-- Sihar Ramses Simatupang
Jakarta - Mengingat Raden Saleh bukan sekadar mengenang pelukis di periode romantik, atau nama jalan di wilayah Cikini, Jakarta. Juga bukan hanya peletak aliran mooy indie yang ditentang kalangan perupa muda Persagi termasuk S Soedjojono di tahun 1930-an. Tapi, Raden Saleh adalah tokoh yang multitalenta.
“Kita menyorot sosoknya bukan sebagai pelukis saja. Di seminar ini akan dibahas pemikiran dan perjalanan hidupnya,” ujar Alin Apriliani, salah satu panitia acara ini kepada SH, beberapa hari sebelum pelaksanaan Bicentennial Seminar bertajuk “Raden Saleh Syarief Bustaman: An Artis and His Life, The Many Worlds of Raden Saleh” di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta (24-25/6).Pembicaranya, pengamat seni Jim Supangkat (Indonesia) dan Werner Kraus (Jerman), bersama pembicara lain seperti Peter Carey (Inggris), Marie Odette Scalliet (Belanda) dan Jan de Maere dan Helene Feillard (Prancis), berdiskusi di gedung yang pernah menjadi rumah Raden Saleh.
Saat tulisan ini diturunkan, Sabtu (26/6) pagi, para pembicara dan hadirin akan ziarah dengan mengunjungi Museum Istana Bogor sekaligus makam Raden Saleh di Bogor. Dari acara yang digelar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Dinas Pariwisata DKI ini, sempat dibicarakan juga sumbangsih besar Raden Saleh di bidang sejarah seni, paleontologi, botani, hingga sejarah kebudayaan.
Raden Saleh Sjarief Bustaman (1814-1880), karyanya tak hanya menghadirkan momen aura romantik, sebagaimana periode saat itu (1820-1900), di mana lukisan menghadirkan objek lukisan nuansa emotif yang kental. Romantik bukan hanya mendefinisikan ulang seni dan keindahan, tapi juga kehidupan. Lewat kendaraan zaman itu, Raden Saleh memperlihatkan sosok wakil seni dan kebudayaan Indonesia yang harus dihargai dan dikenang sebagaimana, misalnya, kita mengenal tokoh Eropa berlainan generasi seperti Rudolf Bonnet dan Arie Smith yang pernah singgah di Bali pada tahun yang berbeda.
Pribumi Jawa, Raden Saleh dan Eropa, tiga poin yang tak bisa dielakkan ketika membahas tokoh ini. Kendati regenerasi setelahnya, mempertanyakan bentuk aliran mooy indie dari Raden Saleh sebagai lukisan yang tak membaca realitas sosial Indonesia di masa penjajahan hingga perjuangan kemerdekaan, lewat karya lukisnya itu, Eropa mengenal Jawa, sebagaimana mengenal Indonesia.
“Dalam lukisan Raden Saleh ada gaya tradisi etnik Jawa klasik terutama pada abad 19. Konsep kagunan, yang tak sepenuhnya mencerminkan gejala seni rupa dalam tradisi etnis Jawa yang asli dan itu ada pada Raden Saleh. Itu berbeda dengan terminologi sekaligus definisi seni rupa di Barat,” papar Jim Supangkat yang kerap menjadi kurator dalam setiap pameran itu.
Konsep inilah yang tetap membedakan dia di antara para seniman di negeri lain pada zamannya. Di luar pendapat Jim, harus diakui, sebagaimana para pelukis lain di Eropa bahkan Asia – hingga sekarang – terasa pengaruh-mempengaruhi – sebut saja aliran realisme dari Eropa, Rusia, sampai ke China ataupun Indonesia, dengan segala eksplorasinya. Werner Kraus, juga sempat membandingkan lukisan Raden Saleh berjudul “A Flood on Java” (1865-1876) dengan lukisan Theodore Gericault berjudul “Le Radeau De La Meduse” (1819).
Raden Saleh, Indonesia dan Eropa
Werner membandingkan kedua lukisan itu di layar yang terbentang di depan forum seminar. Namun, kendati memperlihatkan beberapa teknik berkarya Raden Saleh yang dipengaruhi beberapa pelukis maestro lainnya di dunia, dia mengatakan, yang berbeda dari karya Raden Saleh adalah energi dari maestro pelukis Indonesia itu. “Memang serupa (teknik), okey, tapi kalau energi, ini sangat berbeda. Energinya sangat khas Indonesia,” paparnya.
Hal itu dia ungkapkan dalam konteks dunia seni rupa pada masa romantik di Eropa. Di makalahnya, Werner memaparkan keterpengaruhan dan sikap global dari ungkapan Raden Saleh. Lewat tulisannya dalam surat yang ditujukan kepada Duke Ernst II dari Saxe, Coburg dan Gotha, priyayi Jawa itu mengungkapkan, “Saya datang ke Eropa sebagai orang Jawa sejati dan saya kembali sebagai sesungguhnya seorang Jerman.”
Begitu pun pada 13 Februari 1843, Raden Saleh menulis surat kepada Dutch Minister of the Colonies, JC Baud tentang simpatinya pada keluarga Major von Serre, “And here I found a friend by name of Major von Serre, husband and wife. They are very nice to me and love me. They are like a second father and mother to me, especially when I’m sick.“
Juga pernyataan lainnya, “Dia bagitoe baik dan tjinta pada saya amper sepertie saja punya bapa sendirie.“ Sejak kecil, usia 18 tahun, tulis Werner, Raden Saleh telah meninggalkan Jawa dan harus terdera kerinduan untuk pulang. Di Belanda, dia berteman dengan birokrat, guru, kolega dan tetangga. Justru di Dresden, dia kemudian bertemu dengan sosok yang dijadikannya seperti keluarga sendiri.
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 26 Juni 2010
No comments:
Post a Comment