Sunday, June 27, 2010

Wajah Seni Kontemporer Kita

-- Ilham Khoiri

PAMERAN Biennale Indonesia Art Award 2010 digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 17-27 Juni. Dengan mengangkat tema ”Contemporaneity,” karya para finalis kompetisi ini diharapkan bisa menggambarkan wajah seni rupa kontemporer kita.

Biennale Indonesia Art Award 2010 dengan mengangkat wacana Contemporaneity di Galeri Nasional Jakarta, Senin (21/6). (KO M P A S / P R I YO M B O D O)

Patung Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama duduk dengan kaki menyilang di atas becak. Berjas dan kemeja rapi, dia tersenyum lebar. Dua jari tangan kanan teracung membentuk simbol perdamaian.

Becak itu dihiasi dua bendera kecil AS. Bagian depan becak digantungi papan kecil bertuliskan ”Campaign for”. Penutup rodanya digambari beberapa catatan: ”Viva Afganistan, Viva Paletina, Save Iraq. Yes U Can.”

Patung di atas becak di teras depan Galeri Nasional itu gampang menyedot perhatian. Selain sosoknya populer, kehadiran Obama di atas becak dengan beberapa tulisan itu memang menggoda.

Ada apa dengan presiden kulit hitam pertama AS itu? Apa kaitannya dengan tragedi kemanusiaan dalam perang di Irak, Afganistan, Palestina, Gaza? Mungkinkah karya ini menyentil kontroversi Nobel Perdamaian yang dianugerahkan ketika dia baru saja menjabat presiden?

Berbagai pertanyaan tadi mudah mengusik kita saat mengamati karya Wilman Syahnur, seniman asal Yogyakarta. Apalagi, judul karya ini juga menggelitik: ”Membuat Obama & Perdamaian Dibuat-buat”.

Karya ini terpilih sebagai salah satu dari tiga karya terbaik pemenang Indonesia Art Award (IAA) 2010. Dua karya lain: lukisan ”Teater Dari Saluran 99” karya Tatang Ramadhan Bouqie dari Jakarta dan instalasi ”The Good, The Bad and The Restless” karya Erwin Pandu Pranata dari Bandung.

Tatang melukis pergulatan sosok-sosok manusia dengan bentuk mengerikan dalam kanvas panjang, berukuran 2 meter x 12 meter. Ada yang mirip binatang, seperti singa, zebra, serigala. Ada juga yang mirip badut, setan, atau perpaduan bentuk yang ganas.

Erwin mengusung dua buah kapsul dari besi. Di dalamnya ada video yang mempertontonkan wajah seniman ini dalam dua versi berbeda.

Ketiga karya tadi terpilih dari 94 karya finalis, hasil seleksi dari total 1.200 karya yang masuk dalam kompetisi. Tim juri terdiri dari lima orang: Jim Supangkat (sebagai ketua), Asmudjo J Irianto, Suwarno Wisetrotomo, Rizki A Zaelani, dan Kuss Indarto. Bersama para pemenang, karya-karya finalis juga dipajang.

Kontemporer

Dalam katalog pameran, tim juri tak menjelaskan secara rinci kenapa mereka memilih tiga karya tersebut. Mereka lebih sibuk mengulas soal ”Contemporaneity” sebagai tajuk pameran ini.

Jim Supangkat, misalnya, menampilkan problematik istilah global contemporary art untuk menggambarkan seni rupa kontemporer dunia. Istilah ini mengacu pada tanda-tanda global yang bersifat lebih terbuka, temporal, dan beragam.

Asmudjo menjelaskan konteks seni rupa kontemporer di Indonesia. Kekontemporeran di sini dikaitkan dengan sejauh mana seniman memandang dan menilai kondisi dan situasi dunia saat ini dan bagaimana pandangan itu berpengaruh pada karya. Semangat itu diterapkan lewat produksi citraan seperti fotografi, penggunaan media baru, dan sikap moralis yang membela kepentingan publik.

Tim juri tak secara jelas mengaitkan kajian soal kekontemporeran itu dengan karya-karya peserta kompetisi. Jika merujuk pada tema kontemporer, semestinya ketiga karya terbaik tadi dianggap paling mewakili semangat kontemporer. Hanya saja, dengan argumentasi yang minim, pilihan itu mengundang rasa penasaran.

Jika kekontemporeran ditandai sebagai respons seniman pada situasi global, patung Obama naik becak memang cukup relevan. Seniman asal Yogyakarta bereaksi terhadap anugerah Nobel Perdamaian bagi presiden AS itu. Sebagai bahasa lokal yang dibenturkan dengan problem internasional, becak tadi juga hadir secara provokatif.

Lalu, di mana kekontemporeran lukisan karya Tatang dan instalasi Erwin? ”Lukisan itu memperlihatkan hasrat bertutur yang besar dan panjang. Instalasi kapsul memainkan kode-kode menarik dan menggunakan teknologi yang tampak seperti canggih,” kata Suwarno Wisetrotomo, salah satu tim juri, dalam perbincangan.

Menurut Aminuddin Th Siregar, pengamat seni rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Bandung, kekuatan pilihan bahasa visual naif Tatang atau bentuk kapsul Erwin masih bisa diperdebatkan. Sebagai karya seni, pernyataan dua karya tadi kurang menggedor, termasuk jika dibandingkan dengan karya-karya finalis lain. Saat bersamaan, penataan pameran juga kurang mampu mengajak pengunjung untuk segera menangkap makna kekontemporeran.

Pameran IAA 2010 juga punya persoalan dengan display atau penataan karya. Sebagian karya dipasang di ruang pamer utama Galeri Nasional. Sebagian lagi dijejalkan di koridor hingga ruang belakang.

Penataan semacam itu terasa mengganggu. Selain menyulitkan pengunjung menikmati karya seni, sebagian karya tampak disekap atau diselipkan dalam ruang yang sempit dan gelap. Akibatnya, daya gugah karya jadi berkurang.

Instalasi patung manusia mini yang dirakit jadi ayunan karya Muhammad Yusuf Siregar, umpamanya, dicantolkan begitu saja di ruangan kecil di dekat toilet. Patung Venus bersayap dari kawat berduri karya Khusna Hardiyanto digantung di lorong yang sesak. Ah, mungkinkah tim juri juga kurang matang memperhitungkan jumlah karya dan kebutuhan ruang?

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Juni 2010

No comments: