Jakarta, Kompas - Sosiolog Sediono MP Tjondronegoro mengakui, demokratisasi di Indonesia saat ini memang lebih baik dibandingkan pada masa Orde Baru. Akan tetapi, harus diakui, ternyata memang tidak mudah pindah dari masyarakat adat ke tatanan demokrasi.
Sediono mengungkapkan hal itu saat menerima penghargaan sebagai cendekiawan berdedikasi, Senin (28/6) di Hotel Santika Premiere, Jakarta. Penghargaan dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-45 Harian Kompas itu diserahkan Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama.
Selain kepada Sediono (82), penghargaan cendekiawan berdedikasi tahun 2010 juga diberikan kepada ahli hukum Adnan Buyung Nasution (76), astronom Bambang Hidayat (76), arkeolog RP Soejono (84), dan sosiolog Mely G Tan (80). Penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada cendekiawan yang dinilai memiliki dedikasi kuat pada bidangnya, serta memberikan inspirasi dan keteladanan kepada orang lain.
Sediono menyebutkan, lemahnya demokratisasi pada masa Orde Baru, saat ini mulai teratasi. Kini, masyarakat semakin terdorong demokratis, antara lain dengan terbentuknya sejumlah lembaga demokrasi dan pelaksanaan pemilihan umum.
”Hukum juga mulai lebih bertakhta. Tetapi, mohon maaf, sebagai orangtua, kok, masih kurang demokratis. Masalahnya, pindah dari adat ke tatanan demokrasi itu memang tidak mudah. Untuk orang yang belajar sosiologi seperti saya, periode ini sangat menarik,” ujar Guru Besar (Emeritus) Sosiologi Pertanian Institut Pertanian Bogor itu.
Jakob Oetama juga merisaukan demokratisasi di negeri ini, terutama karena penyelewengan kekuasaan tidak juga surut. ”Kenapa kekayaan alam yang begitu melimpah, ketika dimanfaatkan, disertai dengan perusakan lingkungan dan masalah pemerataan?” tanyanya.
Jakob memprihatinkan masih kurangnya keteladanan dari pimpinan masyarakat, termasuk dari lembaga demokrasi, seperti partai politik dan DPR. Bahkan, memprihatinkan lagi masih sering ditemukan tidak satunya kata dan perbuatan dari pemimpin bangsa itu. Bangsa ini kekurangan sosok yang memiliki karakter dan keteladanan.
Ingat hati nurani
Sebaliknya, Adnan Buyung mengingatkan pentingnya karakter yang bersumber dari hati nurani untuk menjaga negeri ini. Otak secerdas apa pun jika tanpa hati nurani bisa buta, bahkan menjadi kejahatan bagi manusia lainnya. Ilmu bisa digunakan untuk kepentingan kejahatan.
Adnan Buyung mengakui, Indonesia pernah melewati masa yang kacau- balau. Namun, hati nurani pula yang akhirnya menentukan sejarah negeri ini sehingga kondisinya menjadi lebih baik. Kejujuran dan kebebasan hati nurani harus terus dijaga.
Meski demikian, Adnan Buyung yang mengakui belum banyak memberikan sumbang sih untuk negeri ini terkadang malu dengan kondisi bangsa ini. Meski lebih baik dibandingkan dengan masa lalu, hukum tertulis yang sarat dengan etika dan moralitas masih sering tak konsisten dijalankan.
”Substansi hukum adalah keadilan yang mengedepankan etika. Saya harus mengakui, tetapi kondisinya kini makin menurun,” kata pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu.
Adnan Buyung mengingatkan, konstitusi di negeri ini tak ada maknanya jika warganya tak bisa menghayati maknanya dan melaksanakan. Makna konstitusi itu adalah jaminan pada hak asasi manusia. (BUR/TRA)
Sumber: Kompas, Selasa, 29 Juni 2010
No comments:
Post a Comment