-- Jakob Sumardjo
MAURICE Maeterlinck (1862-1949) dengan lakonnya "L`Intruse" atau "The Intruder" (1890) bisa dituduh praktik perdukunan di Indonesia, karena penuh klenik yang irasional. Di Indonesia, ketika itu, akhir abad 19, Maeterlinck bisa disebut penganut ilmu kosong. Hakikat ilmu atau ngelmu ini adalah melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga, berkata tanpa mulut, tenaga tanpa tubuh.
Ngelmu ini sudah tua di Indonesia, tetapi Maeterlinck menemukannya pada 1890, yang ditempatkan pada seorang lelaki tua yang menjelang ajal. Di Indonesia, orang tidak perlu mendekati ajal untuk menguasainya, bisa dilakukan oleh siapa saja yang masih segar bugar. Yang irasional dibingkai dalam rasional. Di Indonesia, yang irasional itu justru rasional.
Sutradara Fathul A. Husein merombak lakon pemenang Nobel ini menjadi teater postdramatik dengan judul "Yang Berdiam Dalam Marahnya Sunyi", dipentaskan di Bentara Budaya, Jakarta, 2-3 Juni 2010. Pada malam pertama, saya dibuat bingung juga oleh kemauan Fathul, tetapi pada malam kedua semakin jelas apa yang diinginkannya dengan mengakurkan "ucap"-nya dalam buku program dan "lampah"-nya dalam pentas. Fathul ingin menghadirkan kosong itu dalam pentas, yang dia sebut sunyi.
Sastrawan-dukun Maeterlinck, membuat kosong itu hadir dalam sebuah keluarga yang akan kehilangan salah satu anggotanya yang tertua, yang dimainkan oleh Mohamad Sunjaya dengan cemerlang. Kakek ini telah lumpuh dan buta, tetapi dia melihat apa yang tidak dilihat anggota-anggota keluarganya, mendengar apa yang tidak didengar orang-orang dalam ruangan yang sama. Ada bunyi tanpa wujud yang didengar oleh seluruh anggota keluarga. Tenaga alam pun dibuat "mati" oleh sesuatu kosong yang semakin hadir.
Dalam tasawuf Indonesia, orang yang mencapai tingkat semacam itu disebut Si Buta Tuli, atau mayat yang berjalan, atau hidup dalam mati dan mati dalam hidup, alias kosong yang isi dan isi yang kosong. Tokoh kakek berada di dunia ambang kosong-isi secara natural. Antagonisnya yang rasional adalah Maria (adik perempuan) mewakili dunia modern, dan Ayah ada di tengah-tengah dunia Kakek dan Maria. Sedang Ursula (anak perempuan) adalah Horatio bagi Kakek sebagai Hamlet, yang secara naluriah purba mampu menjangkau alam kosong-isi itu.
Fathul berusaha keras menghadirkan kosong, tiada, sunyi, itu secara misterius dalam pentas melalui kerupaan (yang dikerjakan pelukis Diyanto dengan naluri purba-kontemporernya yang memasang antene untuk menangkap kosong), melalui tata bunyi, musik, dan vocal, serta tata cahaya. Teks lakon ditransmutasi (Fathul) melalui lampah pentas. Peristiwa mistis tanpa trance dihadirkan di depan"saksi mata" sekitar seratus orang setiap malamnya. Inilah teater dengan "kematian drama alias teks sastra". Yang mencuri perhatian adalah pemain kawakan Retno Dwimarwati yang jam terbangnya setara dengan Mohamad Sunjaya. Dua pemain ini memberi roh-kosong pada isi-pertunjukan.
Lakon "Yang Berdiam Dalam Marahnya Sunyi" ini mencerminkan sikap manusia modern yang senantiasa cemas, takut, bimbang, di depan gerbang maut. Itulah masyarakat Maurice Maeterlinck dan sebagian kaum modernis kita. Apa yang "ada di luar sana"? Apakah "di luar sana" memang ada? Apakah kosong itu benar-benar sejatinya isi? Apakah tubuh ini benar-benar cuma wadah?
Ilmu kosong Indonesia telah lama menjawab kebimbangan ini. Tiada itulah ada. Kosong tak lain adalah badan halus yang menyatu dengan wadah-isi yang badan kasar. Yang halus kembali ke kosong, dengan melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga, berucap tanpa suara, bergerak dan bertenaga tanpa wujud. Dengan naluri dan intuisi kesastrawanannya, Maurice Maeterlinck mendekati tingkat para pawang Indonesia purba.
Hidup di dunia modern yang serba materialistik dan hedonistik ini, lakon garapan Fathul-Maeterlinck ini menjadi penting. Manusia terjebak dalam kefanaan yang diinginkan menjadi suatu kebakaan, sehingga kematian merupakan hantu yang menakutkan. Setiap orang modern tidak siap untuk mati.
Kalau dikatakan bahwa teater ini lack of action memang benar, menunggu itu memang diam, namun gelisah di dalam. Outward stillness, inward work. Pergolakan aksi justru ada di dalam bukan di atas pentas. Itulah sebabnya Fathul sering memasang adegan seperti wayang kulit, berjajar, berhadapan, bertolak belakang dalam situasi beku. Dalam diam itulah justru berkecamuk segala ketakutan, kecemasan, ketidakjelasan hidup manusia ini.
Barang siapa melihat keberadaan ini dari segi isi yang materialistik, maka kematian menjadi menakutkan. Akan tetapi mereka yang melihat keberadaan ini dari sisi spiritualnya, maka kematian diterima sebagai kodrat yang sudah seharusnya, Hidup sesungguhnya persiapan kematian, cepat atau lambat. Dan lakon ini menunjukkan bagaimana sikap hidup modern terhadap datangnya kematian senantiasa hitam, misterius, menakutkan, tangisan, kehilangan, kefanaan.
Setelah gegap gempita teater sebagai medium kontemplasi sosio-politik sejak zaman Taman Ismail Marzuki, maka ada kecenderungan Actors Unlimited untuk terjun dalam perbincangan spiritualitas. Spiritualitas di sini tidak harus dikaitkan dengan agama. Begitu pula dalam lakon ini, setting kekatolikan (asal Maeterlinck yang Belgia) membuat simbol-simbol agama ini muncul di pentas, sehingga bisa jadi agak asing bagi penonton umum. Padahal para pemain adalah Muslim yang taat. Salut buat Actors Unlimited.***
* Jakob Sumardjo, budayawan
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Juni 2010
No comments:
Post a Comment