Saturday, June 05, 2010

[Teroka] "Nembang", Macapat Masa Kini

-- Heri Priyatmoko


DALAM struktur pemerintahan kerajaan tradisional di Jawa, abdi dalem atau pelayan rajalah yang menempati urutan paling bawah. Abdi dalem ini sangat banyak jenisnya, salah satunya jogaswara atau juru nembang alias orang yang ditugaskan untuk membaca buku dengan cara dilagukan. Jenis abdi dalem ini dihadirkan di dalam tembok keraton demi memenuhi kebutuhan raja ataupun kerabatnya yang gemar bersantai (nglaras), ketika malam merayap seraya mendengarkan tembang macapat yang melantun pelan (rengeng-rengeng).

Dalam disertasinya ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” (1989), Darsiti Soeratman menulis kisah saat Paku Buwono X, sebagai raja yang tersohor di seluruh Jawa, mengunjungi pesanggrahan Langenharja yang terletak di bibir Bengawan Solo untuk berlibur bersama permaisurinya. Pada malam hari, ia kerap memerintahkan juru nembang untuk menghibur dirinya. Kelelahan setelah seharian bermain di pesanggrahan dan menonton pertunjukan adu kambing melawan anjing (berok), maka raja dengan posisi tidur mendengarkan merdunya suara juru nembang. Konon, rasa capek dapat terusir melalui lantunan tembang asalkan pendengar itu juga menghayati liriknya.

Abdi dalem yang cakap bernyanyi tersebut memang tidak dikhususkan melayani raja, tetapi juga selir atau priyantun dalem pula. Suparto Brata melalui novel sejarah Generasi yang Hilang (1981) yang mengambil setting Keraton Surakarta era Paku Buwono X, dengan bagusnya melukiskan situasi saat juru nembang bernama Trunaprawira melantunkan irama Pangkur yang mengalun sejak senja hingga larut malam. Ia berkewajiban membaca macapat di ruang tengah dibantu alat penerangan lampu, dikerumuni gadis-gadis kecil yang ikut larut mendengarkan macapat tentang kisah panji dan menak.

Dalam kerja yang dilakukannya itu, sebenarnya tukang nembang juga tengah mentransformasi ilmu, menjadi distributor nilai-nilai kearifan lokal Jawa. Macapat adalah tradisi kesenian tulis yang dilisankan. Isinya berupa wawasan etika dan bermacam contoh kebajikan.

Keluar istana

Seiring berjalannya sang waktu, tanpa disadari budaya nembang merangsek keluar dari tembok keraton dan tumbuh subur ke tengah-tengah masyarakat agraris. Tembang secara eksklusif bukan lagi milik keraton dan hanya boleh dinyanyikan abdi dalem. Akan tetapi, hampir semua penduduk desa bisa nembang, tak terkecuali anak kecil.

Dari hasil penelusuran penulis, di pedesaan Jawa sekitar tahun 1950-an, dikenal sebuah tradisi macapatan yang integral dengan hidup sehari-hari masyarakat. Bila salah satu warga kampung, misalnya, mempunyai hajatan melahirkan anak (bayen), para tamu cukup dihibur dengan tembang yang dibawakan oleh tetangga.

Sebuah kesaksian abdi dalem Pura Mangkunegaran menggambarkan, Solo sejak tempo dulu, di gang-gang seputar istana, warga sepuh maupun muda, rengeng-rengeng melantunkan tembang untuk ”mendapatkan ketenteraman batin”.

”Nembang” masa kini

Kuatnya perubahan gaya dan orientasi hidup serta munculnya bentuk-bentuk kultural baru, mau tak mau, membuat kegiatan nembang terpinggirkan.

Tembang-tembang Pocung, Asmaradana, Megatruh, Mijil, Dandhanggula, Kinanthi, Maskumambang, Gambuh, Pangkur, Durmo, atau Sinom, bukan lagi pilihan utama bahkan pelengkap dari preferensi masyarakat—terutama anak muda—dibanding, misalnya, musik pop, dangdut atau bahkan R&B. Serentak dengan itu, sebuah proses pewarisan atau peralihan adat, nilai, serta kekuatan kebudayaan Jawa berangsur hilang.

Apakah dengan itu sebuah proses lain yang terjadi? Sebuah proses menjadi ”bukan Jawa”, atau proses menjadi ”Jawa yang lain”? Pertanyaan itu mungkin tidak bisa lagi dihadapkan pada para sepuh yang masih nembang di gang-gang atau hajatan. Juga tak bisa pada para abdi dalem atau pejabat keraton, yang sudah ruwet hanya untuk mempertahankan keratonnya sendiri.

Pemerintah? Lewat pendidikan, misalnya? Jalan keluar seperti ini biasanya hanya mengundang pesimisme.

Tentu saja, masyarakat sipillah yang harus bekerja. Masyarakat yang berkesadaran, berkemampuan, berkeprihatinan sama. Kelas menengahkah itu? Penulis belum dapat memastikannya. Tapi, satu hal yang pasti, tidak ada pihak yang lebih kuat untuk itu selain kita.

* Heri Priyatmoko, Anggota Studi Perkotaan di Balai Soedjatmoko, Solo

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010

No comments: