besar akan segera menjadi makmur dan tampak mulia. Mereka yang masih konsisten menjalankan semangat Chairil Anwar, Iwan Simatupang dan Wiji Thukul, dan secara ekstrem menolak berkompromi, akan tertinggal jauh dalam keterbelakangan atau gugur di tengah jalan. Sementara kota-kota besar di Indonesia sudah dipenuhi mal yang menawarkan semua kenikmatan hidup sebuah metropolis.

Inovasi penerbit

Tidak semua kemajuan bersifat negatif. Tak bisa dimungkiri, selama dua dekade terakhir ini, sastra koran dan buku memang sangat menonjol dan jauh mengungguli sastra majalah yang pernah berjaya pada tahun 1970-an. Kemajuan ini terutama tampak dari kuantitas oplah dan luasnya peredaran. Dampak dari kuantitas cetak yang tinggi adalah, menulis karya sastra menjadi bisa diandalkan secara ekonomis. Tampilnya generasi penulis cantik yang beredar dari kafe ke kafe bak selebritis juga telah ikut mendongkrak prestise sastra.

Kolaborasi antara media audiovisual, pers, dan penerbit buku telah ikut memosisikan sastra ke ranah publik yang lebih luas dan terhormat. Penerbit buku, koran, televisi, dan radio tidak saling mengungguli, melainkan berkolaborasi. Dekade 1990-an, penulis dan penerbit buku berada dalam posisi tawar yang lebih rendah dibandingkan dengan produser film. Ketika itu, novel yang terpilih untuk difilmkan menjadi tampak lebih terhormat dan terangkat martabatnya.

Sekarang, penerbit buku bisa meminta teks skenario film dan sinetron untuk dinovelkan. Promosi dalam bentuk roadshow dilakukan melalui radio. Novel yang lahir dari skenario ini bisa "meledak" di pasaran. Di AS, Jepang, Korea, dan Taiwan, kolaborasi ini malahan meluas. Di negeri-negeri ini, satu cerita dengan tokoh, plot dan setting sama bisa tampil dalam bentuk novel, komik, film, theme song, dan game. Pasar diserbu oleh pemilik modal dengan enam jenis produk massal sekaligus.

Manipulasi pasar

Ciri utama produk massal adalah tunduk pada selera pasar. Kalau pasar Indonesia dianggap pemilik modal sedang menyenangi hantu dan setan, materi ini menjadi andalan produk massal berupa sinetron, film, dan juga novelnya. Indonesia masih belum mampu melengkapi tiga produk ini sekaligus dengan komik, theme song, dan game. Meskipun beberapa fiksi yang difilmkan dan sekaligus dinovelkan, theme songnya juga ikut meledak di pasaran. Misalnya Cinta Pertama (Sunny) yang penyanyi sekaligus pemeran utamanya sama, yakni Bunga Citra Lestari.

Sastra koran dan buku yang maju pesat dan menjadi produk massal juga merupakan pengabdi selera pasar. Sebagai abdi, produk massal demikian harus patuh pada titah pasar sebagai Sang Majikan. Namun, pasar ini bisa dimanipulasi oleh pemilik modal. Film sampah yang sejak tahun 1970-an mendominasi bioskop kita, dan sinetron yang sejak tahun 1990-an merajai televisi, sebenarnya bukan merupakan kehendak pasar, melainkan kehendak "selera rendah" pemilik modal. Dan, publik terpaksa menonton dan membaca produk sampah ini karena tidak ada alternatif lain.

Film-film Usmar Ismail, Nyak Abas Akub, dan Syumanjaya, misalnya, juga tetap diterima pasar, tanpa harus mengeksploitasi selera rendah. Demikian pula dengan Losmen, Si Doel Anak Sekolahan, dan Bajaj Bajuri. Untuk bisa mencapai oplah cetak puluhan sampai ratusan ribu eksemplar, sastra koran dan sastra buku juga tidak harus serta merta mengabdi pada selera rendah. Sebab, produk massal yang mutlak harus tunduk pada kehendak pasar, tidak harus identik dengan selera rendah. Namun, kalangan bisnis sering terkecoh menyamakan produk massal, tren pasar dan selera rendah.

Narasi besar

Kalangan pengamat sastra sering bertanya: Selama 20 tahun ini telah terjadi banyak peristiwa besar di dunia dan juga di Indonesia. Namun, mengapa tidak ada karya sastra dengan "narasi besar" lahir dari sana? Penculikan aktivis, rusuh Mei 1998, gempa dan tsunami Aceh, korupsi, pemanfaatan isu sektarian untuk tujuan politik praktis dan lain-lain hanya sekadar melahirkan karya sastra yang bersifat "reaksioner". Jenis karya sastra ini beda dengan "sastra kontekstual" dan memang menjadi tuntutan koran yang harus selalu aktual. Namun, sastra yang baik tidak cukup hanya bersifat reaksioner.

Ada pula anggapan bahwa narasi besar memang sudah tidak diperlukan lagi dalam kehidupan yang "ultra modern" ini. Sebab, dunia harus bergerak dengan super cepat dengan jet foil, kereta api kapsul berbantal udara, dan jumbo jet. Informasi juga bisa menembus ruang publik sampai sedetail dan sekecil mungkin melalui internet dan SMS. Puisi bisa ditulis di layar telepon seluler dan menyebar secara cepat sesuai dengan kebutuhan. Lalu untuk apa narasi besar? Apakah kredo sastra juga masih diperlukan? Bukankah sah kalau sastra hanyalah berupa kerajinan tangan sebagai aksesori dalam sebuah koran dan novel hanyalah bagian dari industri hiburan di televisi?

Sebenarnya, selama 20 tahun terakhir ini, bukan hanya telah terjadi dominasi industri sastra secara massal, melainkan juga penindasan terhadap harkat kemanusiaan. Publik hanya dianggap sebagai target pasar yang harus dieksploitasi oleh kapitalisme global. Ozon yang bolong karena pemanasan atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil yang berlebihan menjadi bukan lagi urusan sastra. Ketidakadilan, keserakahan, dan kekerasan terhadap masyarakat sipil juga bukan pula urusan sastra yang sudah menjadi bagian dari bisnis besar, tanpa isi, tanpa kredo.

* F Rahardi, Penyair, Wartawan

Sumber: Kompas, Minggu, 3 Juni 1970

No comments: