Sunday, June 17, 2007

Wacana: Nuansa Lokal dalam Sastra Indonesia

-- Gunoto Saparie*

SUATU hari Melani Budianta mengeluh. Daerah-daerah di Indonesia, kata dia, memang sangat kaya dengan beragam budaya, tetapi sayangnya masih sedikit pengarang sastra subkultur atau sastra lokal yang menuliskan kekayaan tersebut. Padahal sastra subkultur dapat mulai dikembangkan dalam komunitas-komunitas sastra.

Di dalam komunitas ini seorang pengarang dapat mengembangkan diri sebelum menjadi mainstream. Menurut Melani, kurangnya pengarang sastra subkultur bisa disebabkan oleh pasar yang tidak responsif. Padahal dukungan pasar terhadap sastra subkultur turut memengaruhi perkembangannya. Bagaimanapun karya sastra akan berhadapan dengan masyarakat yang menjadi sasarannya.

Harus diakui, perkembangan sastra subkultur di Indonesia masih diadang banyak kesulitan. Tidak semua daerah di Indonesia memiliki pengarang yang mampu menuliskan sastra subkulturnya sendiri, apalagi di daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan, seperti di daerah timur Indonesia. Kalaupun daerah itu memiliki penulis sastra subkultur dengan bahasa dan gayanya sendiri, belum tentu mereka mampu melawan pasar yang sudah memiliki mainstream penilaian karya sastra.

Harus diakui, nuansa lokal makin tersisih dalam sastra Indonesia. Para sastrawan kita mulai kehilangan kepekaan terhadap alam sekitarnya. Ahmad Tohari menyebut kehilangan kepekaan para sastrawan ini sebagai sebuah pengkhianatan yang nyata. Dia menekankan pilihan mengangkat realisme sosial sebagai latar belakang karya sastra tidaklah buruk, tetapi pengayaan karya serasa mandek ketika tidak ada eksplorasi terhadap nuansa lokal. Karya-karya sastra kita dewasa ini terlalu didominasi nuansa urban yang kemudian memunculkan karya-karya massal tanpa dilengkapi identitas tersendiri.

Gerakan untuk menengok kembali tradisi dan budaya daerah dalam sastra pernah dicoba oleh Ajip Rosidi dan dan kawan-kawan. Ajip mengatakan, bahwa generasi terbaru sastra Indonesia -- yang adalah generasinya -- tidak belajar dari sastra dunia, khususnya sastra Barat, melainkan belajar dari para sastrawan Indonesia sendiri di satu sisi dan budaya lokal yang mereka hidupi sebelumnya di sisi lain. Dengan bekal itulah mereka menulis sastra.

Umumnya sastrawan era 1950-an yang mencanangkan kembali ke daerah itu pada dasarnya menulis bukan dari pusat jantung budaya daerah mereka. Agus R Sarjono menunjuk Robohnya Surau Kami. Karya AA Navis ini dengan mudah dapat saja diterakan pada latar yang lain, Jawa Barat, atau Sulawesi Selatan misalnya. Tentu saja di sana ada unsur surau yang memiliki signifikansi makna sebagai salah satu akar tradisi Minang. Namun dalam cerpen Navis, ia tidak signifikan mengacu pada surau sebagai sebuah basis budaya Minang. Surau di sana mengacu pada sebuah basis kultur keagamaan tertentu.

Harus diakui, pada era 1980-an kecenderungan mengangkat warna lokal dalam sastra Indonesia memang menguat. Tidak bisa tidak salah satu pemicunya adalah lahirnya dua novel yang fenomenal, yakni Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang sangat kuat warna lokalnya, dan Pengakuan Pariyem yang juga basah oleh lokalitas kedaerahan. Dua karya ini dapat dijadikan contoh bagi dua kecenderungan menggali daerah dalam sastra Indonesia.

Ronggeng Dukuh Paruk menyajikan daerah sebagai sebuah latar yang solid. Tak tergantikan. Latar tidak menjadi warna lokal, karena lokalitas di sana menjadi acuan peristiwa serta melahirkan peristiwa. Kita menemukan gejala yang sama pada novel Mochtar Lubis >Harimau! Harimau!, yang sebagaimana Ronggeng Dukuh Paruk tidak dapat digantikan latarnya.

Harimau sebagai kenyataan real tidak dapat kita temukan di pelosok hutan Kalimantan, misalnya, meskipun harimau sebagai metafor hasrat liar dan ganas manusia boleh saja ada di sana. Permainan antara harimau sebagai binatang buas di satu sisi dengan harimau yang bermain di sudut hati tokoh-tokohnya hanya mungkin disajikan dengan latar rimba raya Sumatera.

Agus menunjukkan pula, bahwa bersamaan dengan itu bermunculan pula karya-karya sastra yang lahir dari hati nurani daerah, dengan ideologi kedaerahan tertentu, sebagaimana ditunjukkan oleh Pengakuan Pariyem, serta kemudian juga cerpen dan novel Umar Kayam seperti Sri Sumarah, Bawuk, serta Para Priyayi. Berbeda dengan Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari, misalnya, Pengakuan Pariyem tidak bermula pada latar, melainkan pada ideologi daerah.

Latar kisah ini dapat ditukar ke mana saja, Jakarta, Sulawesi, atau Kalimantan, namun sejauh yang bermain di dalamnya adalah manusia Jawa semacam Pariyem dalam relasinya dengan bangsawan Jawa seperti Cokrosentono, maka ia tetap bisa tegak. Hal ini berbeda dengan jika tokohnya diganti. Begitu tokoh utamanya diganti menjadi perempuan Minang, misalnya, maka novel ini tidak bisa jalan, hancur berkeping tidak karuan. Jawa dan kejawaan dalam Pengakuan Pariyem menjadi unsur utama. Demikian pula kejawaan dalam Sri Sumarah, Bawuk, atau Para Priyayi.

Kecenderungan dalam sastra untuk menjadikan daerah sebagai ideologi tandingan bagi Indonesia kini makin menguat di berbagai daerah. Gus TF lewat novelnyaTambo jelas-jelas menyajikan budaya Minangkabau yang diromantisasi dan diidealisasi sedemikian rupa sebagai tawaran alternatif dan jalan ke luar bagi budaya Indonesia di masa depan.

Kecenderungan lain dalam mengelola tenaga budaya daerah adalah dengan menjadikan (sastra) daerah sebagai teknik. Di sini bukan latar dan/atau manusia-manusia daerah yang terutama dihadirkan, melainkan penggunaan teknik sastra daerah. Tentu saja yang paling menonjol dan berhasil dalam hal ini adalah Sutardji Calzoum Bachri. Di tangannya, mantra sebagai salah satu bentuk sastra daerah dapat bertransformasi sedemikian rupa dan menyeruak dalam khasanah sastra Indonesia. Banyak yang terkejut karenanya, dan diam-diam atau terus terang banyak pula sastrawan yang mulai menggali-gali khasanah sastra daerah untuk dimanfaatkan tekniknya bagi sastra modern Indonesia.

Sebelum Sutardji, kecenderungan untuk memanfaatkan teknik dari khasanah tradisi daerah sudah terlihat pada Rendra sebagaimana nampak pada kumpulan sajaknya yang pertama Balada Orang-orang Tercinta, yang sarat dengan aroma sastra rakyat Jawa, khususnya dolanan anak-anak. Hal yang sama terlihat pula pada sajak-sajak Ramadhan KH pada Priangan Si Jelita yang banyak memanfaatkan teknik tembang Sunda. Namun, pada Rendra pemanfaatan teknik ini menjadi sebagian saja dari pilihan teknik yang dia gali bagi sajak-sajaknya. Pada masa kini, pemanfaatan khasanah sastra daerah sebagai teknik ungkapan terlihat pada misalnya sajak-sajak Taufik Ikram Jamil yang menggunakan teknik bersanjak Melayu sebagaimana terlihat pada kumpulan puisinya Tersebab Haku Melayu.

Penggunaan daerah sebagai sumber inspirasi juga menjadi salah satu kecenderungan. Kecenderungan semacam ini paling kuat terlihat pada D Zawawi Imron. Madura, misalnya, terus-menerus menjadi sumber inspirasi bagi sajak-sajaknya. Tidak berlebihan memang ketika Agus mengatakan, bahwa lewat karya sastra yang mengangkat kehidupan manusia dan latar daerah dengan segala permasalahannya, lewat karya sastra yang menggali inspirasi dari daerah-daerah, serta dari karya-karya sastra yang lahir dari transformasi (teknik) sastra daerah tertentu, kita bisa bertemu dengan hasil-hasil imajinasi dan denyut batin daerah-daerah di Indonesia.

Keperluan terhadap sastra yang mengangkat masalah daerah menjadi lebih mendesak lagi belakangan ini bersama ramainya gerakan otonomi daerah. Kita tidak ingin otonomi daerah itu tumbuh menjadi sebuah gerakan isolasi terhadap daerah lain sehingga mewacanakan budaya tunggal yang sudah kita alami bersama dampaknya semasa Orde Baru.

* Gunoto Saparie, Penyair, pengamat sastra

Sumber: Republika, Minggu, 17 Juni 2007

No comments: