Sunday, June 27, 2010

Pertempuran Kuda, Benteng, dan Simulakra

MUNGKIN suatu hari, dalam sejarah Cina ketika kerajaan-kerajaan saling bertempur. Kedua pasukan kuda berhadapan di areal yang luas, di depan benteng yang sedang diperebutkan. Pasukan kuda hitam yang gagah, bendera-bendera merah dan kuning, lalu pertempuran yang penuh teriakan. Di atas kuda hitam mereka yang gagah, para prajurit mengayunkan pedang, menebas, memanah, dan saling berkejaran. Suara terompet, ledakan mesiu, dan lambaian bendera di atas benteng. Kedua pasukan saling menyerbu, debu, dan asap. Satu dua prajurit saling memacu kuda mereka sambil saling menebas. Pertempuran di atas kuda yang mendebarkan, untuk mempertahankan dan merebut benteng.

Lalu teriakan panjang yang penuh komando. Benteng itu tampaknya tak bisa lagi dipertahankan. Pasukan musuh menyerbu dan mendesak hingga ke gerbang, sedangkan pasukan yang harus mempertahankannya lenyap ke balik pepohonan. Dua jenderal dengan tenang duduk di atas kuda yang gagah. Saling mengacungkan bendera.

Menyaksikan pertempuran pasukan berkuda di depan benteng yang tengah diperebutkan, ingatan banyak orang akan dibawa pada adegan dalam film Cina yang mengisahkan Tiongkok pada masa kekuasaan berbagai dinasti. Terlebih pertempuran itu diiringi dengan ilustrasi musik yang mendebarkan, jeritan penyanyi opera, narasi dalam bahasa Cina, lalu efek suara-suara kaki kuda yang menderu.

Membawa penonton untuk menyaksikan langsung bagian dari sejarah Cina semasa kekuasaan tentara Mongol dan peperangan di antara berbagai dinasti. Inilah yang disuguhkan di Horse Battle kawasan China Culture Village, Shenzhen (17/6). Pertunjukan yang berlangsung di ruang terbuka seluas dua lapang sepak bola ini berlangsung setiap hari sebagai sajian bagi turis yang unik sekaligus menakjubkan. Sebuah benteng yang menjulang menjadi latar utama, dengan lapangan luas di depannya sebagai areal pertempuran.

Penonton yang memenuhi 2.000 tempat duduk hari itu pun tak hanya disuguhi berbagai adegan pertempuran, tetapi juga ketangkasan para penunggang kuda dengan kostum orang-orang Mongolia. Tradisi para ksatria Mongol semasa kejayaan Kubilai Khan dan Jengis Khan, memang hendak dijadikan penanda dalam pertunjukan ini. Tak hanya dari kostum para penunggang kuda, tetapi juga dari sejumlah tenda khas Mongolia yang berada di sekitar areal pertunjukan.

Ketangkasan berkuda dalam suatu kecepatan inilah yang menjadi daya tarik dalam adegan pertempuran. Beberapa adegan menyuguhkan duel pedang di atas kuda yang melaju dengan cepat. Mereka saling menebas dan mengelak. Suara pedang berbaur dengan ledakan asap dan suara kaki-kaki kuda, juga jeritan penyanyi opera. Sedang di menara benteng, bendera-bendera merah dan kuning terus dikibarkan. Seluruhnya menjadi panorama visual yang memadukan keindahan dan kengerian. Sejarah masa lalu yang mendebarkan ihwal darah dan kekuasaan, dihadirkan dengan kemasan visual yang indah dan inilah kemasan bagi para turis.

**

KEBUDAYAAN atau sejarah, dalam kepentingan pariwisata, adalah sebuah simulakra. Kenyataan palsu ihwal masa lalu yang dihadirkan kembali semata-mata demi tontonan. Di areal Horse Battle itu, mengusung kembali bagian dalam sejarah Tiongkok masa lalu ke dalam kekinian, bukanlah untuk membebani penonton dengan pemikiran-pemikiran rumit perihal apa yang terjadi sebenarnya di balik sejarah tersebut. Jika untuk kepentingan semacam itu, banyak buku bisa menjelaskannya. Seluruhnya diusung memang melulu hanya sebagai tontonan.

Penonton duduk untuk dibuat tercengang menyaksikan panorama pertempuran di depan benteng tersebut. Pasukan berkuda dengan kostum para ksatria Tiongkok dan Monggol yang gagah. Mereka berbaris dengan bendera dan panji-panji berwarna terang, memulainya dengan semacam upacara penghormatan. Lalu suara narator dalam bahasa Cina, opera, dan kuda-kuda yang saling menyerbu. Suara dentingan pedang, ledakan, dan asap mesiu.

Simulakra inilah yang seolah menyihir penonton menatap sebuah bagian dari peristiwa dalam sejarah Tiongkok yang panjang. Sebuah peristiwa yang seolah-olah kini terjadi di hadapannya, dan ia hadir di situ. Simulakra semacam ini tentu bukanlah barang baru. Hanya yang menjadi unik, bagaimana simulakra pertempuran kuda ini dihadirkan dengan konsep kemasan yang menarik, megah, kolosal, dan tidak terasa dibuat-buat.

Akhirnya, pertempuran pasukan kuda di depan benteng itu adalah teater turistik yang memukau. Bukan lantaran kemampuan atau kepiawaian para pemainnya yang tak ubahnya dengan permainan akrobat. Akan tetapi juga pada bagaimana semuanya disiapkan sesuai dengan konsep simulakra yang tidak terasa hanya sebagai tontonan. Usai pertunjukan, dalam benak penonton seolah mengendap ingatan tentang sejarah yang menjadi peristiwa tontonan, dan mereka hadir langsung di situ. Mendengar suara pedang beradu, saling menebas, deru pasukan kuda yang menyerbu, ledakan mesiu, asap, dan benteng yang diserbu. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2010

No comments: