HAMPIR seabad sejak kelapa sawit dibudidayakan secara komersial di Tanah Itam Ulu, Sumatera Utara; dan Seumadam serta Sungai Liput, Aceh, tahun 1911. Namun, selama itu pula industri kelapa sawit Indonesia berkutat soal produksi minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan perluasan lahan.
Malaysia yang membudidayakan kelapa sawit di kemudian hari memilih fokus mengembangkan perkebunan yang efisien didukung penelitian dan pengembangan teknologi sejak tahun 1980-an. Negara berpenduduk 25 juta jiwa tersebut kini menjadi eksportir utama CPO dan produk turunannya.
Sementara Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia sampai saat ini masih terbelit soal intensifikasi produktivitas tanaman untuk mengurangi ekspansi lahan, yang terus dikecam sebagai penyebab pemanasan global. Dari 20,9 juta ton produksi CPO tahun 2009, sedikitnya 16 juta ton diekspor dengan sedikitnya 70 persen masih dalam bentuk bahan mentah.
Permintaan internasional terhadap CPO memang lebih dominan daripada produk turunan. Namun, Malaysia mengakali hal itu melalui kerja sama dengan pengusaha setempat untuk membangun industri-industri pengolahan satelit di negara importir CPO, seperti Pakistan, India, dan China. Bahkan, Malaysia juga membangun tangki penampungan CPO di Rotterdam, Belanda, untuk menggenjot perdagangan global.
Kita memiliki 7,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit dan baru menanami sedikitnya 5 juta hektar di antaranya. Produktivitas tanaman kelapa sawit nasional, terutama perkebunan rakyat seluas 3,2 juta hektar, masih rendah. Perkebunan rakyat baru mampu memproduksi 10-13 ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit per hektar per tahun, jauh di bawah tingkat produktivitas perkebunan swasta yang rata-rata mencapai 25 ton TBS per hektar per tahun.
Prioritas ganda
Kenaikan harga minyak mentah yang turut mendongkrak harga CPO tahun 2007 cukup menyentak pemerintah. Mereka baru sadar bahwa kelapa sawit merupakan komoditas unggulan baru Indonesia saat kandungan minyak bumi surut. CPO pernah menjadi penyelamat saat krisis ekonomi Asia Tenggara tahun 1998. Saat satu dollar AS setara dengan Rp 16.000, harga CPO pun melonjak tajam sehingga petani dan pengusaha kelapa sawit tidak merasakan krisis.
Pemerintah kemudian menaikkan tarif pajak ekspor (PE) CPO sampai 60 persen dengan dalih menekan harga minyak goreng domestik, salah satu kebutuhan pokok acuan kemiskinan nasional. Petani dan pengusaha kelapa sawit pun terpuruk.
Persoalannya, kesadaran pemerintah kala itu baru sebatas menjadikan kelapa sawit sebagai sumber penerimaan baru. Hampir tidak ada kebijakan menonjol yang menunjukkan keseriusan pemerintah mengembangkan kelapa sawit. Produktivitas petani masih begitu-begitu saja, infrastruktur pelabuhan pun masih mengandalkan yang ada, bahkan otonomi daerah membuat pemerintah daerah berlomba menerbitkan regulasi tentang retribusi.
Saat harga minyak mentah menembus 100 dollar AS per barrel tahun 2007, muncul kesadaran global akan pentingnya bahan bakar terbarukan sebagai alternatif. Bahan bakar nabati dari tebu, jagung, CPO, sampai jarak pagar, yang dielu-elukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pun muncul. Pemerintah pun menyusun strategi untuk menciptakan industri hilir bahan bakar nabati (BBN) nasional. Harapannya, Indonesia bisa menjadi raja minyak nabati global dengan produksi CPO terbesar dunia dan potensi lahan pertanian yang luas.
Dari sedikitnya 5 juta ton CPO konsumsi domestik, baru 1,5 juta ton yang diolah untuk produk hilir dan sisanya diolah untuk minyak goreng. Pemerintah tampak lebih senang memainkan instrumen fiskal daripada membuat kebijakan konkret untuk memacu pengembangan industri hilir kelapa sawit nasional.
Kewajiban penggunaan BBN yang terdiri atas biodiesel dan bioetanol untuk sektor industri, transportasi, dan listrik yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 51 Tahun 2008 belum mampu menggairahkan industri hilir nasional. Kebijakan yang diuji coba sejak 1 Oktober 2008 dan berlaku efektif mulai 1 Januari 2009 sekarang seperti tak berbekas.
Kondisi ini membuat utilisasi 62 pabrik pengolahan produk berbahan baku CPO dengan kapasitas terpasang 21 juta ton per tahun hanya mencapai 58 persen dan berpotensi terus merosot. Wajar kalau Malaysia terus memetik berkah dari kelapa sawit karena kapasitas industri hilir CPO sudah melebihi 100 persen.
Pertumbuhan industri hilir domestik sudah pasti bakal mengurangi pengangguran. Nilai devisa pun bisa lebih besar dari sekadar ekspor CPO yang mencapai 13 miliar dollar AS tahun 2008 dan 10 miliar dollar AS tahun 2009. Utilisasi industri hilir yang meningkat akan menciptakan lapangan kerja baru. Penyerapan pekerja formal baru tentu akan menaikkan konsumsi masyarakat yang membuat ekonomi tumbuh. Namun, yang terpenting, pertumbuhan industri hilir domestik akan mengubah porsi ekspor Indonesia dari bahan mentah yang berlangsung hampir 100 tahun menjadi produk jadi bernilai tambah tinggi. (HAM)
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment