Friday, August 27, 2010

Ibu Kota Negara Harus Pindah?

-- Tommy Firman

SANGAT menarik artikel yang ditulis oleh A Sonny Keraf, ”Pindahkan Ibu Kota”, pada Kompas edisi 28 Juli lalu. Tulisan itu berangkat dari berbagai masalah perkotaan Jakarta, khususnya kemacetan lalu lintas yang menjadi topik sangat aktual dalam beberapa minggu ini.

Ada tiga alternatif yang diajukan Sonny Keraf: pindahkan ibu kota, sebarkan kementerian, dan batasi berbagai kegiatan ekonomi di Jakarta untuk dikembangkan lebih jauh, khususnya pembangunan mal, hotel, dan perguruan tinggi. Gagasan ini sangat inspiratif dan mengundang perdebatan dalam memberi berbagai alternatif solusi bagi pemecahan soal kemacetan di Jakarta, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengadakan pembahasan tentang perkembangan masa depan kota Jakarta dalam lingkup nasional pada seminar 23 Juli di Jakarta. Penulis sendiri menyajikan sebuah kertas kerja berjudul ”Peran Jakarta Sebagai Ibu Kota: Antara Beban dan Berkah”. Di sini, penulis bermaksud menyampaikan pokok-pokok kertas kerja itu melihat peran dan fungsi Jakarta (Jabodetabek) dalam lingkup nasional sebagai bandingan yang komplementer dengan tulisan Sonny Keraf.

Urbanisasi

Urbanisasi dan perkembangan kota, termasuk Jakarta, sebenarnya adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan, sejalan dengan berbagai kemajuan sosial-ekonomi dan teknologi yang terjadi. Perkembangan ini sebenarnya dipacu lagi dengan globalisasi ekonomi ketika kota-kota besar di dunia ini telah terintegrasi ke dalam sistem perkotaan secara global. Menahan atau menghindari urbanisasi dan perkembangan kota sangat muskil.

Kebijakan seperti Jakarta sebagai kota tertutup yang diterapkan pada masa Gubernur Ali Sadikin dirasa tak pernah efektif hingga saat ini karena membanjirnya penduduk ke Jakarta bukan masalah Jakarta semata, tetapi masalah nasional, khususnya pembangunan yang timpang dan kemiskinan. Sikap yang perlu ditempuh sebenarnya adalah bagaimana memanfaatkan dan mengelola urbanisasi dan pembangunan kota untuk tujuan pembangunan nasional.

Urbanisasi dan perkembangan kota diyakini terkait erat dengan perkembangan ekonomi. Sebuah studi yang sedang disusun oleh Bank Dunia (David Dowall, 2010) memperlihatkan bahwa hal ini pun terjadi di Indonesia. Dalam kurun 1970-2005, kenaikan tingkat urbanisasi (persentase penduduk perkotaan) di Indonesia hampir tiga kali lipat, sementara kenaikan produk domestik bruto (GDP)—dengan harga konstan tahun 2005—naik kira-kira empat kali.

Sebagai perbandingan, kenaikan tingkat urbanisasi di China dalam kurun yang sama mencapai dua kali, sedangkan GDP-nya meningkat 14 kali. Adapun Vietnam dan Thailand mengalami kenaikan urbanisasi masing-masing 1,50 dan 1,25 kali. Kenaikan GDP masing-masing empat dan lima kali lipat. Walaupun angka- angka ini masih dapat diperdebatkan, secara kasar ini menunjukkan bahwa kenaikan tingkat urbanisasi di Indonesia belum banyak mendorong pertumbuhan ekonomi jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia itu.

Di samping itu, fenomena urbanisasi dan perkembangan kota di Indonesia, seperti juga di kebanyakan negara yang sedang berkembang, menunjukkan konsentrasi yang sangat tidak seimbang karena sangat terpusat pada kota tertentu saja: Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek); Surabaya (Gerbangkertasusila); Bandung Raya; dan Medan Raya (Mebidang).

Sebagai gambaran bagaimana peran Jabodetabek dalam perekonomian nasional dan ketimpangan itu terjadi, studi Bank Dunia (David Dowall, 2010) menunjukkan bahwa Jabodetabek berkontribusi 25,1% terhadap GDP Indonesia pada 1993 dan 25,5% pada 2006. Sementara itu, kontribusi Gerbangkertasusila, kota terbesar kedua di Indonesia, hanya 6,9% pada 1993 dan 7,1% pada 2006.

Jabodetabek

Dalam 25 tahun terakhir ini Jabodetabek mengalami perkembangan yang luar biasa dibandingkan dengan kota ataupun daerah lainnya di Indonesia. Fungsi pusat kota Jakarta berkembang pesat menjadi konsentrasi kegiatan jasa, finansial, perkantoran, bisnis, serta kondominium mewah, sementara kegiatan industri dan permukiman berkembang di pinggir kota. Hal ini ditunjukkan pula dengan konversi lahan baik di pusat kota, dari perumahan jadi kawasan bisnis, maupun di pinggir kota, dari lahan pertanian subur beririgasi jadi kawasan industri serta permukiman dan kota-kota baru.

Gejala ini merupakan limpahan dari kota Jakarta yang sering juga disebut sebagai urban sprawl. Secara keseluruhan, Jabodetabek mengalami transformasi dari wilayah perkotaan (metropolitan) berpusat tunggal menjadi berpusat jamak. Dapat dicermati juga bahwa laju kenaikan penduduk di Jakarta semakin rendah. Bahkan, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan telah mengalami kenaikan negatif, sementara laju kenaikan penduduk Kabupaten Tangerang, Bekasi, dan Bogor relatif tinggi.

Demikian pula jumlah penglaju dari Botabek ke Jakarta, dan sebaliknya, meningkat dengan tajam. Apabila jumlah penduduk tetap kota Jakarta (penduduk malam) diperkirakan 9,5 juta jiwa, maka penduduk siang kemungkinan telah melampaui 12 juta jiwa, dengan tambahan sekitar 2,5-3 juta penglaju tiap hari.

Mengapa perkembangan Jabodetabek sangat pesat? Pertama, karena kota ini telah terintegrasi ke dalam sistem perkotaan global, yang ditunjukkan dengan berkembangnya investasi berbagai kegiatan ekonomi baik industri (elektronik, garmen, dan lain-lain), jasa, maupun konsumsi yang pusatnya berada di mancanegara, yang hampir-hampir tak ada kaitan dengan ekonomi lokal, kecuali tenaga kerja berupah rendah saja.

Kedua, kebijakan pembangunan yang cenderung bias ke perkotaan, khususnya Jakarta dan sekitarnya. Ketiga, Jabodetabek memiliki keuntungan tersendiri karena memang memiliki infrastruktur (pelabuhan, energi listrik, air) yang jauh lebih baik dari daerah lain di Indonesia.

Keempat, ketidakefektifan kebijakan eksplisit pembangunan perkotaan nasional, seperti rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN) yang telah menjadi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 dan PP No 26/2008 karena yang jauh bekerja lebih efektif adalah kebijakan implisit, seperti kebijakan investasi, perdagangan, pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan jalan tol. Selama hal ini tak beranjak berubah, rasanya sangat sukar mengurangi penumpukan dan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya.

Banyak negara di dunia yang memiliki pusat pemerintahan (ibu kota) terpisah dari berbagai kegiatan ekonomi, seperti Washington DC, Canberra, Brasilia, dan Berlin. Kota-kota ini memang menjadi ibu kota negara karena memiliki sejarah dan maksud-maksud politis yang sangat unik: tidak pertama-tama dimaksudkan sebagai solusi bagi kemacetan atau penumpukan kegiatan ekonomi di kota-kota tertentu saja.

Banyak juga ibu kota yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, seperti Tokyo. Isu utama terpenting dalam hal ini adalah apakah pemerintah kota itu memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk mengelola kota tersebut termasuk penataan ruang yang konsisten, yang dewasa ini dikenal dengan tata kelola perkotaan untuk mengonsolidasi dan memanfaatkan berbagai pemangku kepentingan secara bersinergi untuk tata kelola tersebut. Jakarta (Jabodetabek) pun demikian soalnya: pemindahan ibu kota kemungkinan besar tidak akan efektif memecahkan masalah kemacetan di Jakarta, di samping juga biaya pemindahan akan sangat tinggi yang pada akhirnya akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Jadi, isu utamanya adalah bukan ibu kota harus pindah, tetapi kegiatan ekonomi yang terlampau terpusat di Jabodetabek, yang pada gilirannya menjadikan masalah ketimpangan kota dan wilayah secara nasional serta masalah yang dihadapi oleh kota Jakarta sendiri pada saat ini.

Kebijakan tata ruang nasional saat ini tidak efektif kalau tidak dikatakan hanya ”macan kertas”. Jika dinginkan untuk mengurangi disparitas ini, sebenarnya telah banyak disuarakan. Berikan insentif dan disinsentif agar kegiatan ekonomi yang menumpuk di Jakarta tersebut dapat menyebar pada berbagai kota yang mempunyai potensi menjadi pusat pertumbuhan, khususnya di luar Jawa, seperti Makassar, Manado-Bitung, Medan, dan kota di wilayah Indonesia bagian timur lainnya agar investor berminat menanamkan modalnya di sana.

Dapat dikemukakan pula bahwa sebenarnya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah juga suatu kendaraan untuk mencapai pembangunan yang seimbang. Namun, pada saat ini suasana euforia masih mewarnai implementasi kebijakan tersebut sehingga pada kebanyakan kabupaten dan kota terjadi egosentris lokal ataupun ”penglokalan kekuasaan” (Vedi Hadiz, 2010), yang pada gilirannya menjadikan fragmentasi pengembangan wilayah di Indonesia.

* Tommy Firman, Guru Besar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010

No comments: