-- Tri Agung Kristanto
WAJAH Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar tampak menegang. Ia terperanjat. Dengan terbata, karena takut dan malu, Aris (13), yang ditemui Patrialis dalam kunjungan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, Banten, Januari lalu, mengakui dirinya kini berstatus narapidana dan akan menghabiskan masa remajanya di dalam penjara.
Aris dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena terbukti mencuri telepon genggam yang harganya tidak lebih dari Rp 2 juta. Memang ada informasi, bukan kali ini saja Aris melakukan kejahatan. Bahkan, Aris disebut-sebut sebagai pimpinan kelompok pelaku kejahatan, khususnya jaringan pencuri telepon genggam.
Kalau informasi ini benar, tentu bukan kesalahan Aris semata yang membuat dirinya menjadi ”hitam”. Ia hidup dan tumbuh di jalanan karena tak memperoleh perhatian dari orangtua ataupun dari negara sehingga harus hidup dengan gaya yang keras. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 jelas mengisyaratkan, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Sila kelima Pancasila pun menyebutkan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di mana?
Patrialis paham ia tak mungkin mengubah putusan pengadilan. Namun, ia berjanji memerhatikan Aris dan anak-anak lain yang terpaksa harus mengisi hari di dalam jeruji besi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat memerhatikan mereka pula dengan mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak Tangerang.
”Ia akan menghabiskan masa remajanya di penjara. Ini sangat memprihatinkan,” kata Patrialis, soal jalan hidup Aris (Kompas, 15/2). Patrialis kian prihatin karena, dalam kunjungan ke berbagai sel lain di seluruh negeri ini, ia menemui berbagai macam kepedihan hidup yang dialami oleh mereka yang selama ini tidak memiliki kekuasaan atau potensi untuk mengakses keadilan.
Seperti saat berkunjung ke LP Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, April lalu, dia menjumpai Kamjai Khong Thavorn (51). Begitu mengetahui ada kunjungan Menteri Hukum dan HAM, Kamjai pun ”menjerit” dan menangis, menumpahkan nasibnya. Terpidana kasus kepemilikan heroin itu dihukum 20 tahun penjara tahun 1987. Namun, hingga tahun 2010, saat bertemu Patrialis, warga Thailand itu masih juga berada di penjara. Ia belum dilepaskan.
Patrialis akhirnya bisa memulangkan Kamjai ke negara asalnya. Keadilan bisa diwujudkan. Namun, dalam berbagai kesempatan, ia mengakui, masih banyak warga yang memang tak memiliki akses untuk mendapatkan keadilan. Mereka semakin tersisih saat berhadapan dengan hukum. Apabila ada kesempatan, mereka pasti akan menjerit, meminta perhatian.
Patrialis mengakui, ia pernah menjumpai nenek renta yang dihukum karena dianggap terbukti mencuri. Padahal, akal sehat memperlihatkan, nenek itu tak mungkin melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya sehingga, sesuai alasan obyektif yang dimungkinkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, ia tidak harus ditahan. Namun, hukum tak berpihak kepada nenek renta itu.
Kondisi belum berubah
Jika mau jujur menilai kondisi penegakan hukum di negeri ini, terutama jika berhadapan dengan mereka yang tersisih dan terabaikan, rakyat miskin, memang belum berubah. Sepanjang tahun 2009 hingga pertengahan tahun ini, sejumlah kasus yang menyayat hati muncul ke permukaan. Warga yang menjadi korban tak hanya menjerit, meminta perhatian media massa. Tengoklah kisah nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kabupaten Banyumas, yang dihukum 1,5 bulan masa percobaan. Minah, walau majelis hakim menjatuhkan hukuman itu dengan bercucuran air mata, dinyatakan terbukti mencuri tiga buah kakao di kebun PT Rumpun Sari Antan 4.
Selain itu ada Rusnoto (14), Juwono (16), Manisih (40), dan Sri Suratni (19), keempatnya adalah warga Desa Semboja, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang sempat dipenjara. Mereka disangka mencuri satu karung plastik buah randu, sisa panen di areal perkebunan PT Segayung, senilai Rp 12.000. Pengadilan menghukum keempat warga miskin itu dengan 24 hari kurungan, sesuai masa penahanan yang pernah mereka alami.
Masih banyak lagi anak-anak yang diadili karena kenakalannya. Hukum bukan lagi dipakai sebagai alat untuk membangun peradaban, tetapi merepresi mereka yang lemah. Memang kadang kala rakyat tak tinggal diam dan melakukan perlawanan dengan caranya meski juga tak sedikit ketidakadilan yang tumbuh dalam masyarakat tetap terabaikan.
Gerakan publik melawan hukum yang tidak peduli dengan warga yang tersisih tergambar paling nyata dalam kasus Prita Mulyasari. Warga Tangerang itu sempat dituntut enam bulan penjara sebab dianggap mencemarkan nama baik Rumah Sakit (RS) Omni International di Alam Sutera, Tangerang. Prita bebas dan publik menggalang koin untuknya karena dalam perkara perdata ia kalah dan diharuskan membayar ganti rugi kepada pihak rumah sakit. Kasus ini berawal dari curahan hati Prita, melalui surat elektronik, yang kecewa terhadap pelayanan RS itu.
Jauh sebelumnya, kisah duka Sengkon dan Karta yang dihukum tahun 1974, meski bukan menjadi pelaku pembunuhan, menjadi bukti tak ada keberpihakan hukum kepada mereka yang tersisih. Hukum terasa amat menindas orang kecil, tetapi tak bernyali kepada mereka yang berkuasa atau berkekayaan. Tengoklah, sejumlah bankir yang semula diduga mengorupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bahkan hingga triliunan rupiah, akhirnya dihentikan perkaranya. Mereka juga diberi kesempatan menyelesaikan kewajibannya itu.
Kesempatan ini tak pernah diberikan kepada mereka yang tersisih. Tak pernah ada ”pengampunan” bagi rakyat kecil yang, misalnya, terpaksa ”mencuri”, seperti kisah nenek Minah.
Rentan penyalahgunaan
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Diponegoro, Semarang, Muladi mengakui, kegagalan hukum berpihak kepada orang miskin itu akibat penyalahgunaan wewenang penegak hukum yang berlebihan. Penyalahgunaan itu secara langsung atau tidak langsung menjadi akar terjadinya diskriminasi dan kesan tirani hukum. Penegak hukum acap kali melanggar hak beperkara di pengadilan secara tidak proporsional dan profesional.
”Kelompok rentan hukum bukan sekadar mereka yang tidak mampu secara finansial, tetapi juga mencakup anak-anak, kelompok manula, minoritas, wanita, masyarakat adat, dan suku terasing,” kata Muladi (Kompas, 2/2).
Untuk mewujudkan hukum yang berpihak kepada rakyat kecil itu, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), misalnya, secara jelas meminta anggotanya memberikan pelayanan cuma-cuma kepada pencari keadilan. Sikap ini juga dijamin dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyebutkan Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Namun, hal ini belum sepenuhnya berjalan.
Tampaknya, mewujudkan hukum yang berpihak kepada orang kecil itu membutuhkan sikap aparat dan ketentuan yang jelas. Perlu penerapan keadilan restoratif, yang merespons dan melibatkan masyarakat. Dengan pelibatan itu, masyarakat dan penegak hukum bisa saling mengingatkan.
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment