-- Muhammad Ridha
MANUSIA saat ini adalah manusia-manusia yang ”tidak punya” lagi waktu senggang. Seluruh waktunya habis tersita oleh kerja, mengejar bermacam-macam kebutuhan, ambisi, dan cita-cita. Jam kerja yang padat membuat manusia seperti robot yang dijalankan oleh mesin kerja kapitalisme.
Waktu senggang, yang menurut Fransiscus Simon (2007), berisi kegiatan ”berdiskusi tentang kebenaran dan upaya-upaya menjunjungnya; berefleksi tentang pelbagai gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang, dan akan ada” telah di ambang kepunahan. Secara masif dan berulang-ulang digerus oleh logika konsumsi.
Aristoteles pernah berharap agar rakyatnya memiliki waktu senggang yang seluas-luasnya. Sebab, katanya, meminjam Xenophon, ”kerja menyita seluruh waktu dan dengan kerja, orang tidak memiliki waktu luang untuk republik dan teman-temannya”. Tapi, bisakah kita berharap hal itu terjadi saat ini? Berharap agar saat-saat yang meditatif, kontemplatif, dan romantis dapat kita nikmati atau bahkan kita rayakan sebagai sebuah upacara pembebasan manusia dari penjara kerja. Memimpikan berhentinya roda kapitalisme, roda mesin penghasil uang dan laba.
Menanggapi hal itu, seorang manusia modern mungkin akan dengan ringan menjawab, ”Di kota sudah tersedia semua sarana, mal, plasa, klub malam, dan lainnya, untuk kita berwaktu senggang secara bebas dan terbuka”. Tapi, Zygmunt Bauman (Celia Lury; 1998) melihat peluang itu secara berbeda. Menurutnya, mal dan sebagainya menawarkan komoditas bersama label harga, di mana konsumen justru tidak bebas. Label justru membuat konsumen terkunci kebebasannya, terutama dalam saat memilih.
Pelahap waktu senggang?
Sejak era sosiologi klasik, sosiolog Amerika Serikat, Torstein Veblen, menemukan kelas dalam masyarakat Amerika yang diberi nama ”kelas waktu senggang” dengan satu ciri mendasar; kelas yang ditandai dengan konsumsi yang berlebihan. Martin J Lee dalam bukunya Budaya Konsumen Terlahir Kembali (2006) mengemukakan, satu kelas masyarakat baru yang lahir dari proses kerja: masyarakat ”pelahap waktu senggang” (leisure society). Masyarakat dengan means of consumption (sarana konsumsi) baru (Baudrillard, 2004).
Apakah yang dimaksud kedua sosiolog ini seperti yang kita temukan sekarang di sekitar kita? Masyarakat seperti dalam data berikut di Makassar: Mal Ratu Indah dikunjungi 12.000 orang per hari atau sekitar 4,5 juta per tahun. Mal Panakukang dikunjungi 15.000 orang per hari atau bila dikalikan, setahun bisa melebihi 5 juta orang. Sementara pengunjung Mal GTC, sepanjang tahun 2007, berjumlah 3.848.763. Apabila benar merekalah anggota kelas waktu senggang, telah terjadi pergeseran dalam makna waktu senggang.
Ekspresi waktu
Telah lahir kelas yang berhasil mengekspresikan waktu senggangnya dengan terpaksa dan penuh tekanan. Membuat waktu senggang yang semula bermakna produktif menjadi konsumtif. Dengan hakim harga-harga di mal, dengan kekuatan media yang terus menyerbu bawah sadar untuk terus berbelanja, hingga berlimpahnya barang-barang produksi di dalam rumah.
Waktu senggang yang kita geluti saat ini adalah waktu senggang yang mahal, semahal harga diri kita di depan obyek-obyek konsumsi itu. Akhirnya waktu senggang, saat ini, hanyalah bagian lain dari konsumsi massal gila-gilaan. Hal ini membuktikan bagaimana waktu senggang ternyata sudah berubah menjadi kerja. Dan seperti kata J Baudrillard dalam Masyarakat Konsumsi (2004:203), ”waktu adalah nilai tukar itu sendiri”.
Kapitalisme konsumen telah berhasil mencuri waktu senggang kita dan menggantinya (secara psikologis) dengan kerja simbolis.
Milan Kundera dalam novelnya Identity mencoba mengelaborasi ras bosan itu dalam tiga tipe yang menarik. Pertama, kebosanan pasif seperti gadis yang berdansa dan akhirnya menguap. Kedua, kebosanan aktif, seperti para pencinta layangan, hmm.... Dan terakhir, kebosanan yang memberontak, sebagaimana kita lihat pada anak muda yang membakari mobil dan meremuk etalase toko.
Bermalas-malasan
Dalam situasi bosan dari rutinitas kerja yang menjebak, sebenarnya manusia tidak punya banyak pilihan untuk mengejawantahkan diri sebagaimana yang ia kehendaki. Bahkan waktu senggang pun sudah berhasil direbut dirinya. Lalu apa lagi yang dapat dilakukan, guna menghindar dari siklus kerja yang ”mematikan” itu?
Ada sebuah pemikiran yang mungkin dapat memberi jalan keluar dari situ: bermalas-malasan. Jalan keluar seperti ini didengungkan Paul Lafargue dalam sebuah buku kecilnya Hak untuk Malas (2008), di mana ia menyerukan agar, ”kita malas dalam segala hal, kecuali untuk urusan cinta dan minum, dan kecuali (tentu) untuk bermalas-malasan”.
Bisa jadi seruan ini menjadi semacam teguran. Bukan hanya pada manusia yang demi mengejar semua kebutuhan dan ambisinya, memerkosa waktu dengan kerja yang tiada habisnya. Disadari atau tidak olehnya. Yang bagi Lafargue, bahkan untuk sekadar ”minum” dan ”cinta” pun kita alpa. Hal-hal yang pada mulanya, dan pada esensinya, adalah isi dari apa yang kita sebut sebagai waktu senggang.
* Muhammad Ridha, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Pegiat Sanggar Rakyat Kepanasan, Makassar
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment