RANAH astronomi bagi Bambang Hidayat bisa jadi hanya merupakan sebuah pijakan awal bagi pemikirannya yang meluas, seluas ruang angkasa tempat rasi bintang bertakhta. Berbincang dengan profesor astronomi yang purnatugas tahun 2004 ini seperti menyelami ruang (angkasa) ilmu pengetahuan, pendidikan, sejarah, dan kebangsaan.
Kepedulian dan kiprahnya selama ini merupakan wujud dari keinginan mengembangkan dan mewariskan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus.
Kepala Observatorium Bosscha ITB di Lembang selama 31 tahun ini bertutur tentang upayanya mewujudkan School of Astronomy. ”Kalau school of thought lebih kurang sudah ada, tetapi untuk membangun gedung observatorium baru Anda perlu uang banyak.” Rintisannya membangun sebuah radiotelescope bekerja sama dengan India, dalam program Giant Equatorial Radio Telescope di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, pupus akibat ketiadaan dana. Namun, Library of Astronomy di Bosscha bisa dibanggakan karena up to date. Di luar itu, Bambang merasa masih banyak yang harus dilakukan.
Pria yang lahir di Kudus, 18 September 1934 dan pernah menjabat sebagai Wakil Presiden International Astronomical Union (1994–2000) ini masih mencita-citakan ada suatu kelompok inti ilmuwan yang kuat yang bisa menjadi idola bangsa ini. Ilmuwan tersebut harus bisa memberikan nilai tambah pada ilmu pengetahuan untuk bisa diwariskan demi kontinuitas. ”Dan, jangan lupakan kontribusi pendahulu. Coba pahami logika yang mendorong sebuah keputusan di masa lalu,” ungkapnya.
Tahun 1966 merupakan awal dia menulis di harian ini. Pagi itu, belum lagi ia duduk di ruang tamunya yang dikelilingi ”dinding buku”, profesor astronomi itu langsung menyorongkan tulisan pertamanya di Kompas, sebuah surat pembaca berjudul ”Pentjabutan Gelar” (Kompas, 16/9/1966) di halaman 2. Surat itu menanggapi tuntutan agar gelar doktor honoris causa kepada presiden pertama RI, Soekarno, dicabut.
Sebagai ilmuwan yang berpegang pada kebenaran, Bambang tak gentar menuliskan pandangannya bahwa gelar akademis tak dapat dicabut karena ”kebenaran ilmiah adalah mutlak, dalam arti mengandung unsur yang dapat diverifikasikan.” ”Keadaan (politik) masih sulit waktu itu. Saya bukan membela Soekarno, melainkan saya membela kebenaran ilmiah,” ungkapnya. Tulisannya terus hadir di harian ini dalam berbagai bentuk, mulai dari surat pembaca, resensi buku, catatan ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga opini.
Berdasarkan kebenaran ilmiah pula dia berhasil membendung pembangunan gedung Pertamina di kawasan Observatorium Bosscha di Lembang. Untuk itu dia senang karena, ”Pemerintah menghargai ilmu pengetahuan.” Masih soal kebenaran ilmiah, Bambang amat prihatin atas berbagai kasus plagiat yang melanda sejumlah perguruan tinggi papan atas di negeri ini. Dia menegaskan pentingnya ilmuwan memegang etika dan tanggung jawab di dunia ilmu pengetahuan. Etiknya melarang dilakukannya: fabrikasi (mengarang cerita), falsifikasi (pemalsuan data), dan plagiat (menjiplak karya orang lain).
Prinsip ilmiah yang dipegangnya itu diperluasnya ke berbagai ranah kehidupan, terutama sejarah. Dia berbicara tentang Soekarno, kenegaraan, kecintaan akan Tanah Air, tentang sejarah si pelaku (petit histoire), dan tentang bagaimana membentuk masyarakat ilmiah pada masa depan. Pengembaraannya itu telah mempertemukannya dengan Roeslan Abdulgani, Mohamad Rum, penulis novel berbahasa Jawa, Suparto Brata—yang sering diteleponnya—untuk diajak berdiskusi, dan berbagai tokoh nasional lainnya.
”Ilmu pengetahuan adalah untuk membuat orang bisa memilih”. Bukan untuk melakukan pemaksaan. Hal itu, antara lain, yang dimaksud Bambang seperti terungkap pada orasi 3 Juni 2010. Maka, dia pun prihatin menyaksikan demo mahasiswa yang menyertakan kekerasan.
”Mahasiswa mestinya bisa mengajukan argumen ilmiah untuk menguatkan pendapatnya agar orang lain paham. Bukan memaksakan kehendak dengan menggunakan otot.” Bambang pun prihatin. Dan, ia pun terus menulis dan menulis dari rumahnya yang asri di kompleks dosen ITB di Dago, Bandung, tentang berbagai hal, dengan sentralnya, ilmu pengetahuan. (Brigitta Isworo Laksmi)
Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010
No comments:
Post a Comment