-- Rudy Badil*
BESOK ulang tahun ke-45 ”Kompas”. Bagi rekan yang terlibat, tentunya akan sibuk dan bahagia. Bagi teman-teman yang tidak sempat, pasti dalam hati tetap bangga.
Bangga terhadap hari jadi lembaga yang telah menempa dan menyatukan wartawannya, agar terlibat dan terjun dalam denyut pembangunan bangsa ini, sebagai penemu, pencari, peliput, penulis, dan pemberita segala kejadian penting bagi banyak orang.
Saya memandang cukup lama sampul buku berisi karya-karya tulisan Norman Edwin, serta ilustrasi foto karya hebat Kartono Ryadi atau KR pada akhir tahun 1978. KR sekitar 32 tahun lalu memotret Norman dalam ”ekspedisi” penyusuran 10 sungai di Jakarta, untuk bahan peliputan Kompas.
Kalau tidak salah, foto action Norman di sampul buku itu, saat Norman menarik tali penyelamat ketika H Dedy Pristiwanto atau PR tercebur di Sungai Ciliwung. Waktu itu kami menyusuri sungai untuk membuat foto dan meliput kehidupan warga Jakarta di tepian Sungai Ciliwung, Pasanggrahan, Cipinang, dan lainnya, untuk laporan sungai-sungai yang 32 tahun lalu sudah berupa bak sampah besar.
KR jagonya merekam momen, menurut kalimat bercandaan kami: ”Tahu enggak kenapa KR matanya jeli, karena dia sipit dan gampang fokusnya.”
Sementara Norman yang menjadi fotomodel KR, sebetulnya sudah akrab sejak Juni 1977, ketika kami ngawal KR hunting foto satwa liar di Banten. Waktu pulang dari Pulau Dua, KR terperosok ke lumpur tetapi sempat ditolong Norman dengan kayu serta ikatan tali. ”Untung ada Norman, kalau enggak mungkin gua tambah kejeblos dan tenggelam,” ujar KR.
Juga sekitar 18 tahun lalu di Bandara Cengkareng, saat KR menjemput jenazah Norman Edwin atau NOR dan Didiek Samsu yang meninggal di dekat Puncak Aconcagua Maret 1992, KR membawa foto Norman berbingkai yang dipegang saat peti jenazah NOR tiba. KR yang pendiam sempat bertanya setengah bergurau: ”Peti itu pasti jenazahnya Norman, enggak ketuker Didiek, kan.”
Sayangnya NOR yang dimakamkan April di Tanah Kusir 1992, mendahului KR yang meninggal 15 Juli 2005. Sayangnya juga NOR tidak tahu, pada tahun 2005 kemarin itu, Sjafei Hassanbasari atau yang dijuluki Norman ”Bang IIE Pemuda Dangdut”, sudah meninggal pada 28 Oktober 2005 juga. Pada hari dan tanggal yang sama, juga AMD atau AM Dewabrata meninggal dunia. Norman yang baru menjadi NOR dan warga ”Red PalmS” alias Redaksi Palmerah Selatan awal 1990, tentunya berkesan terhadap IIE yang kritis soal bahasa, serta AMD yang ”hafal” bahasa hukum dan peradilan.
Komentar NOR saat dulu: ”Pemuda dangdut itu dosen Bahasa Indonesia ya. AMD yang I Am Dewo Broto, sip tuh kalau jadi sipir bui he-he.”
Memang waktu menuntut satu per satu wartawan Kompas menutup usia, baru-baru ini Irving Noor atau IR yang kami sapa akrab ”Pinky”, juga telah berpulang pada 27 Februari 2010. NOR masih ingat saat ditegur IR: ”Entar kalau lo kagak betah jadi wartawan metro, pindah ke desk olahraga. Lo bisa meliput olahraga ekstrem, kalau ada panjat gunung juga oke,” begitu kira-kira ajakan IR, sekitar 19 tahun lalu.
Juga waktu santer-santernya berita Norman Edwin (37) dan Didiek Samsu (30) hilang di Gunung Aconcagua, Argentina, sekitar Maret 1992, dalam aktivitas ekspedisi ke-5 proyek UI ”7 Summits in the World”, IR dan kawan-kawan lainnya pernah terpikirkan untuk membukukan catatan perjalanan Norman Edwin menjadi buku: ”Ente aja penulisnya yang kenal Norman lama, ente kan salah satu manajer ’Seven Summits’ itu,” ucap Irving.
Selesai cetak
Waktu terus bergulir, setelah 18 tahun kemudian, beberapa saat menjelang HUT ke-45 Kompas, buku Norman Edwin—Catatan Sahabat Sang Alam—KPG dan Mapala UI 2010 sudah selesai cetak dan beredar. Naskah buku ini sudah selesai 19 Januari 2010 lalu, kado khusus ultah ke-55 tahun NOR. Berisikan 62 artikel pilihan (dari 135 artikelnya), cocok menjadi buku kenangan dan pegangan bagi pengembara dan pencinta alam Indonesia.
Isinya silakan nilai sendiri, tetapi bagi mereka yang ”senior” dalam urusan ”ekspedisi jalan-jalan”, kumpulan tulisan NOR dalam bidang pendakian gunung, pengembara ilmiah, pengarung jeram, penelusur goa, pemanjat tebing, pelayar lautan, dan penulis andal yang sudah punya ”umat” sendiri, sungguh pantas dijadikan referensi, terutama saat lagi ramai-ramainya kelab ekspedisi berlomba-lomba mendaki ke ”Tujuh Puncak Dunia”.
Justru di awal bab buku ini, sebagai penulis NOR sejak April 1983 menjelaskan rinci pengalamannya mendaki Puncak Jayawijaya dan Puncak Carstensz, juga NOR menjelaskan gamblang pendakiannya di Kilimanjaro, Afrika (1985), MacKinley di Kanada (1989), dan Elbrus di Uni Soviet (1990), serta percobaannya mendaki ke Aconcagua. Ia meninggal dunia di dekat puncaknya pada Maret 1992.
Di Aconcagua, Norman dan Didiek yang sudah mendaki empat puncak dunia meninggal di dekat puncak dunia kelimanya. Di tanah sepi dingin ini, Norman dan Didiek berpulang tanpa kebisingan puja-puji. Selamat ultah ke-45 Kompas, meski perayaan kali ini tanpa NOR, KR, IIE, AMD, IR, dan rekan almarhum wartawan lainnya. Amin!
* Rudy Badil, Wartawan Senior
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Juni 2010
No comments:
Post a Comment