Sunday, June 13, 2010

Seni Rupa Kita Sekarang

-- Heri Dono

TULISAN ini sekiranya dapat dibaca sebagai poin-poin pemikiran yang berkaitan dengan sejumlah persoalan di dalam praktik seni rupa Indonesia. Sejumlah hal tersebut tidak terlepas dari hasrat yang menginginkan terciptanya seni rupa yang go internasional, terutama dalam 2-3 tahun terakhir. Dalam wujud nyata, pengertian go internasional di sini tak jarang dipahami sebagai kancah perhelatan biennale dan art fair.

Pertama-tama bisa dikatakan bahwa diplomasi kebudayaan Indonesia cukup terlambat sekitar lebih dari dua puluh tahun. Kekurangan dalam hal ini terlihat cukup jelas apabila dibandingkan dengan sejumlah negara-negara lain yang begitu aktif melakukan diplomasi. Sementara itu, barangkali hal demikian berhubungan dengan karakter seni rupa Indonesia yang memiliki unikum spesifik sehingga sering kali, sebagai fondasi kebudayaan kurang diekplorasi serta diimplementasikan ke dalam konsepsi dalam praktik berkarya seni. Sebagai contoh, istilah "seni instalasi" dalam khazanah Barat berkaitan dengan konsep perspektif mandala mengenai ruang. Dari sudut ini, sesungguhnya kita secara dinamis bisa memadukan konsep filsafat Barat (misalnya pemikiran Rudolf Stainer tentang antropometri atau psikologi Gestalt tentang ruang) dengan konsep lokal. Dalam perpaduan itu, jika dibayangkan, pada akhirnya melahirkan semacam integritas nilai-nilai lokal. Kita bisa menawarkannya sebagai bahan pemikiran bagi percaturan seni rupa dunia. Peluang ini sebenarnya sangat terbuka lebar di tengah era pascamodern sekarang.

Dewasa ini, kita jumpai semaraknya praktik seni yang masih terjebak dalam bingkai Barat yang tidak hanya pada pemikiran ataupun juga pada penggunaan terminologinya. Dalam kondisi tersebut, nilai-nilai lokal tak jarang dinihilkan dan bahkan dianggap terbelakang. Sebaliknya, dalam pandangan saya, justru muatan atau nilai lokal itu sangat berharga di kancah internasional.

Di tengah ketidakberdayaan kita menajamkan nilai-nilai lokal, praktik seni rupa kita dewasa ini cenderung bersandar pada parameter yang dibangun oleh pasar sebagai arena baru. Pasar berhasil menentukan opini publik sehubungan dengan "mana karya yang bernilai" dan "mana yang tidak". Situasi semacam ini tentu memiliki dimensi positif dan juga sejumlah kelemahan. Saya melihat bahwa parameter pasar ini tak jarang hanya bersandar pada referensi-referensi yang dipungut dari kemudahan informasi sekarang (gambar di dunia maya, misalnya), liputan pameran di media cetak, majalah, dan sebagainya. Sementara jurnal seni rupa yang lebih komprehensif jarang dijadikan sandaran referensi. Jurnal seni rupa yang "serius" sempat muncul, tetapi kini sudah tidak diterbitkan lagi mengisi khazanah pemikiran seni rupa.

**

SESUNGGUHNYA, karya-karya seni rupa kontemporer kita memiliki daya saing yang kuat di arena internasional. Dalam lingkup Asia, selain Cina dan India, dalam pengamatan dan pengalaman saya, Indonesia termasuk yang diunggulkan, dibicarakan, dan sering menuai penghargaan. Kanal salurannya: biennale dan art fair. Situasi demikian membuktikan bahwa seni rupa kita memiliki sejumlah kelebihan. Berikut pandangan saya berkenaan dengan kelebihan tersebut.

Pertama, seni rupa kita memiliki kekuatan estetik yang diramu dengan muatan sosiobudaya dan politik sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dengan perjalanan sejarah nasional kita. Bisa disebutkan di sini, misalnya: epik Mahabarata, Ramayana, pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang seni budaya, sampai Persagi hingga Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).

Kedua, seni rupa Indonesia memiliki budaya lokal yang bukan bersifat pemujaan terhadap tradisi budaya lokal itu sendiri, tetapi cenderung melakukan kritik yang bersifat memperkaya dan membangun budaya lokal tersebut sebagai tradisi baru. Di lain pihak, kritik tersebut berperan sebagai pendukung gerak bagi terciptanya pluralisme kebudayaan dunia; mengapungkan terminologi seni rupa kontemporer kita yang khas yang tidak harus tunduk di depan konsepsi-konsepsi yang berpusat ke kembali ke Barat.

Ketiga, seni rupa kita cenderung eksploratif pada konsep seni dan budaya, serta lebih memandangnya sebagai "pengetahuan" alih-alih sebagai sains. Bekal kesadaran semacam ini penting untuk ditelaah lebih jauh.

**

SELAIN memiliki peluang dan kelebihan, dunia seni rupa kita memiliki sejumlah kekurangan. Di antaranya, pertama, terlampau seringnya penyensoran, terlebih terhadap karya yang secara sepihak dinilai menyinggung soal yang berkaitan dengan moralitas keagamaan. Kedua, termarginalisasi oleh cara pandang seni rupa dunia. Situasi ini menyebabkan kita selalu diposisikan sebagai "tokoh pinggiran" dalam percaturan seni rupa dunia. Ketiga, sebagaimana yang telah dipaparkan tadi, seni rupa kita kurang melakukan integritas dengan kebudayaan mancanegara.

Berikut pandangan saya sehubungan dengan keprofesian seni rupa kita. Pertama, etika yang berlaku cenderung didorong oleh etika pasar. Dengan demikian, kekuatan-kekuatan pemikiran seni yang seyogianya bisa berperan sebagai ujung tombak diplomasi kebudayaan ke kancah dunia ditumpulkan oleh kita sendiri. Sudah saatnya kita mengupayakan terus-menerus sehingga tercipta kekuatan yang digerakkan oleh pelbagai keprofesian seni, seperti seniman, akademisi, kritikus, kurator, sejarawan seni, kolektor, art dealer, pemilik galeri, museum, dan lain sebagainya sebagai bagian dari medan sosial seni. Kekuatan tersebut kiranya dapat membangun etika yang proporsional sehingga mampu membangun iklim yang kondusif dan sehat bagi pengembangan praktik dan wacana seni rupa kita.***

* Heri Dono, seniman

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Juni 2010

No comments: