Sunday, August 29, 2010

Realitas Politik Sulit Menerima Negara Islam

Jakarta, Kompas - Ekspansi gerakan Islam transnasional, yang bertujuan menerapkan syariat Islam melalui kekuasaan, harus berkompromi dengan realitas politik. Tujuan membentuk negara Islam belum tentu akan terwujud ketika realitas politik tidak mendukung.

”Ideologi tersebut pada akhirnya akan menyesuaikan dengan realitas politik Indonesia yang cenderung sulit menerima negara Islam,” kata ahli fundamentalisme Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Noorhaidi Hasan, dalam diskusi dan peluncuran edisi revisi buku Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Sabtu (28/8) di Jakarta.

Islam transnasional didefinisikan sebagai sebuah gerakan garis keras yang berafiliasi baik secara mazhab maupun pemikiran ke ulama Timur Tengah. Islam transnasional banyak dikaitkan dengan gerakan Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang disebut-sebut berniat membentuk negara Islam.

Menurut Noorhaidi, gerakan Islam garis keras pada dasarnya merupakan gerakan politis yang muncul untuk merespons kekuasaan yang dianggap gagal menghadirkan kesejahteraan umat.

”Namun, ketika partai Islam garis keras itu berhasil berkuasa, mereka akhirnya akan berkompromi dengan realitas politik. Ideologi awal membentuk negara Islam belum tentu akan terwujud ketika realitas politik tidak mendukung,” kata Noorhaidi.

Pada kesempatan yang sama, ahli terorisme dari Jepang, Ken Miichi, mengatakan, gerakan Islam yang diadopsi dari Arab Saudi atau negara Timur Tengah lainnya pada akhirnya akan berbaur dengan budaya Indonesia.

Buku yang diluncurkan perdana pada Mei 2009 ini berisi salah satunya tentang bahaya gerakan Islam transnasional. Buku ini didukung oleh hasil penelitian LibForAll Foundation, institusi nonpemerintah, dan diterbitkan atas kerja sama Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute, dan Maarif Institute.

Sejumlah tokoh Islam, seperti KH Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri, terlibat dalam penyusunannya. Buku itu memasukkan sejumlah organisasi Islam di Indonesia sebagai Islam transnasional yang harus diwaspadai.(FAJ)

Sumber: Kompas, Minggu, 29 Agustus 2010

[Buku] ‘Quo Vadis’ Indonesia?

Judul Buku: Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa

Penulis : Jimmy B. Oentoro

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Pertama, Juli 2010

Tebal : 413 halaman

SIAPA pun tidak dapat membantah, bahwa Republik Indonesia merupakan negeri yang sangat kaya. Bukan hanya kaya secara materi berupa sumber daya alamnya yang melimpah ruah, melainkan juga kekayaan imateri dengan keragaman budaya dan watak toleransinya yang tinggi.

Usia kemerdekaan yang ke-65 tahun ini, seharusnya bangsa Indonesia tinggal memanen hasil. Sayangnya, fakta berkata lain, sumber daya alam yang melimpah dikeruk terus-menerus pihak asing dan hanya dinikmati segelintir pribumi, sedangkan wataknya yang toleran ternoda oleh aksi-aksi anarkistis dengan aneka aksesori, seperti agama, etnik, dan lain-lain.

Buku berjudul lengkap Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa: Membangun Bhineka Tunggal Ika di Bumi Nusantara ini merupakan kumpulan tulisan orang-orang yang concern dengan dinamika yang berkembang di Indonesia dewasa ini.

Terdapat dua puluh delapan cendekiawan dengan beragam disiplin keilmuan memberikan sumbangsih mereka berupa pemikiran-pemikiran segar nan menggoda. Para penulisnya mayoritas sosok dikenal publik yang sudah malang melintang di jagad pemikiran maupun kebudayan Indonesia.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, agama, kerajaan, dan kebudayaan yang berbeda-beda, di mana Pancasila sebagai pengikatnya sehingga menjadi identitas suatu bangsa. Negara ini jelas dibangun bukan berdasarkan persamaan-persamaan, sebaliknya justru atas kesadaran ke Bhineka-an para pemimpinnya.

Akar nasionalisme Indonesia sejak awal dibangun didasarkan pada tekad yang menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pembungkus kebangsaan.

Berdirinya Republik Indonesia berdasar cita-cita Presiden pertama Soekarno, adalah negara yang didukung seluruh rakyat yang memiliki pengalaman kolektif sejarah yang sama dan yang berada dalam satuan gugusan wilayah yang secara geopolitik sangat strategis akan berdampak pada terancamnya integrasi nasional.

Maka keberadaan Pancasila memilki arti sangat penting bagi bangsa ini, ia buka hanya menjadi alat pemersatu bangsa guna menghadapi badai disintegrasi, tapi juga menjadi termin ke mana seharusnya bangsa ini mengayuhkan sauhnya untuk berlayar dalam gelombang bahtera. Inilah Indonesia Satu sekaligus Indonesia Beda.

Sedangkan Indonesia Bisa merupakan proyeksi keinginan dan harapan yang ingin dicapai para penulis antologi ini mengenai Indonesia masa depan. Dengan memaparkan segala potensi yang dimilikinya, idealnya Indonesia mampu menjadi jauh lebih baik dibanding yang terjadi saat ini. Baik dilihat dari sisi hostorisnya yang ternyata membentang panjang, maupun letak geografisnya yang sedari dulu dikenal sangat strategis.

Memang jika dilihat dari segi geografis dan demografis, Indonesia tampak seperti perahu besar yang penumpangnya amat padat dan beragam. Sayang, perahu besar tersebut kini jalannya limbung, bocor di sana-sini, dan tidak jelas ke mana arahnya.

Pemicunya adalah ketiadaan karakter pemimpin pada diri sang nakhoda, yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan penumpang perahu tapi lebih mengutamakan ambisi pribadi dan kepentingan kelompoknya. Ditambah dengan munculnya beberapa penumpang yang mengkhianati ikrar perbedaan yang menjadi bagian inhern dalam komunitas perahu besar bernama Republik Indonesia tersebut.

Di dalam buku yang didedikasikan sebagai bunga rampai lima puluh tahun Jimmy B. Oentoro ini, dipentaskan ihwal Indonesia dengan segala problematikanya lengkap dengan solusi yang ditawarkan. Kegundahan atas realitas Indonesia kini sekaligus kebanggaan dan harapan pada masa depan yang masih terhampar, terpapar secara jelas dari para penulisnya.

Sajian di dalamnya merupakan tangisan dari para pemimpin dan sekaligus isi “hati” Allah yang rindu untuk melihat rasialisme, perpecahan etnis, suku, dan agama dilenyapkan dari bumi Nusantara.

Sehingga akan kita temukan sebagai sarana untuk mawas diri, introspeksi, dan meyakinkan kebanggaan kita atas bangsa ini. Bunga rampai ini juga merupakan refleksi panjang yang diyakini seorang Jimmy Oentoro akan mampu membawa Indonesia menjadi negara berwibawa di pentas dunia, tidak sekadar menjadi mainan negeri tetangga.

Sebuah impian yang bukannya tidak mungkin menjadi kenyataan bila mencercap buku ini, yang menjadi persoalan hanyalah mau dibawa ke mana arah bangsa ini oleh para pengambil kebijakannya.

Hilyatul Auliya
, Mahasiswa Magister Politik Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan penggiat Institute for Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta.


Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Agustus 2010

[Refleksi] Malaysia Lagi

-- Djadjat Sudradjat

SAYA WNI tapi saya tak marah pada Malaysia. Saya WNI tapi saya tak benci negeri jiran itu. Sebab tak ada alasan untuk marah dan menjauhi negeri serumpun itu. Terlalu sayang dan terlalu jemawa kehendak melupakan Malaysia di tengah spirit kleptomania yang menjadi-jadi di negeri sendiri. Ada jutaan WNI yang berjuang mencari nafkah di negeri serumpun itu karena ketidakmampuan pemerintah sendiri menyediakan pekerjaan.

Sungguh, saya tak marah pada Malaysia yang tak melindungi buruh-buruh migran dari Indonesia. Saya juga tak benci pada pers dan pemerintah Malaysia yang kerap membuat stigma buruk pada pekerja kita: bodoh, kriminal, berpendidikan rendah, dan murahan. Tidak! Saya tak marah, Malaysia! Karena Indonesia memang tak serius mengurus pendidikan.

Saya tak akan marah seperti diandaikan seorang Malaysia jika menjadi warga Indonesia. Seorang yang berindentitas malaysianmanaboleh, menulis dalam kejernihan di sebuah blog Star Online, “Jika saya orang Indonesia, saya pun akan membenci Malaysia,” begitu tulis sang malaysianmanaboleh itu.

Ah, lihatlah sikapnya yang berani berbeda itu. Ada sumblimasi yang menyejukkan di tengah bara api yang kian memanas antara kedua bangsa. Ia pasti bukan “nafiri” untuk kemuliaan raja, tetapi ia oasis di tengah spirit chauvinis “kemalaysiaan” yang merasuki bawah sadar sebagian orang Malaysia.

“Saya menyarankan warga Malaysia memosisikan diri sebagai orang Indonesia agar bisa memahami perasaan 232 jiwa orang Indonesia,” tulisnya lagi si malaysianmanaboleh itu. Sebab, kata dia, soal kejahatan: perampokan, pemerkosaan, pembunuhan justru dilakukan orang Malaysia sendiri. Berita ini tiap hari menghiasi media massa Malaysia.

Si penulis “suara lain” itu masygul dan malu. Sebagai warga Malaysia ia lebih malu lagi, karena negerinya tak mampu melindungi buruh-buruh migran dan menginjak-injak hak asasi manusia orang Indonesia. Ah, lagi-lagi, ia seperti suara yang diturunkan dari “surga”. Saya berharap ia bukan suara satu-satunya di Malaysia.

Ia memang tak menyebut identitasnya secara terbuka. Saya paham, keterbukaan bisa menjadi bahaya baginya. Tapi, saya membayangkan ia seorang “padri”, muda, terdidik, tahu asas-asas kemanusiaan; dan sudah pasti ia paham negerinya, tapi juga menghargai etika bertetangga.

***

SAYA tak marah pada Malaysia dengan aneka laku tak pantas kepada kita. Saya marah pada pemerintah negeri sendiri yang lemah dan tak punya harga diri. Marah karena setiap muncul ketegangan dengan Malaysia, pemerintah selalu lamban merespons. Ia tak bisa menjadi penyambung lidah rakyat dalam diplomasi. Dalam perkara penangkapan tiga anggota patroli Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau oleh Polisi Diraja Malaysia (13-8), sesama pejabat negara memberi keterangan berbeda. Alih-alih menjelaskan tiga petugas patroli kita yang dianiaya dan kemudian “dibarter” bebas dengan tujuh pencuri ikan Malaysia, Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan, dan polisi justru saling lempar tanggung jawab. Visi Fadel Muhammad yang moncer dalam membangun Gorontalo dan karier Marty Natalegawa yang cemerlang sebagai diplomat, seperti sirna justru ketika kita ingin bukti nyata dari mereka ketika menjadi menteri.

Saya tak marah pada Malaysia karena ada ratusan tenaga kerja kita terancam hukuman mati karena terlibat berbagai kejahatan, khususnya obat-obatan terlarang. Tapi, saya marah pada pemerintah negeri sendiri yang sama sekali tak punya visi dalam mengurus tenaga kerja kita. Dari tahun ke tahun persoalan tenaga kerja kita seperti tak berubah. Pemerintah, misalnya, tak mampu memperjuangkan para buruh migran kita yang paspor dan buku tabungannya ditahan majikan sebagai jaminan. Pemerintah juga tak berkutik mencari solusi agar para bedinde kita di rumah-rumah majikan mereka bisa libur satu hari dalam sepekan. Malaysia memang berkukuh dengan semua itu, tetapi diplomasi kita juga tumpul dalam meluruhkan kekakuan Malaysia. Sebagai negeri besar, Indonesia selalu tak berdaya menghadapi negeri jiran itu.

Wajarlah jika kekecewaan publik tak tertahankan. Saya tak setuju dengan demonstrasi yang melempar tinja ke Kedutaan Besar Malaysia, tetapi pemerintahan yang diisi orang-orang “amatiran” memang bisa menjadi sumbu yang membakar. Alangkah menjengkelkan Pemerintahan Jilid II Susilo Bambang Yudhoyono. Kabinet ini seperti kumpulan orang-orang linglung. Ia tak bisa membaca psikologi massa; karenanya tak punya spirit antisipasi. Selalu bertindak setelah kejadian. Yudhoyono serupa dirigen yang gagal memimpin pergelaran orkestra. Mentalitas Yudhoyono yang kecil sungguh bukan dirigen yang baik.

Malaysia memang kian unjuk gigi setiap menghadapi Indonesia. Seperti ada buncah energi yang tak pernah habis untuk selalu menang. Cara-caranya mungkin saja provokatif, tak elok, tetapi ia benar dalam memajukan negara dan bangsanya. Psikologi inferior di masa Bung Karno yang “menekan”, dengan kemerdekaan yang diberikan (Inggris) dan bukan direbut (dari Belanda) seperti Indonesia, memang menjadi olok-olok sebagai bangsa yang tak tangguh “berjuang”. Masa silamnya sebagai “murid” Indonesia dalam segala hal, menjadi daya lecut yang tak habis-habisnya. Justru kepemimpinan Indonesia yang selalu terjebak langkah mati. Sebab itu, apa yang dikatakan Yudhoyono, “million friends and zero enemy” menjadi punya konteks yang salah. Malaysia sesungguhnya bergerak dalam garis tumbuh yang biasa-biasa saja, tapi Indonesia justru yang tak mampu membangun kultur maju.

Kini amarah dan sumpah serampah kian berhamburan pada pemerintah. Radio, televisi, surat kabar, setiap hari “merekonstruksi” kejengkelan publik yang letih. Memang, di luar urusan Malaysia, bertumpuk-tumpuk masalah yang tak jelas solusinya telah menguras daya tahan kita. Suara-suara pesimistis seperti ini akan membangun sugesti suram. Distrust seperti ini sungguh akan meruntuhkan jalan apa pun yang ditempuh pemerintah.

Saya sungguh cemas atas semua itu. Terasa Indonesia seperti tengah dihancurkan justru oleh pemerintah sendiri. Betapa terasa kebijakan negara kini lebih menomorsatukan para pejabatnya daripada mengurus kedaulatan wilayah dan rakyatnya. Pemagaran gedung parlemen, penjagaan amat ketat pada presiden, vasilitas kendaraan seharga Rp1,3 miliar untuk para pejabat tinggi kita, anggaran-anggaran tak berkeadilan, para ajudan yang selalu menempel di seluruh pejabat negara di semua lapisan, jelas amat besar biayanya. Rakyat harus membayar amat mahal bagi yang mengurus (negara) daripada subjek yang diurus. Bukankah batas wilayah kita kian menciut, infrastruktur jalan kian rusak, eksploitasi bumi kian tak terkendali, dan rakyat kian sulit hidupnya? Tapi, lihatlah pertambahan kekayaan para pejabat negara kita. Inilah ironi kepedihan: negara yang diurus kian rusak, tetapi para pengurusnya justru kian makmur!

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Agustus 2010

Friday, August 27, 2010

Bloger Malaysia: Jika Aku WNI, Aku Pun Akan Marah

DALAM sebuah blog di situs Star Online, muncul tulisan dari seorang beridentitas malaysiamanaboleh.

Sejumlah pemrotes meneriakkan slogan terhadap Pemerintah Malaysia di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Kamis (26/8). (AFP/ADEK BERRY)

Pemerintah menyadari mereka memperlakukan buruk orang Indonesia. Mengapa memelintir cerita dan menganggap kita tak tahu apa-apa?

Saya menyarankan warga Malaysia memosisikan diri sebagai orang Indonesia agar bisa memahami perasaan 235 juta jiwa orang Indonesia.

Para buruh migran di Malaysia sering menerima perlakuan buruk oleh majikan mereka. Buruh migran yang menjadi korban pun tidak mendapat perlindungan hukum dari aparat hukum Malaysia yang seharusnya melindungi mereka.

Keadaan menjadi lebih buruk karena pemerintah dan media membuat stigma buruk terhadap pekerja asing. Citra buruk itu melekat sedemikian rupa.

Dalam banyak hal, kebanyakan orang Malaysia selalu menghubungkan buruh migran sebagai orang Indonesia bergaji murah, berpendidikan rendah, banyak terlibat kejahatan sehingga tidak perlu dihormati serta bermental pemeras.

Pemahaman tersebut tidak benar sama sekali. Pandangan tersebut sangat bias dan diskriminatif. Banyak orang Indonesia yang berpendidikan tinggi ataupun menjadi pekerja migran eksekutif. Tentu saja, pekerja yang tidak terdidik akan mendapat bayaran rendah serta bekerja di negara lain seperti Malaysia.

Jumlah buruh migran di Malaysia mencapai 10 persen dari keseluruhan penduduk Malaysia. Tentu tidak heran jika 10 persen dari 100 persen angka kejahatan disumbangkan oleh pekerja asing.

Di dalam media setiap hari juga muncul berita soal perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan yang dilakukan oleh warga Malaysia sendiri.

Jika saya orang Indonesia, saya pun akan membenci Malaysia.

Saya merasa lebih malu lagi karena Malaysia tidak mampu memahami bahwa buruh migran pun berhak atas perlindungan hukum dan hak asasinya perlu dijaga.

Seorang bloger lain beridentitas PatrickJB adalah satu dari sekian banyak orang Malaysia berpandangan bias seperti itu, yang juga menulis di blog saya.

Saya sedih karena orang- orang seperti itu ternyata ada.

Saya tidak akan merasa heran lagi jika Malaysia tak akan bisa menjadi tempat yang lebih baik. Karena realitas yang terjadi tidak hanya ada di hadapan saya.

Kenyataan adalah realitas seperti itu adalah orang-orang seperti Anda. Realitasnya adalah Anda.

Blog ini juga dikomentari bahwa RELA (bagian aparat Malaysia) suka memeras. (ONG)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010

Kebinekaan: Penyeragaman yang Menyusup

UPAYA meminggirkan mereka yang berbeda belakangan ini menjadi kegundahan banyak anggota masyarakat karena Indonesia adalah ”berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Namun, menurut penelitian tim dari Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima, gerak penyeragaman tersebut sudah terjadi setidaknya sejak tahun 2007-2008. Jalur yang digunakan salah satunya melalui pendidikan di sekolah.

Farha Ciciek, pemimpin penelitian beranggotakan lima peneliti tersebut, menemukan, kelompok-kelompok konservatif dan radikal keagamaan bersifat nasional ataupun transnasional menggunakan sekolah, terutama kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, sebagai tempat menyosialisasi nilai dan praktik menolak keberagaman, mengembangkan kepatuhan tanpa nalar kritis, mengajarkan kebenaran tunggal, cenderung mengembangkan sentimen keumatan dan kurang pada rasa kebangsaan dan kemanusiaan, menolak yang berbeda, dan mendiskriminasi perempuan.

Penelitian dilakukan di 30 SLTA, terutama SMAN, SMKN, termasuk madrasah aliyah negeri. Dalam pemaparan penelitian pada acara penganugerahan Saparinah Sadli Award, Selasa (24/8) di Jakarta, Ciciek mengatakan, praktik tersebut juga ditemui di SMAN terkemuka di kota-kota penelitian. Penelitian dilakukan di Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap, Yogyakarta, Jember, dan Padang.

Penelitian dilakukan awalnya untuk mengetahui praktik diskriminasi jender di sekolah. ”Tetapi, sejumlah guru, terutama guru agama, orangtua murid SLTA, anggota ormas agama, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat mengeluhkan perilaku ’aneh’ yang menggelisahkan di rumah dan di sekolah,” tutur Ciciek.

Di antaranya, siswi-siswi sebuah sekolah teladan di Yogyakarta dilarang tampil dalam acara kesenian sekolah dengan alasan suara adalah aurat. Ada pula ibu yang merasa tak mengenali anaknya lagi karena si anak tak mau berhubungan dengan ibunya karena si anak menganggap iman ibunya tak sebaik si anak. ”Ada juga ’anak yang hilang’ yang diakui juga oleh Kementerian Agama,” kata Ciciek.

Diskriminasi

Aksi-aksi tersebut, demikian Ciciek, melahirkan diskriminasi jender dengan legitimasi agama. Diskriminasi itu dilembagakan melalui organisasi resmi sekolah, yaitu kegiatan ekstra kurikuler keagamaan, tecermin dari struktur dan kultur organisasi serta materi ajar yang disampaikan dalam bentuk buku, majalah, selebaran, hingga VCD film.

Siswi, misalnya, tidak boleh mengetuai organisasi ekstrakurikuler, perempuan hanya boleh memimpin perempuan, suara perempuan di ruang publik dianggap aurat, pemisahan ketat ruangan antara siswi dan siswa, pembedaan peran dengan penekanan peran domestik/rumah tanggal untuk siswi. ”Pembedaan ruang dengan memakai tabir itu dilakukan di sekolah umum teladan,” kata Ciciek.

Menghadapi kemunduran dalam penghargaan atas kesetaraan jender tersebut, ajakan Rahima kepada organisasi kemasyarakatan ikut serta menyosialisasikan keberagaman, kesetaraan dan keadilan mendapat tanggapan baik. Begitu juga respons Kementerian Agama serta Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Yang responsnya belum menggembirakan adalah Kementerian Pendidikan Nasional. ”Mereka beralasan, pendidikan urusan daerah setelah otonomi daerah,” kata Ciciek.

Ke depan, menurut Ciciek, jejaring masyarakat sipil harus dikuatkan dan introspeksi pada pendekatan selama ini. Dia menyebut, masukan dari mereka yang pernah berada di dalam jaringan konservatif, ide pembebasan perempuan sangat memukau, tetapi secara praktis ”kurang berhati”.

”Meskipun ide yang ditanaman keras, teman itu menyebutkan, pendekatannya sangat lembut, merangkul, memanusiakan; pendekatan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan pribadi. Dia dianggap anggota keluarga, dibantu mengatasi segala kesulitan, mulai dari uang sekolah/kuliah, sampai dicarikan jodoh,” tutur Ciciek.

Intinya, demikian Ciciek, ide konservatif yang mendiskriminasi itu menyusup tanpa kita sadari karena melalui jalur pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler itu mendapat dana untuk kegiatan mereka dari sponsor perusahaan swasta/bisnis, orangtua, hingga sekolah/negara.

Awalnya sekolah merasa terbantu sebab menganggap kegiatan tersebut sebagai penangkal dari narkoba dan tawuran. Apabila tadinya hanya ditularkan melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan, perlahan diadopsi kegiatan inti sekolah, antara lain melalui aturan seragam sekolah, bahkan di SMA dan SMK, kemudian ke rumah dan ruang publik lain.

Keragaman

Berbagai upaya penyeragaman terebut tidak terbatas pada satu kelompok dominan, tetapi juga di dalam kelompok minoritas, termasuk yang berbasis agama.

Meski demikian, dinamika masyarakat saat ini yang masih memberi ruang keragaman pemikiran bukanlah hal yang terberi, tetapi harus dipelihara dan dijaga. Seperti saat peluncuran buku Psychology of Fashion, Fenomena Perempuan (Melepas) Jilba (LkiS, 2010) pada Selasa (24/8). Buku hasil penelitian kualitatif pada empat perempuan di empat kota di Jawa untuk program S-1 Psikologi ditulis Juneman. Dia mengajak memahami dan menghargai keragaman di masyarakat. Di tengah tingginya semangat di masyarakat agar perempuan mengenakan jilbab, demikian Juneman, pilihan narasumber penelitian melepas jilbab tidak dapat diartikan berkurang keimanannya.

Musdah Mulia, pembahas buku, mengingatkan, dalam fikih perbedaan pemikiran adalah keniscayaan. Dia mencontohkan perempuan sufi Rabiah Addawiyah yang memberikan hidupnya bagi Tuhan, tanpa pamrih pada surga-neraka. Itu memotivasi berlomba pada kebaikan dan tidak mengklaim kebenaran tunggal. (NMP/MH)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010

Ibu Kota Negara Harus Pindah?

-- Tommy Firman

SANGAT menarik artikel yang ditulis oleh A Sonny Keraf, ”Pindahkan Ibu Kota”, pada Kompas edisi 28 Juli lalu. Tulisan itu berangkat dari berbagai masalah perkotaan Jakarta, khususnya kemacetan lalu lintas yang menjadi topik sangat aktual dalam beberapa minggu ini.

Ada tiga alternatif yang diajukan Sonny Keraf: pindahkan ibu kota, sebarkan kementerian, dan batasi berbagai kegiatan ekonomi di Jakarta untuk dikembangkan lebih jauh, khususnya pembangunan mal, hotel, dan perguruan tinggi. Gagasan ini sangat inspiratif dan mengundang perdebatan dalam memberi berbagai alternatif solusi bagi pemecahan soal kemacetan di Jakarta, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengadakan pembahasan tentang perkembangan masa depan kota Jakarta dalam lingkup nasional pada seminar 23 Juli di Jakarta. Penulis sendiri menyajikan sebuah kertas kerja berjudul ”Peran Jakarta Sebagai Ibu Kota: Antara Beban dan Berkah”. Di sini, penulis bermaksud menyampaikan pokok-pokok kertas kerja itu melihat peran dan fungsi Jakarta (Jabodetabek) dalam lingkup nasional sebagai bandingan yang komplementer dengan tulisan Sonny Keraf.

Urbanisasi

Urbanisasi dan perkembangan kota, termasuk Jakarta, sebenarnya adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan, sejalan dengan berbagai kemajuan sosial-ekonomi dan teknologi yang terjadi. Perkembangan ini sebenarnya dipacu lagi dengan globalisasi ekonomi ketika kota-kota besar di dunia ini telah terintegrasi ke dalam sistem perkotaan secara global. Menahan atau menghindari urbanisasi dan perkembangan kota sangat muskil.

Kebijakan seperti Jakarta sebagai kota tertutup yang diterapkan pada masa Gubernur Ali Sadikin dirasa tak pernah efektif hingga saat ini karena membanjirnya penduduk ke Jakarta bukan masalah Jakarta semata, tetapi masalah nasional, khususnya pembangunan yang timpang dan kemiskinan. Sikap yang perlu ditempuh sebenarnya adalah bagaimana memanfaatkan dan mengelola urbanisasi dan pembangunan kota untuk tujuan pembangunan nasional.

Urbanisasi dan perkembangan kota diyakini terkait erat dengan perkembangan ekonomi. Sebuah studi yang sedang disusun oleh Bank Dunia (David Dowall, 2010) memperlihatkan bahwa hal ini pun terjadi di Indonesia. Dalam kurun 1970-2005, kenaikan tingkat urbanisasi (persentase penduduk perkotaan) di Indonesia hampir tiga kali lipat, sementara kenaikan produk domestik bruto (GDP)—dengan harga konstan tahun 2005—naik kira-kira empat kali.

Sebagai perbandingan, kenaikan tingkat urbanisasi di China dalam kurun yang sama mencapai dua kali, sedangkan GDP-nya meningkat 14 kali. Adapun Vietnam dan Thailand mengalami kenaikan urbanisasi masing-masing 1,50 dan 1,25 kali. Kenaikan GDP masing-masing empat dan lima kali lipat. Walaupun angka- angka ini masih dapat diperdebatkan, secara kasar ini menunjukkan bahwa kenaikan tingkat urbanisasi di Indonesia belum banyak mendorong pertumbuhan ekonomi jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia itu.

Di samping itu, fenomena urbanisasi dan perkembangan kota di Indonesia, seperti juga di kebanyakan negara yang sedang berkembang, menunjukkan konsentrasi yang sangat tidak seimbang karena sangat terpusat pada kota tertentu saja: Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek); Surabaya (Gerbangkertasusila); Bandung Raya; dan Medan Raya (Mebidang).

Sebagai gambaran bagaimana peran Jabodetabek dalam perekonomian nasional dan ketimpangan itu terjadi, studi Bank Dunia (David Dowall, 2010) menunjukkan bahwa Jabodetabek berkontribusi 25,1% terhadap GDP Indonesia pada 1993 dan 25,5% pada 2006. Sementara itu, kontribusi Gerbangkertasusila, kota terbesar kedua di Indonesia, hanya 6,9% pada 1993 dan 7,1% pada 2006.

Jabodetabek

Dalam 25 tahun terakhir ini Jabodetabek mengalami perkembangan yang luar biasa dibandingkan dengan kota ataupun daerah lainnya di Indonesia. Fungsi pusat kota Jakarta berkembang pesat menjadi konsentrasi kegiatan jasa, finansial, perkantoran, bisnis, serta kondominium mewah, sementara kegiatan industri dan permukiman berkembang di pinggir kota. Hal ini ditunjukkan pula dengan konversi lahan baik di pusat kota, dari perumahan jadi kawasan bisnis, maupun di pinggir kota, dari lahan pertanian subur beririgasi jadi kawasan industri serta permukiman dan kota-kota baru.

Gejala ini merupakan limpahan dari kota Jakarta yang sering juga disebut sebagai urban sprawl. Secara keseluruhan, Jabodetabek mengalami transformasi dari wilayah perkotaan (metropolitan) berpusat tunggal menjadi berpusat jamak. Dapat dicermati juga bahwa laju kenaikan penduduk di Jakarta semakin rendah. Bahkan, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan telah mengalami kenaikan negatif, sementara laju kenaikan penduduk Kabupaten Tangerang, Bekasi, dan Bogor relatif tinggi.

Demikian pula jumlah penglaju dari Botabek ke Jakarta, dan sebaliknya, meningkat dengan tajam. Apabila jumlah penduduk tetap kota Jakarta (penduduk malam) diperkirakan 9,5 juta jiwa, maka penduduk siang kemungkinan telah melampaui 12 juta jiwa, dengan tambahan sekitar 2,5-3 juta penglaju tiap hari.

Mengapa perkembangan Jabodetabek sangat pesat? Pertama, karena kota ini telah terintegrasi ke dalam sistem perkotaan global, yang ditunjukkan dengan berkembangnya investasi berbagai kegiatan ekonomi baik industri (elektronik, garmen, dan lain-lain), jasa, maupun konsumsi yang pusatnya berada di mancanegara, yang hampir-hampir tak ada kaitan dengan ekonomi lokal, kecuali tenaga kerja berupah rendah saja.

Kedua, kebijakan pembangunan yang cenderung bias ke perkotaan, khususnya Jakarta dan sekitarnya. Ketiga, Jabodetabek memiliki keuntungan tersendiri karena memang memiliki infrastruktur (pelabuhan, energi listrik, air) yang jauh lebih baik dari daerah lain di Indonesia.

Keempat, ketidakefektifan kebijakan eksplisit pembangunan perkotaan nasional, seperti rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN) yang telah menjadi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 dan PP No 26/2008 karena yang jauh bekerja lebih efektif adalah kebijakan implisit, seperti kebijakan investasi, perdagangan, pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan jalan tol. Selama hal ini tak beranjak berubah, rasanya sangat sukar mengurangi penumpukan dan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya.

Banyak negara di dunia yang memiliki pusat pemerintahan (ibu kota) terpisah dari berbagai kegiatan ekonomi, seperti Washington DC, Canberra, Brasilia, dan Berlin. Kota-kota ini memang menjadi ibu kota negara karena memiliki sejarah dan maksud-maksud politis yang sangat unik: tidak pertama-tama dimaksudkan sebagai solusi bagi kemacetan atau penumpukan kegiatan ekonomi di kota-kota tertentu saja.

Banyak juga ibu kota yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, seperti Tokyo. Isu utama terpenting dalam hal ini adalah apakah pemerintah kota itu memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk mengelola kota tersebut termasuk penataan ruang yang konsisten, yang dewasa ini dikenal dengan tata kelola perkotaan untuk mengonsolidasi dan memanfaatkan berbagai pemangku kepentingan secara bersinergi untuk tata kelola tersebut. Jakarta (Jabodetabek) pun demikian soalnya: pemindahan ibu kota kemungkinan besar tidak akan efektif memecahkan masalah kemacetan di Jakarta, di samping juga biaya pemindahan akan sangat tinggi yang pada akhirnya akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Jadi, isu utamanya adalah bukan ibu kota harus pindah, tetapi kegiatan ekonomi yang terlampau terpusat di Jabodetabek, yang pada gilirannya menjadikan masalah ketimpangan kota dan wilayah secara nasional serta masalah yang dihadapi oleh kota Jakarta sendiri pada saat ini.

Kebijakan tata ruang nasional saat ini tidak efektif kalau tidak dikatakan hanya ”macan kertas”. Jika dinginkan untuk mengurangi disparitas ini, sebenarnya telah banyak disuarakan. Berikan insentif dan disinsentif agar kegiatan ekonomi yang menumpuk di Jakarta tersebut dapat menyebar pada berbagai kota yang mempunyai potensi menjadi pusat pertumbuhan, khususnya di luar Jawa, seperti Makassar, Manado-Bitung, Medan, dan kota di wilayah Indonesia bagian timur lainnya agar investor berminat menanamkan modalnya di sana.

Dapat dikemukakan pula bahwa sebenarnya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah juga suatu kendaraan untuk mencapai pembangunan yang seimbang. Namun, pada saat ini suasana euforia masih mewarnai implementasi kebijakan tersebut sehingga pada kebanyakan kabupaten dan kota terjadi egosentris lokal ataupun ”penglokalan kekuasaan” (Vedi Hadiz, 2010), yang pada gilirannya menjadikan fragmentasi pengembangan wilayah di Indonesia.

* Tommy Firman, Guru Besar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010

Dokumen: Negeri Surga bagi Koruptor

-- Marwan Mas

NEGERI ini betul-betul surga bagi koruptor. Meskipun sudah dipenjara, berbagai fasilitas akan tetap dinikmati para koruptor. Kado kemerdekaan dari pemerintah juga mereka nikmati, berupa remisi, bebas bersyarat, dan grasi.

Sekitar 341 terpidana korupsi (koruptor) diberi hadiah kemerdekaan. Salah satunya adalah besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan, bersama tiga rekannya dalam kasus yang sama, yang mendapat pembebasan bersyarat. Yang lebih fantastis diterima Syaukani Hassan Rais, Presiden memberinya grasi (pengampunan) yang sebelumnya divonis enam tahun penjara.

Kendati kebijakan itu memiliki dasar hukum, tetapi akan melemahkan semangat antikorupsi bagi aparat penegak hukum yang begitu susah payah membawa koruptor ke pengadilan. Kerja keras mereka jadi sia-sia, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). United Nations Convention Against Corruption mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Membudayakan perang terhadap kejahatan luar biasa mestinya terus digelorakan, bukan dilemahkan.

Korupsi melibatkan nama-nama besar dan merampas nilai-nilai kemanusiaan sehingga dalam memeranginya butuh tindakan berskala besar, cara-cara yang luar biasa dengan dukungan politik kuat dan nyata dari Presiden. Salah satu bentuk luar biasa adalah tidak memberikan remisi, pembebasan bersyarat, dan grasi bagi koruptor.

Fasilitas hukum

Kalau perbuatan para koruptor terbukti di sidang pengadilan, mereka tetap tak akan khawatir sebab negara menyiapkan berbagai fasilitas. Setelah divonis penjara sekian tahun dan berkekuatan hukum, mereka masih bisa memanfaatkan mekanisme peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Di sini, mereka bisa menikmati korting masa tahanan, bahkan bisa dibebaskan. Lihat saja Artalyta Suryani, yang dipidana karena menyuap seorang jaksa, hukumannya dikorting oleh hakim PK dari lima tahun penjara menjadi empat tahun enam bulan penjara.

Kehidupan koruptor di penjara juga enak lantaran mendapat perlakuan istimewa. Dengan sedikit mengeluarkan duit hasil korupsi, petugas lembaga pemasyarakatan bisa ditaklukkan. Kamar tahanan disulap menjadi kamar yang memiliki fasilitas bagai hotel berbintang. Bukan hanya itu, mereka juga bisa leluasa cuti atau keluar tahanan menemui keluarga dan koleganya, semuanya karena main mata dengan oknum petugas lembaga pemasyarakatan.

Atas nama pembinaan, para koruptor juga bisa masuk kategori itu. Jika berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa hukuman, mereka akan diberikan remisi atau pembebasan bersyarat di hari kemerdekaan dan hari raya keagamaan. Dalam bulan Ramadhan ini, koruptor akan menikmati dua hadiah. Selain hadiah kemerdekaan yang sudah diterima, juga di hari raya Idul Fitri nanti akan memperoleh lagi parsel Lebaran berupa remisi.

Menggunakan fasilitas hukum tentu hak setiap terpidana, tetapi tidak bagi koruptor yang jelas-jelas menyengsarakan kehidupan rakyat. Presiden Yudhoyono telah mencederai sendiri komitmennya yang diungkap dalam pidato 16 Agustus 2010 di hadapan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Presiden mengatakan, ia akan tetap berkomitmen memberantas korupsi yang disebutnya ”reformasi gelombang kedua” sebagai kelanjutan reformasi gelombang pertama (1998-2008).

Menoleransi koruptor dengan fasilitas remisi, pembebasan bersyarat, apalagi grasi tak lebih dari upaya menarik simpati rakyat. Caranya, dibungkus dengan ”belas kasihan” dan ”penghargaan hak asasi manusia”. Inilah presiden pertama di negeri ini yang memberikan pengampunan bagi koruptor. Kalaulah presiden sensitif terhadap penderitaan rakyat, apalagi tidak mencederai rasa keadilan, sudah pasti rakyat akan merasa bahagia di hari kemerdekaan tahun ini.

Hukuman memiskinkan

Boleh saja menggerutu atau mencaci koruptor karena serakah mencoleng uang rakyat. Namun, penilaian bisa berbeda dengan pemerintah, koruptor juga manusia yang perlu dihormati hak asasinya, apalagi ada dasar hukumnya. Ada UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan untuk memberikan remisi dan pembebasan. Juga Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 yang digunakan Presiden memberi grasi kepada Syaukani.

Pola pemidanaan yang dipakai saat ini tidak akan memiliki efek jera bagi terpidana, terlebih bagi calon koruptor. Penjara bukan satu-satunya cara penjeraan sebab dalam Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana tambahan berupa ”pembayaran uang pengganti dan denda” bisa diterapkan.

Penerapan uang pengganti dan denda bertujuan untuk ”memiskinkan” koruptor dengan menyita semua harta yang diperoleh dari korupsi. Uang pengganti sebesar jumlah yang dikorupsi, sedangkan denda berdasarkan jumlah yang seharusnya diperoleh negara seandainya dana yang dikorupsi itu dimanfaatkan. Sayang, filosofi hukuman pemiskinan ini tidak efektif lantaran masih dilapisi ketentuan: jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti dan denda, diganti dengan pidana penjara, yang tentu saja bisa diberi remisi atau grasi lagi.

Revisi UU Korupsi perlu menekankan pidana pemiskinan sebab penjara maksimal sekalipun tidak akan menimbulkan efek jera jika masih tersedia fasilitas remisi. Belum lagi putusan hakim yang umumnya ringan, bahkan tidak sedikit yang diputus bebas. Toleransi kepada koruptor akan semakin membuat negeri ini sebagai tempat yang menyenangkan (surga) bagi koruptor.

* Marwan Mas, Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010

[Pustakaloka] Timbangan: Argumen di Balik Trilogi Pembaruan Islam

-- Mohamad Asrory Mulky

• Judul: Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia • Penulis: Budhy Munawar-Rachman • Penerbit: LSAF dan Paramadina • Cetakan: I, Juni 2010 • Tebal: ixv + 789 halaman • ISBN: 978-979-95611-7-6

SEJAK Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, ketiga ideologi itu menjadi istilah yang kian populer. Trilogi itu seakan menjelma seperti makhluk yang menakutkan, karena itu keberadaannya mesti diwaspadai. Bagaimana argumen Islam terhadap hal ini?

Di Indonesia, ide-ide demokrasi seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme kerap mendapat penolakan keras dari sebagian kalangan. Puncaknya adalah ketika pada 29 Juli 2005 Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat definisi mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Istilah ini dikeluarkan dalam Keputusan Fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005. Berdasarkan definisi yang dibuat lembaga ini, MUI membuat ketentuan hukum haram terhadap sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, yaitu bahwa ”Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama… adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti, haram mencampuradukkan akidah dan ibadah Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain” (halaman 7).

Pasca-keluarnya fatwa haram MUI, diskursus mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme justru banyak diperbincangkan, tidak saja oleh akademisi, tetapi juga kalangan umum. Pada waktu yang bersamaan muncul gerakan-gerakan pemikiran yang menopang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Islam progresif. Kesepuluh lembaga tersebut diulas dalam buku ini.

Namun, bagi Budhy Munawar-Rachman, penulis buku Reorientasi Pembaruan Islam ini, sekularisme, liberalisme, dan pluralisme secara substansial merupakan bagian integral dari spirit Islam yang sesungguhnya. Aplikasi ketiganya, dalam konteks Indonesia yang majemuk, merupakan keharusan demi terwujudnya masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis.

Berbicara mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, tidaklah mungkin memisahkan satu dengan lainnya, mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain. Ketiganya sangat berkait berkelindan, terutama dalam merespons isu-isu kebebasan beragama yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, khususnya Majelis Ulama Indonesia.

Meluruskan pandangan

Buku ini diterbitkan dalam rangka merayakan 40 tahun orasi pembaruan Islam Nurcholish Madjid (Cak Nur) di Indonesia, 3 Januari 1970-2010. Perjuangan Cak Nur selama itu, terutama dalam menyebarkan paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, tidaklah sia-sia. Pasalnya, trilogi pembaruan ini telah memberikan dampak positif bagi terwujudnya kerukunan beragama di Indonesia hingga kini, meskipun terkadang kekerasan atas nama agama masih saja terjadi.

Kehadirannya juga dimaksudkan untuk meluruskan pandangan negatif terhadap sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Secara konseptual, sekularisme adalah paham tentang pemisahan antara agama dan negara. Namun, bukan berarti dalam negara yang menerapkan sekularisme, keberadaan agama disingkirkan dari wilayah publiknya. Justru dengan paham ini, setiap umat beragama dapat mengembangkan dan menjalankan kehidupan keagamaannya tanpa harus diintervensi negara.

Tidak bisa dibayangkan jika dalam sebuah negara yang multi-agama seperti Indonesia, pemerintahnya hanya memilih satu keyakinan sebagai agama resmi. Maka yang akan terjadi adalah diskriminasi, eksploitasi, dan bahkan konflik horizontal atas nama agama bermunculan di mana-mana.

Sekularisme memberi batasan jelas antara otoritas agama dan negara. Idealnya, negara hanya mengontrol praktik-praktik keagamaan dengan kriteria hukum yang berlaku. Negara tidak bisa melarang umat beragama untuk menjalankan peribadatannya dan menganut kepercayaan yang diyakininya. Sekularisme membantu menciptakan keseimbangan antara agama dan negara. Masing-masing akan memberi kontribusi dalam membangun bangsa yang adil, terbuka, dan demokratis.

Paham ini harus diikuti liberalisme, yang bertolak dari pandangan tentang kebebasan. Namun, perlu dicatat, kebebasan bukan berarti bebas tanpa batas seperti yang diasumsikan banyak pihak selama ini. Yang dimaksud dengan liberalisme adalah kebebasan hak-hak sipil yang harus diperhatikan oleh negara, seperti kebebasan berpikir, berpendapat, beragama, dan berkeyakinan. Demokrasi yang menjunjung nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan akan memperoleh momentumnya dalam negara yang menganut liberalisme. Dalam liberalisme, setiap jiwa diberikan kebebasan tanpa kecuali.

Islam, sebagai agama yang banyak dianut warga Indonesia, juga memberikan prinsip-prinsip yang sama, yaitu dengan apa yang disebut sebagai al-kulliyat al-khamsah (lima hal pokok dalam Islam). Kelima hal tersebut adalah menjaga agama (hifzh al-din), menjaga nalar (hifzh al-‘aql), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), menjaga harta (hifzh al-mal), dan menjaga kehormatan (hifzh al-‘irdl). Kemunculan Islam pun sejak awal membawa misi liberasi (pembebasan) dari penindasan, tirani, dan ragam bentuk ketidakadilan. Semangat inilah yang mestinya harus terus dikobarkan.

Rasanya tidak cukup membicarakan sekularisme dan liberalisme tanpa melibatkan pluralisme. Ketiganya bagai anggota tubuh manusia yang saling membutuhkan dan melengkapi satu dengan lainnya. Pluralisme adalah paham yang mengakui kemajemukan dan keragaman realitas, bukan kesamaan. Yang ditekankan dalam paham ini adalah perbedaan, meski bukan berarti dalam setiap perbedaan tidak ada kemungkinan kesamaan. Kesamaan dalam perbedaan bisa dicapai jika dibarengi sikap saling memahami dan membuka diri.

Dalam konteks Indonesia, keragaman atau pluralitas sudah menjadi kenyataan hidup yang tak terbantahkan, bahkan sudah menjadi keharusan perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Ini merupakan sunatullah yang tak mungkin dihindari. Pluralitas dalam sebuah bangsa berpotensi menimbulkan perpecahan dan konflik. Karena itu, untuk menghindarinya diperlukan pluralisme. Paham ini memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat yang berbeda sehingga setiap orang akan mendapat kebebasan yang sama, adil, dan setara.

Sayangnya, buku ini tidak memuat pandangan dari Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan (Kapal Perempuan) dan Fatayat NU yang juga ikut berkontribusi dalam penyebaran sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Tidak disertakannya kedua lembaga tersebut dikhawatirkan akan memunculkan penilaian yang bias jender terhadap buku ini. Meski demikian, buku ini telah berhasil meyakinkan bahwa sekularisme, liberalisme, dan pluralisme telah menjadi kenyataan sosial politik di Indonesia yang plural dan majemuk.

Mohamad Asrori Mulky, Penikmat Buku

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010

Indonesia Kaya Kreativitas

Jakarta, Kompas - Indonesia bukan cuma negara yang subur dan sumber daya alamnya melimpah, melainkan benar kata para pendiri negara, rakyatnya memiliki kreativitas yang luar biasa. Hal itu terbukti dalam banyak kesempatan.

Pemimpin Umum Harian "Kompas" Jakob Oetama bersama kartunis Kompas , Jitet Koestana, dengan latar belakang karyanya yang meraih Golden Prize The 9th Kyoto International Cartoon Exhibition 2010 di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (26/8). Pameran kartun yang berlangsung hingga 5 September itu menampilkan 187 karya kartun dari 33 negara peserta dan 18 di antaranya merupakan kartunis Indonesia. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

”Salah satunya dalam The 9th Kyoto International Cartoon Exhibition 2010, sebanyak 18 kartunis muda Indonesia masuk nominasi. Kreativitas mereka sangat membanggakan,” kata pendiri dan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama ketika membuka Pameran Kartun The 9th Kyoto International Cartoon Exhibition di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (26/8) malam.

Jakob mengatakan, mencermati ide-ide kreatif di kartun yang dipamerkan, ia sangat bangga. Kreativitas 18 kartunis muda Indonesia di ajang internasional itu sangat luar biasa.

”Sebagai orangtua, saya tersentuh. Alam subur, kekayaan melimpah, kreativitas luar biasa, kalau masih ada sekitar 30 juta rakyat Indonesia yang miskin, menjadi tanggung jawab kita bersama memperbaikinya. Kita tidak boleh menyalahkan keadaan, tapi harus berbuat untuk kemajuan bangsa,” ujarnya.

Jakob Oetama memberikan Penghargaan Harian Kompas kepada kartunis Gesigoran.

Pameran kartun karya kartunis dari 33 negara itu berlangsung hingga 5 September. Pameran menyajikan 187 karya kartun pemenang yang terpilih dari 716 yang ikut lomba.

Pada pembukaan semalam juga hadir kartunis dari Inggris, Martin Honeysett, yang meraih Special Jury Prize dan Pawel Kuczynski, kartunis asal Polandia, yang meraih Silver Prize. Ketua Dewan Juri The 9th Kyoto International Cartoon Exhibition, Yasuo Yoshitomi, mengatakan, karya-karya kartunis Indonesia paling diperhitungkan. Jitet Koestana, yang meraih Golden Prize, disebut sebagai orang yang penting diperhitungkan karena memiliki pandangan tajam dan teknik drawing yang luar biasa.(NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010

RI-Malaysia: Pemerintah Perlu Berikan Terapi Kejut

Jakarta, Kompas - Langkah tegas dan berani dalam menghadapi sikap dan perlakuan Malaysia harus segera direalisasikan. Jika bukan dalam bentuk pemutusan hubungan diplomatik, hal itu bisa dilakukan dengan penurunan hubungan diplomatik. Ini penting sebagai terapi kejut bagi negara tersebut.

Pendapat itu disampaikan oleh dosen Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, Kamis (26/8).

Keduanya berkomentar tentang rembesan isu terkait kasus pencurian ikan oleh nelayan Malaysia di wilayah Indonesia.

Menteri Luar Negeri Malaysia Dato’ Sri Anifah Hj Aman menyatakan siap berunding dengan Indonesia dalam menuntaskan masalah kedua negara, baik perairan maupun darat, walaupun prosesnya dipastikan berlangsung lama dan rumit.

Hal itu disampaikannya saat menerima kunjungan dan berdialog dengan sedikitnya 24 Duta Belia Indonesia 2010 di Kantor Kementerian Luar Negeri Malaysia, Putra Jaya, Malaysia.

Anifah meyakini masalah yang terjadi di antara kedua negara sekarang cukup dituntaskan dan dibicarakan di antara kedua menteri luar negeri tanpa perlu melibatkan kepala negara masing-masing.

Menanggapi kemarahan masyarakat Indonesia, yang bahkan sampai menuntut Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia, Anifah menyatakan bahwa pada prinsipnya Pemerintah Malaysia kesulitan mencabut perwakilannya di Indonesia (Kedutaan Besar Malaysia untuk Indonesia di Jakarta) lantaran kedubesnya tersebut termasuk dalam 22 kedubes Malaysia yang punya kekebalan. Siapa pun tidak boleh mencabutnya.

Dengan begitu, Anifah lebih menyarankan agar Pemerintah Indonesia berupaya keras melindungi perwakilan Malaysia beserta aset-asetnya di Jakarta dari kemungkinan kerusakan yang disebabkan kekacauan akibat aksi protes masyarakat Indonesia.

Marty dikritik

Dari dalam negeri, tekanan terhadap pemerintah agar bertindak lebih tegas terus bermunculan. ”Sekarang ini mumpung isunya seputar masalah kecil yang sifatnya teknis. Namun, kita harus bisa bersikap tegas. Tujuannya adalah menjadikan ketegangan sebagai terapi kejut. Supaya semua sadar, hubungan kita dengan Malaysia selama ini bukan tanpa masalah. Katanya serumpun, tetapi kok banyak persoalan?” ujar Andi Widjojanto.

Andi juga mengkritik jawaban Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di depan rapat dengar pendapat bersama Komisi I DPR, Rabu (25/8). Menlu Marty mengkhawatirkan pemutusan hubungan diplomatik, seperti usulan Komisi I, hanya akan memperumit persoalan.

Marty khawatir pemutusan hubungan diplomatik bisa sangat menyulitkan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di negara jiran tersebut.

”Kalau cara berpikirnya masih begitu, sama artinya kemampuan diplomasi kita masih mentah. Janganlah setiap masalah selalu disingkirkan dan disembunyikan begitu saja ke bawah karpet. Idealnya, selesaikan saja langsung. Berkonflik kan tidak harus bermusuhan. Lagi pula kedua negara pasti sama-sama punya kepentingan bersama,” ujar Andi.

Ikrar menilai langkah tegas penurunan status hubungan diplomatik bisa menjadi langkah tepat. Indonesia sudah pernah menarik duta besarnya dari negara lain seperti Australia pascalepasnya Timor Leste.

Mendesak Presiden

Desakan juga terus disuarakan sejumlah kalangan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menurut mereka tidak tegas dan juga lamban dalam menyikapi persoalan serius kali ini.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumatera Utara, Parlindungan Purba, meminta Presiden Yudhoyono langsung berkomunikasi dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. ”Agar kasus tersebut tidak berlarut-larut dan semakin meruncing seperti sekarang terjadi, yang diyakini hanya akan merugikan kedua belah pihak,” katanya.

Ketua Umum Partai Damai Sejahtera Denny Tewu meminta Presiden Yudhoyono merevisi putusan yang telah diambilnya terkait persoalan ini. Dia juga mengaku akan berkirim surat kepada Presiden agar pemerintah meninjau kembali hubungan diplomatik dengan negara itu. Sikap dan pernyataan pemerintah selama ini dia nilai justru tidak membangkitkan rasa nasionalisme bangsa.

Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga, I Basis Susilo, mengatakan, ketidaktegasan diplomasi Indonesia tecermin dalam hubungan dengan Malaysia saat ini.

Menurut Basis, bentuk hubungan bilateral bersahabat seharusnya saling menguntungkan. Untuk itu, pemerintah harus menunjukkan kesiapan memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia, yang pada akhirnya akan meningkatkan gengsi Indonesia di mata negara lain dan menjadikannya sebagai negara yang punya harga diri dan tidak bisa dipermainkan.(DWA/NIK/RAZ/WHO/WSI/TRA/NIT/MKN/CHE)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010

Thursday, August 26, 2010

Kebudayaan Tidak Tumbuh dalam Tubuh Politik

JAKARTA, KOMPAS - Kebudayaan tak tumbuh dalam tubuh politik kita. Visi tentang keadilan tidak lagi memukau sebagai nilai kebudayaan karena semua transaksi sosial dapat diselesaikan secara koruptif. Inspirasi kebudayaan tidak lagi datang dari kampus karena refleksi dan kritisisme bukan lagi energi akademis utama pendidikan tinggi.

Budayawan dan pengajar filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, mengemukakan hal itu pada panel diskusi bertajuk ”Kebudayaan dalam Kita, Kita dalam Kebudayaan” yang digelar Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI) dan Bale Sastra Kecapi, Rabu (25/8) di Galeri Nasional Jakarta. ”Kita tidak mendengar suara kebudayaan di ruang-ruang sidang parlemen. Yang ada adalah suara dengkur para politisi,” katanya.

Rocky, yang berbicara tentang letargi kebudayaan, menjelaskan, apabila kita kini menemukan tendensi kebudayaan menjauh dari ide keadilan (dalam ruang ekonomi), ide kedaulatan (dalam ruang politik), dan ide kebebasan (dalam ruang imajinasi), itu pertanda daya cipta sudah dalam kondisi letargi. Sudah terjadi immobilitas mental dan cita-cita kebudayaan dalam semua sektor kehidupan.

”Tetapi ada hal yang lebih berbahaya dalam cara kita berbangsa sekarang ini, yaitu pemicikan nilai-nilai republik,” ujarnya.

Penyair dan esais Afrizal Malna, yang menyorot ”krisis teater politik”, mengatakan, fenomena yang hadir dewasa ini adalah merosotnya komitmen, etos, ataupun visi kita bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.

Menurut Afrizal, dalam konstitusi, kebudayaan dilihat sebagai ”puncak-puncak kebudayaan daerah”. Konstitusi yang justru menempatkan kebudayaan tanpa subyek yang jelas. Kebudayaan bukan dilihat sebagai ”hak seluruh rakyat Indonesia untuk mencipta dan berpendapat”.

Kita tidak tahu bagaimana mekanisme dan infrastruktur dari puncak-puncak kebudayaan daerah ini? Siapa pelaku dan siapa yang bertanggung jawab? Apa produk dari puncak-puncak kebudayaan daerah ini?

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengatakan, masalah kebudayaan seharusnya diurus kementerian pendidikan. Pendidikan nasional juga tak benar karena dalam praktiknya berkembang pendidikan internasional dengan bahasa pengantar yang mengkhianati Sumpah Pemuda. (NAL)

Sumber: Kompas, Kamis, 26 Agustus 2010

Wednesday, August 25, 2010

[Sosok] Lewat Kamus Melestarikan Bahasa Bali

-- Ayu Sulistyowati

RIBUAN kata dan kalimat Bali dikumpulkannya hampir selama 20 tahun. Itu semua hanya demi satu kata, ”lestari”! Dia adalah Prof Dr I Gusti Made Sutjaja MA, penyusun kamus bahasa Bali-Inggris-Indonesia.

I GUSTI MADE SUTJAJA (KOMPAS/AYU SULISTYOWATI)


Kamus itu dia kerjakan dari yang sederhana, dicetak sendiri, hingga yang eksklusif hasil cetakan Pustaka Balipost dan Periplus Singapura. Bahkan, cerita-cerita rakyat Bali pun dia alihbahasakan ke bahasa Inggris, dan sudah tersusun di perpustakaan Congress Australia.

Meski begitu, ia masih memimpikan adanya kamus digital yang mampu menyediakan istilah apa pun dan dari tahun berapa pun dengan cara mudah. ”Biar dengan sekali ketuk tombol enter di komputer, apa yang diminta langsung tampil.” Mewujudkan mimpi itulah yang kini tengah ia garap di kamar kerjanya.

Awalnya, Sutjaja, guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud), prihatin pada generasi sesudah dirinya yang kurang peduli dengan bahasa ibu sendiri, meski dalam keseharian mereka berdialog dengan bahasa Bali dalam strata apa pun (umum-alus-lumrah).

Berangkat dari rasa malu, terutama kepada orang asing yang fasih berbahasa Bali, ia bertekad menyusun kamus bahasa Bali yang lengkap. ”Bayangkan, sewaktu saya kuliah di Australia, eh orang Australia yang menjadi teman kuliah pintar sekali berbahasa Bali. Duh, saya malu,” katanya.

Maka, mulai tahun 1980-an, hampir setiap hari dia mengumpulkan kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga cerita rakyat asli Bali, baik berupa buku maupun di lontar dengan tulisan aksara Bali. Ia terus menggali kata-kata hingga sastra Bali.

Terinspirasi salinan kamus Kawi-Balineesch-Nederlandsch karya Dr HN Van Der Tuuk (17 Agustus 1893) pemberian temannya, Sutjaja semakin terpacu. Setelah mengumpulkan kata demi kata, kamus Balinese-English, English-Balinese pun diterbitkan Percetakan Balipost. Tahun 1990 kamus itu dijual seharga Rp 30.000 per buku.

Penyusunan kamus itu berlanjut sampai enam tahun kemudian dengan berbagai penyempurnaan, dari hanya ribuan kata menjadi puluhan ribu kata. Tak henti-hentinya Sutjaja berusaha mengumpulkan berbagai sumber dan referensi mengenai semua hal yang berhubungan dengan Bali. Cerita rakyat dari lontar hingga geguritan Bali (semacam gending macapat di Jawa) pun rajin dikumpulkannya.

Ruang kerja itu menjadi tempat Sutjaja menyelesaikan kamus besarnya dan memeriksa pekerjaan para mahasiswa. Baginya, pekerjaan menjadi pengajar bukan hal biasa karena sejak lepas SMA, sekitar tahun 1964, ia sudah mengajar bahasa Inggris di Yayasan Saraswati, milik ayahnya.

Berita radio

Mengapa Sutjaja memilih bahasa Inggris daripada mendalami sastra Bali? Selain karena saat itu di Unud baru ada Fakultas Hukum dan Sastra, juga sebab sehari-hari dia sudah terbiasa mendengar bahasa Inggris.

Kefasihannya berbahasa Inggris bermula dari sang ayah yang suka mendengarkan berita berbahasa asing di radio. Sutjaja terpengaruh, dia lalu mengikuti ”kursus” bahasa Inggris yang diudarakan radio BBC London. Hasilnya, meski masih siswa SMP ia sudah lancar berbahasa Inggris.

Bagi Sutjaja, kebiasaannya berbahasa Inggris harus menghasilkan sesuatu untuk tanah kelahirannya, Pulau Dewata. Arah menyusun kamus itu sebenarnya sudah muncul pada 1970-an. Saat itu ia suka menuliskan satu kata bahasa Bali lengkap dengan padanan bahasa Inggris dalam bentuk kartu-kartu. Namun, karena belum tahu kegunaannya, ia tak menyimpannya.

Maka, ketika keinginannya untuk menyusun kamus bahasa Bali-bahasa Inggris muncul lagi, kali ini Sutjaja lebih rajin menyimpannya. Dia bertekad kamus itu harus diwujudkan.

Bahkan, setelah kamus karyanya dicetak dan diedarkan pun, Sutjaja mengaku tak pernah menyangka catatan- catatan yang dibuatnya berdasarkan kata-kata dalam lontar, cerita rakyat, atau budaya Bali yang dia alihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, bisa menjadi referensi di sejumlah perpustakaan di negara lain.

Investasi jangka panjang

Sayang, penghargaan dari jerih payahnya selama ini umumnya justru datang dari negara lain. ”Saya tidak tahu apakah bangsa ini belum bisa menghargai budaya? Karena semua hal itu disamakan dengan biaya atau barang dagangan. Padahal, ini terkait pendidikan yang seharusnya diperhatikan dan menjadi investasi jangka panjang,” katanya serius.

Sutjaja yang sudah menghasilkan puluhan tulisan dan alih bahasa Bali ke dalam bahasa Inggris ini prihatin pada kondisi bangsa dan menyayangkan generasi muda yang tak dibekali budaya dan pendidikan dengan benar.

”Jika saya larut dalam jurang ketidakpedulian, lalu siapa yang menyusun (kamus itu)? Kebetulan saja saya yang pertama menyusun kamus untuk versi Bali-Indonesia-Inggris,” ujarnya.

Sambil mendengarkan musik, Sutjaja terus bekerja. Pengalaman berharganya yang tak terlupakan adalah menjadi penyunting kamus Balinese-English dari Pater Norbert Shadeg terbitan Periplus, 2007. Selain itu, dia juga bangga kamusnya dicetak Periplus pada 2009.

Semua yang dia dapatkan kini diperoleh dengan perjuangan. Ia pun berusaha menerapkan hal sama kepada mahasiswanya. ”Saya bukan Sinterklas. Jadi, marilah kita membuat karya tulis atau penelitian yang serius dan berguna,” pesan Sutjaja.

Sumber: Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010

Persoalan Nasional: Negara Dinilai Gagal Sejahterakan Rakyat

Jakarta, Kompas - Maraknya kasus perampokan bersenjata yang mengiringi peningkatan kasus bunuh diri dalam keluarga, kematian beruntun akibat meminum minuman keras atau jamu oplosan, dan kematian akibat ledakan gas menjadi bukti bahwa negara telah gagal menyejahterakan rakyatnya. Pancasila, sebagai dasar dan filosofi berbangsa, juga terasa tak ada lagi.

Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan Kompas secara terpisah dengan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Farid Wajdi, Selasa (24/8).

”Pancasila sepertinya sudah tidak ada lagi,” papar Syafii yang dihubungi dari Jakarta. Kiki juga menilai Pancasila sudah semakin direduksi sehingga kesejahteraan rakyat susah terwujud di negeri ini.

”Dari hulunya kita sudah salah. Kita mengingkari Pancasila karena mengganti sikap kekeluargaan dalam filosofi hidup bangsa ini dengan individualisme dan liberalisme. Jika bangsa ini mementingkan individualisme, sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, tak akan pernah terwujud,” ujar Kiki yang juga Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat.

Menurut Kiki, dengan ketidakmampuan bangsa ini mewujudkan kesejahteraan, perilaku kekerasan dalam masyarakat sudah menjadi keniscayaan. Ketika negara gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat, implikasi dari menurunnya performa ekonomi itu adalah kriminalitas dan frustrasi sosial.

Kiki mengatakan, basis kultural bangsa ini bukanlah individualisme dan liberalisme. Ujung dari individualisme dan liberalisme adalah kapitalisme, bukan demokrasi. Kapitalisme tak akan memberikan keadilan sosial. ”Kondisi ini harus dibenahi,” katanya.

Kata dan laku tak sejalan

Syafii menambahkan, berbagai fenomena memprihatinkan yang muncul di masyarakat belakangan ini juga merupakan wujud dari kegagalan negara dalam menegakkan hukum selain mengurangi kesenjangan ekonomi. ”Kalaupun pemerintah punya iktikad, mereka gagal melaksanakannya,” katanya.

Menurut dia, permasalahan jelas ada pada kepemimpinan. ”Pada periode yang lalu masih mending, satu rem, satu gas, sehingga masih ada kemajuan. Kalau sekarang, dua-duanya rem,” kata Syafii.

Kepemimpinan yang ada saat ini dinilainya tidak tegas. Walaupun di media massa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seakan-akan tegas, seperti teguran yang diarahkan kepada menterinya, pada kenyataannya tidak terwujudkan.

”Kata dan laku sudah tidak sejalan lagi,” ujar Syafii.

Turunannya tersebut tampak hingga pada sepak terjang menteri. ”Ini republik apa kerajaan sih,” kata Syafii.

Kiki juga sepakat adanya titik lemah pada kepemimpinan nasional. Kondisi ini membuat upaya untuk menyejahterakan rakyat kian sulit terwujud selain kewibawaan bangsa ini di mata internasional, termasuk di mata negara tetangga, semakin terpuruk.

Saat ini, kata Syafii, berbagai pihak sudah menyatakan pendapat, baik melalui tulisan maupun kata. Namun, pemimpin bangsa ini rupanya bergeming. ”Intinya, tidak bertindak. Lemah sekali,” kata Syafii lagi.

Tak mampu melayani

Farid Wajdi pun mengakui, Indonesia sudah berada di ambang kegagalan sebagai negara. Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan pemerintah memberikan pelayanan kepada warganya. Berbagai fenomena miris yang terjadi di masyarakat sesungguhnya menunjukkan pemerintah saat ini tak dapat menjadi penyelenggara negara yang baik.

”Kasus perampokan tidak berdiri sendiri. Ini adalah rentetan persoalan sosial yang tidak bisa diselesaikan pemerintah. Perampokan bersenjata mungkin adalah reaksi dari respons pemerintah yang rendah terhadap persoalan ketidakadilan,” ujarnya.

Menurut Farid, alih-alih menyelesaikan persoalan, pemerintah malah tak sanggup mengatasi permasalahan substansial bangsa ini. Warga negara yang tak punya akses terhadap pengadilan sering menjadi korban, koruptor justru mudah memanipulasi hukum.(BIL/EDN/TRA)

Sumber: Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010

Tuesday, August 24, 2010

Bangsa yang Panik di Usia 65 Tahun

KONDISI bangsa Indonesia di usia kemerdekaan 65 tahun? Kehidupan kita, mulai bangun pagi hingga tidur lagi, selalu diwarnai dengan hal-hal yang selalu bersifat individual. Ini terjadi tidak hanya di tingkat warga, tetapi juga di tingkat kehidupan politik bernegara.

Bendera Merah Putih berkibar di atas perahu yang ditambatkan di depan tugu perbatasan negara di Pulau Miangas. Pulau Miangas adalah pulau paling utara yang terletak di Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Seluruh susunan masyarakat kita mengalami letargi. Mandek! Bukan karena lelah, tetapi karena kehilangan orientasi mau ke mana?” begitu ungkap Rocky Gerung, pengajar Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia.

Kita menjadi panik dan hanya berdiam. Ide awal menjalankan Republik ini tentu saja ada, tetapi kini seolah terputus. Leadership dari tokoh atau pemimpin, baik dari pemerintah, universitas, maupun lembaga swadaya, sudah tak memiliki energi untuk memelihara kehidupan publik.

”Kita lupa susunan berpikir Republik dan sudah tak bisa diucapkan lagi,” kata Rocky. Akhirnya, kita mudah menerima atau deal dengan hegemoni pihak penguasa atau hegemoni budaya luar karena kita tak punya pertahanan.

Kesibukan individuallah yang sangat berbahaya dan bisa membunuh cita-cita berdirinya Republik ini. ”Seperti menyanyi tetapi tanpa partitur. Lihatlah fenomena pemilihan kepala daerah, pemenangnya adalah istri atau anak dari penguasa sebelumnya,” jelas Rocky.

Kesibukan individu di tingkat penguasa hanya berpikir bagaimana melestarikan dinasti keluarga, bukan untuk penyelamatan bangsa. Suasana seperti itu, kata Rocky, bahkan juga terasa pada Upacara 17 Agustus di Istana yang lebih seperti perayaan keluarga.

Meledak-ledak

Harus kita akui, kita kini menjadi bangsa yang meledak-ledak menanggapi setiap persoalan yang ada, tanpa mau menilik lebih dalam duduk persoalannya. Perseteruan Indonesia-Malaysia di tingkat horizontal, yang di dunia maya secara keras diistilahkan sebagai ”Indon vs Malingsia”, membuktikan anggapan ini.

Nasionalisme sempit telah menutupi logika berpikir. Akhirnya, kita yang merasa menang argumentasi selalu berjaya dengan sumpah serapah dan kata-kata kotor. Dampaknya, ini menjadi iklan buruk bagi pencitraan Indonesia.

Secara diam-diam, tanpa banyak argumentasi, bangsa-bangsa lain telah berkarya menunjukkan eksistensi mereka di dunia maya, juga dunia nyata, nasional maupun internasional. Kita tertinggal dan tetap ”menanam cabai di atas meja” atau sekadar membuat badai konflik di otak sendiri.

Ya, beberapa kasus memang berkarya dengan merebut identitas yang dianggap milik bangsa lain. Akan tetapi, setidaknya mereka melakukan sesuatu. Sedangkan kita?

Kita hanya menjadi penonton. Misalnya, ketika layar kaca dipenuhi produk- produk animasi buatan Malaysia, Jepang, dan Korea, kita sepakat menikmatinya saja. Ah, siapa yang tidak menyukai serial Upin Ipin atau Pororo Litle Penguin?

Wahyu Aditya, aktivis animasi dan pendiri HelloMotion, mengatakan, fenomena itu membuktikan ada yang salah dengan cara kerja dan cara pandang kita. ”Padahal, kita punya SDM berkualitas, kita hanya belum punya kesempatan,” katanya.

Kasus itu membuat animator-animator Indonesia merasa terpukul, atau justru harus berterima kasih. ”Karena dengan munculnya karya animasi luar, kita jadi gatel dan pengin membuat produk tandingan,” katanya.

Membayangkan Indonesia 65 tahun merdeka, seolah membayangkan sebuah entitas yang tak punya strategi untuk eksis. Dampaknya, kita selalu bereuforia dengan masa lalu, tetapi terjajah secara ekonomi, politik, ataupun budaya. Kita hanya menjadi pengagum dari ikon-ikon luar.

Kebudayaan sebenarnya mampu menjadi duta ke kancah internasional. Ketika Wahyu Aditya ke London, bertemu dengan komunitas Muslim di sana, mereka mengeluhkan kesulitan mendapatkan konten Islami dari produk multimedia Indonesia. Akhirnya, mereka menemukan produk ”Upin Ipin” itu.

Korea punya duta-duta film drama yang mengentak Asia. Jepang selain jago animasi, juga punya kebudayaan yang digandrungi banyak negara.

Indonesia? Banyak yang berprestasi, tetapi kenapa justru ”Keong Racun” dan kasus penyebaran video porno itu yang paling dominan kita bicarakan? Di dunia nyata hingga dunia maya, kita benar-benar menjadi bangsa konsumtif yang makin meraksasa.

Kemerdekaan berpikir

Rizki Wahyudi, mahasiswa Jurusan Komunikasi Massa Universitas Terbuka (UT), memaparkan kemerdekaan paling esensial adalah kemerdekaan berpikir. ”Di sinilah akar masalah bangsa kita. Saya melihat belum banyak yang sanggup meraih kemerdekaan eksistensial ini,” katanya.

”Tanpa memiliki kemerdekaan berpikir, seseorang hanya menjadi budak dari tradisi, dogma, dan ajaran yang belum tentu sesuai dengan karakter bangsa kita,” lanjut Rizki.

Di lingkungan kampus, tradisi berpikir juga belum membanggakan. Ivan Hanago, mahasiswa Accounting Trisakti School of Management, mengatakan, di lingkungan kampus pun masih sering dijumpai ketidakadilan dan ketidakjujuran.

”Ada plagiarism yang kini menjadi pekerjaan rutin dalam membuat tugas. Kemudian korupsi, dalam hal ini yang sering terjadi adalah korupsi waktu dan nilai,” papar Ivan.

Ditambah semakin mahalnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun makin menyulitkan kita mengenyam pendidikan lebih tinggi. Sebagian besar masyarakat menjadi belum merdeka karena tidak mampu menempuh pendidikan tinggi.

”Ketidakadilan sama dengan penjajah di era modern. Untuk mengatasinya, bisa dimulai dari hal paling sederhana: kerjakan tugas dengan sebaik-baiknya tanpa copy + paste,” kata Ivan.

Yohanes Kedang, mahasiswa Ilmu Sosiatri, STPMD ”APMD” Yogyakarta, mengatakan, masyarakat bawah masih terjajah. Kekayaan alam dikuras untuk kepentingan asing dan penguasa. Rakyat kecil kian susah.

”Para pemimpin lebih sibuk memikirkan tunjangan dan kenaikan gaji mereka tanpa merasa bersalah terhadap rakyatnya,” kata Yohanes. Lalu, siapa yang akan menjaga dan merawat ide-ide besar Proklamasi 1945? (Amir Sodikin)

Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010

Cermin Retak Kemerdekaan Pers

-- Agus Sudibyo

DI Tual, Maluku Tenggara, kontributor Sun TV tewas teraniaya saat meliput bentrok antarwarga.

Di Merauke, wartawan Merauke TV ditemukan tewas mengambang di sebuah sungai setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Hasil otopsi menunjukkan adanya indikasi penganiayaan. Di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, seorang wartawan mendapatkan teror akibat berita yang ditulisnya tentang pembalakan liar. Di Tangerang, wartawan Global TV dan Indosiar diancam akan dibakar hidup-hidup ketika sedang meliput kasus pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik.

Demikian cermin kemerdekaan pers pada momentum ulang tahun kemerdekaan RI, Agustus ini. Dari Sabang sampai Merauke, kita mendengar kisah sedih: kekerasan, intimidasi, bahkan pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Benarkah kemerdekaan pers secara substansial sudah terwujud di bumi pertiwi?

Kemerdekaan pers harus diukur dari sejauh mana negara melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Juga dari kesadaran semua pihak untuk menyelesaikan keberatan atas pemberitaan media secara beradab dan nir-kekerasan. Keselamatan wartawan masih masalah serius di Indonesia.

Dalam catatan Dewan Pers, kekerasan terhadap wartawan marak pada paruh pertama 2010. Kekerasan berupa intimidasi, pelecehan verbal, perusakan peralatan, menghalangi peliputan, penyekapan, penganiayaan fisik, hingga pembunuhan. Pelaku beragam: pejabat publik, staf instansi pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman yang mungkin disuruh pengusaha atau pejabat tertentu.

Faktor yang menonjol adalah lemahnya perlindungan negara terhadap profesi wartawan. Pemerintah juga lamban merespons tindakan kekerasan yang terjadi, bahkan dalam beberapa kasus cenderung membiarkan. Kedaluwarsanya kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas, Yogyakarta, contoh tak terbantahkan di sini. Wartawan bukan warga negara istimewa. Mereka bisa melakukan pelanggaran dan patut mendapatkan hukuman atas pelanggaran itu. Harus diakui, masih banyak wartawan tak profesional dan tingkah lakunya meresahkan berbagai pihak.

Namun, bukan berarti kekerasan terhadap wartawan dapat dibenarkan. Kekerasan tidak dapat dibenarkan pada siapa pun, apalagi terhadap mereka yang sedang menjalankan fungsi-fungsi publik. Pokok masalah ini yang sering dilupakan pemerintah yang telanjur apriori terhadap profesi wartawan dan sikap kritis media. Ketidaktegasan dan sikap apriori ini pula yang mengondisikan berbagai pihak tidak segan-segan melakukan tindakan premanisme dan vandalistis terhadap unsur-unsur media. Mereka adalah kelompok yang tidak menghendaki pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia karena selalu melihat kritisisme media sebagai ancaman terhadap kepentingan ekonomi-politik mereka yang telah mapan.

Siapa bertanggung jawab?

Negara berkewajiban melindungi prinsip kemerdekaan pers, termasuk melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan profesinya. Kemerdekaan pers adalah bagian fundamental kehidupan demokrasi, sekaligus tolok ukur peradaban suatu bangsa. Pemerintah tidak boleh memandang remeh tren kekerasan terhadap wartawan dan media yang meningkat belakangan.

Penegak hukum harus membuktikan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi. Kepolisian harus secara konsekuen mengusut kekerasan dan teror yang terjadi guna memberikan keadilan bagi korban dan keluarga, serta mengembalikan rasa aman para wartawan dan media dalam menjalankan imperatif mewujudkan hak-hak publik atas informasi.

Dewan Pers bertugas menegakkan kode etik dan melindungi kemerdekaan pers. Menegakkan kode etik berarti harus bersikap tegas terhadap media atau wartawan yang melanggar. Melindungi kemerdekaan pers berarti mengadvokasi wartawan korban kekerasan, mencegah lahirnya regulasi anti-kebebasan pers, menjalin kesepahaman dengan kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain soal prinsip perlindungan kemerdekaan pers.

Pada akhirnya, media tempat wartawan bekerja juga harus bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap wartawan merupakan reaksi atas tindakan tidak profesional dari wartawan itu sendiri: menghina narasumber, melanggar privasi, bahkan melakukan pemukulan. Sudahkah media membekali wartawannya dengan pemahaman komprehensif tentang etika dan profesionalisme media? Benarkah media tak membebani wartawannya dengan tuntutan kerja tak masuk akal sehingga mengondisikan mereka untuk mengabaikan etika peliputan?

Persaingan antarmedia untuk mendapatkan berita aktual dan eksklusif kian ketat. Wartawan di lapangan menanggung beban paling berat. Mereka harus berpacu mendapatkan informasi, sumber, gambar yang paling dramatis dan eksklusif. Dalam konteks ini, insiden sangat mungkin terjadi.

Sang wartawan nekat meliput situasi genting dengan mengesampingkan keselamatan diri. Heroisme ini patut dihargai, tetapi keselamatan jelas lebih prioritas. Maka, media bertanggung jawab memastikan bahwa yang meliput kerusuhan adalah wartawan yang berpengalaman menghadapi situasi darurat. Media bertanggung jawab memberikan fasilitas memadai dan pengetahuan cukup sehingga memudahkan wartawan menyelamatkan diri dari situasi darurat.

Agus Sudibyo, Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers.

Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010

Kisruh Indonesia-Malaysia di Perbatasan

-- Hikmahanto Juwana

INSIDEN tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau yang dibawa ke Johor dan dimintai keterangan oleh Marine Police Malaysia menjelang peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu, telah menyulut emosi publik di Indonesia.

Ketiga petugas DKP saat itu sedang bertugas memastikan bahwa kapal nelayan Malaysialah yang sedang digiring oleh Kapal Dolphin 015 milik DKP menuju Batam guna pemeriksaan. Lima belas nelayan Malaysia diduga menangkap ikan tanpa izin dengan kapal pukat harimau di wilayah perairan RI. Dari 15 nelayan, tujuh di Kapal Dolphin 015 dan diperiksa di Batam.

Koordinat

Dalam menanggapi kisruh perbatasan kali ini: untuk menentukan siapa salah dan siapa benar harus dipastikan dulu letak terjadinya penangkapan atas nelayan Malaysia oleh DKP.

Diberitakan, Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau Brigjen Pol Pudji Hartanto membawa tiga nelayan asal Malaysia melakukan pemeriksaan atas titik koordinat lokasi insiden penembakan ke udara yang dilakukan oleh Marine Police Malaysia. Sayang, hingga sekarang belum diperoleh informasi atas hasil pemeriksaan itu. Bahkan, tidak ada berita apakah otoritas kita melakukan pemeriksaan secara akurat titik koordinat terjadinya penangkapan. Padahal, titik koordinat sangat penting untuk menentukan salah benarnya Malaysia atau Indonesia. Tanpa tahu koordinat yang akurat atas terjadinya penangkapan, ada tiga skenario yang salah satunya mungkin terjadi.

Pertama, sebagaimana diargumentasikan oleh otoritas dan diberitakan oleh media Malaysia, penangkapan oleh DKP terjadi di wilayah Malaysia, tepatnya di perairan dekat Kota Tinggi, Johor Bahru. Kedua, sebagaimana diargumentasikan otoritas dan diberitakan media Indonesia, penangkapan oleh DKP terjadi di wilayah Indonesia, tepatnya di perairan Tanjung Berakit, Bintan Utara, Kepulauan Riau. Ketiga, mengingat hingga saat ini belum terdapat kesepakatan batas laut antara Indonesia dan Malaysia di perairan Tanjung Berakit dan Kota Tinggi, bisa jadi insiden berlangsung di wilayah klaim tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia.

Insiden ini tak seharusnya terselesaikan dengan pengembalian tiga petugas DKP ke Indonesia, tujuh nelayan ke Malaysia, serta dikirimnya nota protes oleh Kementerian Luar Negeri RI. Pemerintah perlu transparan agar publik percaya kepada pemerintah atas tugasnya menjaga kedaulatan NKRI. Salah satu langkah penting penyelesaian adalah pembentukan komite bersama antara Indonesia dan Malaysia untuk menentukan letak akurat koordinat penangkapan kapal nelayan Malaysia oleh DKP.

Arogansi

Bila menurut hasil komite bersama, koordinat terjadinya penangkapan oleh DKP berada di wilayah kedaulatan Indonesia, pemerintah perlu menempuh langkah yang tegas terhadap Malaysia. Malaysia harus minta maaf atas insiden yang terjadi.

Sebaliknya, bila koordinat berada di wilayah kedaulatan Malaysia, pemerintah perlu secara jantan meminta maaf kepada Malaysia atas kesalahan petugas DKP melaksanakan kewenangan hukumnya di luar wilayah RI. Namun, bila ternyata insiden terjadi di wilayah klaim tumpang tindih, kedua pemerintahan harus menyampaikan ini ke publik kedua negara. Publik harus tahu, tak ada pelanggaran kedaulatan atas negara masing-masing karena memang belum ada kesepakatan batas wilayah laut.

Apa pun hasil dari komite bersama, pemerintah sudah selayaknya menyampaikan peringatan keras kepada Pemerintah Malaysia agar para petugasnya tak melecehkan dan meremehkan kewibawaan para petugas dari Indonesia. Pelecehan ini akan menciptakan kesan di mata publik Indonesia: Malaysia arogan.

Pemborgolan dan pengenaan baju tahanan atas tiga petugas DKP sebagaimana disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad merupakan bentuk arogansi otoritas Malaysia. Terlepas di mana koordinat penangkapan dilakukan, otoritas Malaysia seharusnya paham petugas DKP ini mewakili RI. Tidak tepat bila mereka diperlakukan sama seperti pelaku kejahatan. Bila arogansi otoritas Malaysia terus berlanjut dalam insiden di perbatasan di masa mendatang, bukan tak mungkin ini akan jadi batu sandungan bagi persahabatan kedua bangsa dan negara.

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum UI

Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010

Biaya Demokrasi

-- Kacung Marijan

BELAKANGAN wacana kritis, bahkan terkesan ”anti”, terhadap demokrasi mulai muncul. Demokrasi dikatakan tidak banyak membawa manfaat dan terlalu mahal. Selain itu, juga muncul gagasan untuk kembali ke sistem lama, seperti di dalam memilih presiden dan kepala daerah, dikembalikan dipilih MPR dan DPRD.

Munculnya wacana semacam itu mengindikasikan bahwa proses demokratisasi yang berlangsung lebih dari satu dekade ini belum terkonsolidasi. Secara sederhana, suatu demokrasi terkonsolidasi manakala struktur dan proses baru dalam demokrasi itu telah stabil dan menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat.

Paling tidak ada tiga hal yang membuat adanya keraguan dari sebagian masyarakat terhadap demokrasi. Pertama adalah adanya realitas disconnect electoral antara para wakil dan mereka yang terwakili. Dalam membuat keputusan, para wakil, baik yang ada di legislatif maupun eksekutif, acap kali tidak berangkat dari preferensi para terwakil.

Kedua, biaya demokrasi dianggap terlalu mahal, khususnya biaya dalam pemilu. Dalam bahasa ekonomi, besarnya biaya itu tidak efisien atau biaya yang dikeluarkan itu dianggap terlalu besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai.

Ketiga, demokrasi belum berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. Yang terakhir ini acap kali dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masa Orde Baru dan beberapa negara seperti China dan Singapura. Negara-negara ini tidak demokratis tetapi rakyatnya relatif makmur.

Besarnya biaya?

Ketiga hal itu sebenarnya tidak berdiri sendiri-sendiri. Tetapi, masalah terlalu besarnya biaya belakangan menjadi sorotan yang lebih luas. Bahkan, Presiden sampai beberapa kali menyoroti masalah ini. Terakhir adalah ketika berpidato pada 16 Agustus.

Demokrasi itu jelas membutuhkan biaya. Untuk menyelenggarakan pemilu, dibutuhkan biaya yang cukup besar. Agar para wakil rakyat bekerja secara baik, juga dibutuhkan uang yang cukup besar untuk membiayainya. Hal demikian terjadi di semua negara demokratis.

Tetapi, di Indonesia, biaya itu dianggap terlalu mahal kalau dikaitkan dengan produk domestik bruto per kapita. Di pihak lain alokasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti untuk program kesehatan, pendidikan, dan stimulus pertumbuhan ekonomi, masih terbatas.

Memang masih menjadi perdebatan tentang besaran biaya di dalam demokrasi itu. Tetapi, yang menjadi masalah adalah yang dikeluarkan dalam setiap pelaksanaan pemilu bukan sebatas pada biaya penyelenggaraan pemilu, melainkan juga ”ongkos-ongkos” lain.

Yang terakhir itu tidak lepas dari adanya fenomena tidak sehat di dalam proses memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Para aktor, baik partai politik maupun calon, acap kali mempraktikkan cara-cara yang tidak sehat untuk memperoleh kemenangan. Di antaranya adalah melalui apa yang sering disebut politik uang (money politics).

Dalam suatu kesempatan, seorang bupati secara jujur mengatakan bahwa dia telah menghabiskan Rp 4,5 miliar untuk memenangi pilkada. Padahal, gaji resmi yang diperoleh selama lima tahun hanya sekitar Rp 2 miliar. Artinya, kalau mau jujur, dia harus merugi Rp 2,5 miliar.

Biaya yang dikeluarkan oleh bupati itu tergolong kecil untuk sebuah pilkada. Di banyak daerah, para calon harus mengeluarkan puluhan miliar rupiah. Bahkan, untuk calon gubernur sampai ratusan miliar rupiah.

Biaya besar itu bukan hanya untuk pilkada. Para calon pada pemilihan legislatif juga harus mengeluarkan biaya besar. Ada yang sampai miliaran rupiah. Dalam suatu perbincangan, di suatu kabupaten di Jawa Timur, ada calon yang sampai menghabiskan Rp 1,3 miliar untuk jadi anggota DPRD. Tiba-tiba seorang teman menimpali, ”Itu masih mendingan jadi. Ada calon anggota DPRD yang sudah mengeluarkan Rp 1,3 miliar, tetapi tidak jadi.”

Munculnya praktik yang tidak sehat itu terjadi secara dua arah. Dari partai atau calon, terdapat keinginan pintas untuk menang, sementara di kalangan pemilih belakangan juga muncul pandangan pragmatis yakni transaksi jangka pendek rasional-material.

Yang terakhir itu bukan semata-mata terjadi karena banyak anggota masyarakat yang masih miskin dan adanya budaya ”tangan di bawah” di sebagian masyarakat kita. Tidak bisa dimungkiri, praktik itu terjadi sebagai akibat dari adanya disconnect electoral. Mengingat para elite dianggap kurang peduli terhadap para pemilih pascapemilu, mereka menginginkan adanya imbalan yang lebih langsung.

Tetapi, pertimbangan-pertimbangan pragmatis dan jangka pendek itu jelas tidak menyelesaikan masalah. Mengingat para wakil sudah merasa ”membayar” di muka, mereka juga tidak merasa terlalu terikat untuk membangun relasi elektoral yang lebih baik. Bahkan, di antara mereka juga sibuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Tidak bisa dimungkiri, adanya praktik KKN yang meluas di daerah belakangan ini tidak semata-mata karena adanya integritas pribadi dan integritas publik para pejabat di daerah rendah. Praktik semacam itu juga tidak lepas dari keinginan untuk menutup ongkos yang telah dikeluarkan oleh para pejabat publik itu.

Demokrasi tidak salah

Dalam konteks semacam itu sebenarnya tidak ada yang salah dengan demokrasi. Yang tidak pas adalah adanya perilaku penyalahgunaan prosedur dan kaidah demokrasi yang dilakukan oleh para power-seekers dan sebagian para pemilih.

Sejumlah desain kelembagaan bisa diintrodusir untuk mengatasi masalah itu. Di antaranya adalah melalui penyederhanaan pemilihan. Misalnya saja, penggunaan model pluralitas di dalam pilkada. Dalam model demikian, siapa pun yang memperoleh suara terbesar, otomatis menang.

Selain itu, perlu ada pembatasan biaya yang harus dikeluarkan, baik oleh penyelenggara maupun oleh calon. Pembatasan ini bisa merujuk pada kondisi ekonomi suatu daerah, misalnya. Para pelanggarnya harus ditindak tegas. Terakhir, demokrasi membutuhkan prosedur yang jelas dan adanya komitmen semua pihak untuk melaksanakan dan menaati prosedur itu. Semoga.

Kacung Marijan, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010

BOS Perlu Diawasi

Jakarta, Kompas - Penyaluran anggaran pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk bantuan operasional sekolah, sering terlambat. Karena itu, pemerintah diminta tetap mengawasi dan memberikan sanksi kepada daerah yang telat menyalurkannya.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistiyo dan anggota Komisi X DPR, Dedy S Gumelar, secara terpisah di Jakarta, Senin (23/8), mengatakan, penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tetap butuh pengawasan. Pasalnya, dana BOS rawan dikorupsi, seperti dana pendidikan dari pusat lainnya.

Apalagi pengalihan penyaluran alokasi pendidikan pusat ke daerah, seperti tunjangan profesi guru, belum terbukti efektif. Dalam implementasinya, guru terlambat menerima pembayaran tunjangan profesi karena pemerintah daerah beralasan dana dari pusat kurang.

Sulistiyo mengatakan, dana BOS sering telat. Pemerintah pusat harus berani memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang gagal menyalurkan dana BOS tepat waktu.

Dari hasil penelitian Bank Dunia terlihat penyaluran dana BOS sering terlambat, yang paling parah periode Januari-Maret dan Juli-September. Penyaluran setiap tiga bulan sekali itu nyatanya bisa molor lebih dari sebulan dari jadwal.

Dedy mengusulkan, pemerintah bisa membangun mekanisme kontrol langsung, melibatkan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Dalam Negeri. Sinergi kedua kementerian ini akan efektif memantau dan mencegah penyimpangan penggunaan dana BOS di level daerah.

Kemendiknas, karena prinsip otonomi daerah, tidak memiliki akses kontrol langsung, apalagi melakukan intervensi pada kebijakan pemda. Namun, Kemendagri jelas memiliki kekuasaan untuk mengontrol pemerintahan daerah.

Pemerintah ambigu

Sementara itu, Ade Irawan dari Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), kemarin, menyatakan, sebaiknya sistem bantuannya seperti block grant di mana rencana penggunaan anggaran ditetapkan sendiri oleh daerah.

”Ini malah seperti DAK, anggarannya masuk ke daerah, tetapi peruntukannya sudah ditetapkan dari pusat,” kata Ade.

Pengalihan dana BOS kepada pemerintah daerah mulai 2011 dinilai keputusan yang ambigu karena penyusunan petunjuk teknis pengelolaan BOS masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pelimpahan tanggung jawab pengelolaan BOS itu lebih mirip dana alokasi khusus (DAK).

Menurut Ade, daerah sebenarnya tak siap, bahkan sebenarnya takut dan khawatir dengan kebijakan pelimpahan tanggung jawab pengelolaan BOS ini. Pasalnya, banyak daerah tak mengalokasikan dana pendamping BOS. Mereka bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. ”Seharusnya pemerintah pusat berkoordinasi dengan daerah untuk sediakan dana pendamping BOS,” ujarnya. (ELN/LUK)

Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010

Epos Besar dengan Manusia Kerdil

-- Yudi Latif

DALAM hikayat Faust, karya Goethe, Mephistopheles berkata, ia adalah ”Satu bagian dari suatu tenaga yang senantiasa menghendaki yang buruk, tetapi selalu menghasilkan yang baik.” Kontras dengan itu barangkali gambaran kepemimpinan negara kita saat ini, ”senantiasa menghendaki yang baik, tetapi kerap menghasilkan yang buruk”.

Masalah pokoknya adalah pudarnya semangat penyelenggara negara. ”Padaku Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik,” ujar Soepomo di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Menggali semangat ini pula yang menjadi inti peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan. ”Semangat proklamasi, adalah semangat rela berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Dan, manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!” ujar Soekarno.

Suatu kehendak tanpa antusiasme kejuangan dan pengorbanan ibarat pungguk merindukan bulan. Suatu gebyar pencitraan tanpa komitmen pelayanan dapat menimbulkan demoralisasi dan ketidakpercayaan rakyat kepada pemimpin dan pada kemampuannya sendiri. Keterputusan antara janji kata dan perbuatan dapat membalik kehendak menjadi kutukan.

Hilangnya otentisitas pemimpin merupakan kehilangan terbesar Indonesia dalam memperingati hari kemerdekaannya yang ke-65. Dalam pidato kenegaraan, pemimpin menjanjikan peran transformatif Indonesia dalam hubungan luar negeri. Dalam perbuatannya, jangankan mampu membawa transformasi dalam tata hubungan global ke arah yang lebih berkeadilan dan berkeadaban, bahkan dalam menjaga kedaulatan negara terhadap pelecehan negara kecil tetangganya seperti tak memiliki harga diri.

Dalam pidato kenegaraan, pemimpin menjanjikan zero tolerance terhadap korupsi. Dalam perbuatannya, pemberantasan korupsi beraroma tebang pilih, Komisi Pemberantasan Korupsi dilumpuhkan, koruptor mendapatkan kemurahan remisi dan grasi. Dalam pidato kenegaraan, pemimpin memprihatinkan munculnya ekspresi kekerasan dan tindakan intoleran antarwarga. Dalam perbuatan, pemimpin seakan membiarkan aparatur keamanan berpihak kepada perusuh ketimbang membela korban tindak kekerasan.

Dalam pidato kenegaraan, pemimpin mengkritik kecenderungan demokrasi padat modal seperti yang berkembang dalam pilkada. Dalam perbuatan, pemimpin memberi contoh tingginya biaya politik pencitraan dalam pemilihan presiden. Dalam pidato, pemimpin menyatakan komitmennya pada cita-cita reformasi. Dalam perbuatan, pemimpin seakan membiarkan bergulirnya gagasan amandamen Pasal 7 UUD 1945 mengenai pembatasan masa jabatan presiden. Padahal, pembatasan dua periode kepresidenan jelas merupakan mandat pokok dari gerakan reformasi.

”Dalam politik, hanya satu hal yang sungguh-sungguh diperhitungkan dan itulah keberanian untuk memutuskan: memilih kebijakan, itulah yang diperlukan,” ujar Cuthbert Morley Headlam. Lebih baik tidak populer dalam hal tertentu ketimbang membiarkan negara dalam ketidakpastian dan kehancuran oleh ketidakberanian pemimpin mengambil keputusan.

Ketidaktegasan pemimpin yang ditimbulkan oleh suatu sikap kejiwaan untuk senantiasa mencari popularitas dan asal aman sendiri bisa mengorbankan harkat bangsa secara keseluruhan. Kebesaran suatu bangsa tidak ditentukan oleh keluasan wilayah dan jumlah penduduknya, tetapi terutama oleh kebesaran jiwa pemimpinnya.

Di tangan pemimpin yang berjiwa kecil, negara yang besar bisa dikecilkan oleh negara kecil tetangganya. Tentang hal ini, 65 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi ukuran besar-kecilnya bangsa ini di mata tetangganya.

Dalam persidangan BPUPK, mayoritas suara (39 dari 66 anggota yang hadir) menyetujui batas teritorial negara Indonesia merdeka akan juga meliputi Singapura dan Malaysia. Tentang hal ini, Soekarno memberitahukan, ada tiga orang perutusan pemuda Malaya dari Syonanto (Singapura) dan juga seorang pemimpin Malaya, Letnan Kolonel Abdullah Ibrahim, yang meminta agar Malaya dimasukkan dalam daerah Indonesia.

Lantas ia katakan, ”Kecuali daripada itu Tuan-tuan yang terhormat, kecuali keyakinan saya, bahwa rakyat Malaya sendiri merasa dirinya bangsa Indonesia, merasa dirinya bertanah air Indonesia, merasa dirinya bersatu dengan kita, kecuali daripada itu saya berkata, walaupun ada bahaya yang akan mengatakan, bahwa saya ini seorang imperialis; bahwa Indonesia tidak akan bisa kuat dan selamat, jikalau tidak seluruh Selat Malaka di tangan kita dan musuh misalnya menguasai pantai Timur daripada Selat Malaka itu, maka itu berarti keselamatan Indonesia adalah terancam.”

Enam puluh lima tahun setelah Indonesia merdeka, karakter kepemimpinan Indonesia yang dulu terasa superior kini menjadi inferior; sebaliknya pemimpin negeri jiran yang dulu inferior kini menunjukkan superioritasnya. Memudarnya wibawa kepemimpinan Indonesia inilah yang menjadi penyebab pokok mengapa harkat tenaga kerja Indonesia di negeri jiran dinistakan, teritorial Indonesia terus-menerus diserobot, dan petugasnya dilecehkan.

Memulihkan kewibawaan kepemimpinan nasional memerlukan pemulihan otentisitas dan kebesaran jiwa pemimpinnya. Orde Reformasi pada awal abad baru ini, dengan segala keterbukaannya bagi kebebasan berekspresi dan beraktualisasi diri, adalah momentum bagi epos besar kelahiran karya agung. Sayang, bayangan kekhawatiran Hatta, yang disitirnya dari Schiller, seperti benar-benar menghantui bangsa ini: ”Suatu epos besar dilahirkan abad ini. Tetapi, momen besar itu menemui manusia kerdil.”

Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute

Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010