Saturday, June 26, 2010

Diah Hadaning: Di Usia 70 Tahun, Luncurkan Antologi 700 Puisi

DALAM blantika perkembangan sastra Indonesia, semakin bermunculan nama-nama penyair wanita, termasuk produktifitas karyanya yang luar biasa. Salah satunya Diah Hadaning yang di usia 70 tahun, menerbitkan antologi 700 puisi dari lebih 1000 puisi yang dihasilkan selama 37 tahun. Diah Hadaning menulis puisi sejak 1973 ketika usia 33 tahun.

Antologi bertajuk 700 Puisi Pilihan : Perempuan Yang Mencari, diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jumat 7 Mei 2010 dalam kaitan ulangtahun ke-70. Puisi setebal 700 halaman dengan format 14cm x 19cm, diterbitkan Yayasan Japek & Pustaka Yashiba sebagai penghargaan atas kesetiaan penyair melakoni titah Sang Ilahi.

Peluncuran ditandai dengan pembacaan puisi oleh Diah Hadaning yang mengenakan busana kebesaran serba hitam dalam sebuah ritual sambil membacakan puisinya dengan suara lantang dan penuh penghayatan, yaitu Perempuan Kembara Yang Rindu Pulang dan Di antara Suara-suara. Ritual itu diakhiri dengan memecahkan kendi berisikan kembang setaman.

Sebelum membahas kepenyairan Diah oleh Ahmadun Yosi Herfanda, penyair kelahiran Jepara, Jawa Tengah 4 Mei 1940 itu dianugerahi piagam penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas rekor menulis puisi tertebal 700 halaman pada usia tertua 70 tahun. Piagam penghargaan tertanda Jaya Suprana, penyerahannya diwakili Thowaf Zuharon selaku Program Officer dari penerbit.

Daftar rujukan 700 puisi pilihan telah dipublikasi melalui antologi tunggal, antologi bersama, media cetak majalah dan surat kabar seperti Suara Karya, dan media online internet antara lain www.suarakarya-online.com dan www.sastradiha.blogspot.com. Website terakhir ini sebagai wadah warung sastra Diha (Diah Hadaning). Wadah uneg-uneg sastra ini mulai dirintis sejak tahun 1980, yang terus dikelola dan dikembangkan Diah untuk menikmati puisi karya sendiri dan karya sastra lainnya.

Ada 7 antologi Diah yang berorientasi pada tematik yaitu Tembang Tanah Merdeka, Antara Jogja (ejaan lama) dan Bali, Dunia Dongeng, Ada Bara Api di Jakarta, Mosaik Jakarta, Elegi Muria dan Semak Bakau dan Balada Orang Besar dan Orang Kecil. Demikian juga beberapa antologi lainnya, baik tunggal maupun duet dan bersama. Penerima penghargaan Anugerah Puisi dari GAPENA Malaysia dan Bank Bumiputra Malaysia itu, menerbitkan novel, antara lain Musim Cinta Andreas: (1980) dan Kembang yang Hilang (1980).

Sementara itu kumpulan cerpennya Denyut-denyut (984), Senandung Rumah Ibu (1993) dan Lukisan Matahari (1993). Antologi 700 puisi disusun berdasarkan dari karya terakhir hingga awal berkarya, sehingga mengikuti perjalanan proses kreativitasnya harus disimak dari halaman belakang mundur ke depan.

Anggota Dewan Kesenian Jakarta priode 2009 - 2012 itu, mengawali debut berkreativitas dari Wanita dan Bumi Merdeka (Yogya, 1973) dalam barisan yang panjang tanpa bait, hingga puisi yang lebih tertata Balada Lanjar, Lelaki Malang yang Mencari Keadilan (Februari 2010).

Pembahas Ahmadun mengungkapkan, puisi pertama Wanita dan Bumi Merdeka nyaris sama sekali tidak memerhatikan aspek instrinsik (tipografi, rima, ritme, diksi dan pencitraan) puisi. Bahasanya lugas, nyaris tampa imaji asosiatif maupun simbolik yang puitis dan sugestif.

Dipandu Endo Senggono dan editor Suhening Sutardi, Ahmadun menambahkan kesadaran estetik baru muncul pada sajak Diah Jakarta 75. Pada baris terakhir berbunyi : Jakarta, bagaimana harus menyebutnya/Rembulan di langitmu/ Terpotong puncak gedung/Matahari di langitmu/Terpotong siluet benang/Impian di langitmu/Membuatku jadi kepompong/Akankan di sini lama aku.

Sajak ini mulai mengenal pembaitan, sehingga tipogragfinya tampak lebih manis, dengan rima dan ritme yang mulai tertata dengan apik. Meskipun citraanya tidak bermakna asosiatif, mengandung makna yang dalam dan luas.Imaji alam yang dipadu dengan imaji perkotaan dalam sajak tsb. muncul secara sangat puitis dan mengesankan. Mencermati sajak Diah, ada semacam loncatan pencapaian prestasi estetik pada proses kepenyairannya. Secara tematik, sajak-sajak Diah sejak masa awal kepenyairannya hingga saat ini adalah sajak-sajak peduli sosial. Namun dalam 700 puisi Diah tidak ditemukan sajak yang bernuansa kegelisahan jiwa, cinta, kesepian dan kerinduan pada seseorang.

Acara dipandu Rara Gendis berlangsung penuh kehangatan dan kekeluargaan. Diah yang juga akrab dipanggil bunda, menempatkan dirinya sebagai makhluk sosial, jiwanya terpanggil untuk peduli yang bisa terlihat pada acara tiup lilin dan kehadiran rekan-rekannya dan bereuni bersama sastrawan, baik yang senior maupun yang muda.. Antara lain, Hamsad Rangkuti, Jose Rizal Manua, Yvonne de Fretes, Endang Supriadi, dan Wowok Hesti Prabowo.Beberapa sahabatnya ikut membacakan Diah Hadaning dengan penuh semangat. (Susianna)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 26 Juni 2010

No comments: