-- Rolex Malaha
Palu, 12/6 (ANTARA) - Salah satu hal yang sudah pasti terjadi pada penerimaan siswa baru di sebuah sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional adalah naiknya biaya pendidikan.
"Kualitas lulusan belum tentu naik tapi biaya penerimaan siswa baru sudah pasti lebih besar dari tahun sebelumnya," kata seorang tua murid SMU Negeri 2 Palu usai pertemuan dengan Kepala Sekolah dan Komite sekolah membicarakan biaya masuk siswa baru di sekolah itu.
Pertemuan yang dihadiri ratusan orang tua yang anaknya baru saja diterima di SMU berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) itu berlangsung tegang, bahkan ada yang memukul meja dan menuding-nuding ketua komite dan kepala sekolah terkait penawaran uang masuk yang `mencekik leher.
Sebelum pertemuan dimulai, para orang tua telah dibagikan daftar biaya yang harus mereka bayar yang nilai totalnya mencapai Rp5 juta, naik dibanding tahun sebelumnya Rp3,8 juta.
Orang tua menjadi berang karena dalam pertemuan itu, ketua komite sekolah mengatakan bahwa sekolah akan membeli lagi 10 buah laptop dengan harga Rp12,5 juta per unit. Selain dianggap harga satuannya terlalu tinggi, ada orang tua yang mempertanyakan dimana laptop yang dibeli tahun lalu dan ternyata pihak komite dan sekolah tidak bisa memberi pertanggungjawaban.
Situasi menjadi panas dan orang tua meminta agar uang masuk yang terdiri atas belasan item seperti uang pakaian, uang praktik, uang ekstra kurikuler, SPP dan biaya studi banding itu diturunan menjadi Rp4 juta.
Kekisruhan di SMU Negeri 2 yang persentase kelulusan siswanya pada UN 2010 turun dari 98 persen menjadi 69 persen itu, rupanya terdengar Kepala Dinas Pendidikan Daerah (Dikda) Sulteng Abubakar Almahdali yang kemudian memanggil seluruh kepala sekolah RSBI se-Sulawesi Tengah untuk membicarakan masalah penerimaan siswa baru pada Senin (7/6).
Ada 10 sekolah berstatus RSBI di provinsi ini yakni SMA Negeri 1, SMAN 2, SMK Negeri 1, SMK Negeri 2, SMK Negeri 2, SMP Negeri 1, SMP Negeri 2, SMP Al-Azhar yang semuanya di Kota Palu, serta SMP Negeri 1 dan 2 Luwuk di Kabupaten Banggai. Dua sekolah yang disetarakan RSBI adalah SMA dan SMP Madani Palu.
Dalam pertemuan itu terungkap uang komite penerimaan siswa baru di sekolah RSBI berkisar antara Rp3 sampai Rp5 juta.
Biaya yang paling rendah adalah SMP Al-Azhar, sebuah RSBI mandiri yang tidak mendapatkan bantuan biaya dari pemerintah hanya memungut Rp3 juta sedangkan sebagian besar memngut Rp5 juta seperti SMP Negeri 1 dan 2 serta SMU Negeri 1.
Kadis Dikda Abubakar Almahdali menilai bahwa biaya itu masih wajar bahkan jauh di bawah sekolah-sekolah sejenis di daerah tetangga.
Di Makassar, misalnya, biaya masuk sekolah RSBI bias mencapai Rp10 bahkan 15 juta sedangkan di Jakarta ada yang Rp20 juta.
"Jumlah itu masih wajar, tetapi saya minta kepada kepala sekolah untuk tetap memperhatikan siswa dari keluarga miskin. Saya minta agar minimal 10 persen kursi siswa baru diambil dari keluarga tidak mampu tapi berprestasi (cerdas)," ujarnya.
Seharusnya 20 persen
Akan tetapi Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Tengah Prof. Dr M. Juraid, MHum mengatakan sesuai ketentuan, porsi untuk keluarga tidak mampu bukan hanya 10 persen tetapi 20 persen.
"Sebenarnya sesuai ketentuan, kuota siswa baru di RSBI atau SBI untuk anak pintar dari keluarga miskin adalah 20 persen. Cuma karena RSBI di Sulteng ini masih sangat butuh biaya untuk berbenah, maka untuk sementara mereka menampung 10 persen," ujar guru besar FKIP Universitas tadulako Palu itu.
Upaya setengah hati seperti itu terlihat juga dalam penerimaan siswa baru di SMU Negeri 2 yang sejak 2009 sepenuhnya berstatus RSBI dan menerima siswa dengan sisti yang berbeda dari sekolah-sekolah lainnya.
Menurut Muh Ali Kadir, Kepsek SMU Negeri 2, jumlah siswa baru dari keluarga tidak mampu ternyata hanya 12 orang dari 370 yang mendaftar kembali. Tidak ada penelitian mengenai kemampuan orang tua siswa selama proses seleksi.
"Nanti setelah pendaftaran kembali dinyatakan selesai, barulah dibuka pendaftaran untuk orang tua yang merasa tidak mampu dengan menunjukka surat keterangan tidak mampu dari lurah. Ternyata yang mendaftar hanya 12 orang, padahal kuotanya sebenarnya 37 orang," katanya.
Sisa kuota kemudian diberikan kepada siswa yang berbakat dan anak-anak atau kerabat guru-guru di sekolah itu.
Prof Juraid berpendapat, pada umumnya orang tua sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan nominal dana yang diminta pihak komite atau kepala sekolah asalkan ada pertanggungjawaban yang jelas dan trasnparan serta sekolah itu betul-betul memberikan yang terbaik bagi anak-anak.
"Masalahnya adalah pengelolaan dana di banyak sekolah kurang bertanggung jawab dan tidak transparan sehingga banyak orang tua yang protes," katanya.
Sebenarnya, kata Juraid, nominal pungutan antara Rp3 sampai Rp5 juta itu masih termasuk murah bila dibandingkan dengan daerah-daerah tetangga. Persoalan utama adalah pengelolaan dana kurang akuntabel dan tidak transparan.
Kalau pengelolan dana itu terbuka dan masyarakat melihat bahwa mutu pendidikan di RSBI itu memang tinggi dan menghasilkan anak didik yang lulusannya bisa lolos di universitas-universitas terkemuka di Indonesia, masyarakat tidak akan keberatan soal nominal biaya.
"Masalahnya sekarang, RSBI belum menunjukkan kualitas sesuai harapan masyarakat, apalagi pengelolaan dana yang dipungut dari orang tua kurang transpran dan pertanggungjawabannya diragukan," ujarnya.
Namun ia mengaku optimistis bahwa RSBI di Sulteng akan berkembang lebih baik setelah pengelolaannya diambil-alih Dinas Dikda Sulteng dari Dinas Diknas kabupaten/kota mulai tahun 2010.
Hal itu amanat Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
"Semangat Kadis Dikda Sulteng Abubakar Almahdali saya lihat menggebu-gebu dan komitmennya sangat tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya melalui sekolah-sekolah RSBI," ujarnya.
Sulteng seharusnya punya rasa malu karena sebagai salah satu provinsi tertua di Sulawesi, ternyata kualitas pendidikannya berada pada peringkat 24 nasional.
Posisi itu hanya satu tingkat di atas Provinsi Sulawesi Barat yang baru berusia enam tahun dan empat tingkat di bawah Provinsi Gorontalo yang baru sekitar delapan tahun.
Sumber: Antara, Sabtu, 12 Juni 2010
No comments:
Post a Comment