- Udo Z. Karzi*
Aku membaca esai Isbedy Stiawan Z.S., "Jakarta dan Tabung Orba" (Lampung Post, 3 Agustus 2003). Isbedy menyikapi acara Temu-Dialog Penyair se-Sumatera di Padang, Sumatera Barat, 8--13 Agustus 2003. Isinya sama seperti kebanyakan esai yang terbit di koran-koran: daftar sekian banyak nama penyair, media, dan institusi kepenyairan.
Pola serupa juga aku temukan dalam esai Gus tf, "Kepenyairan Sumatera" (Media Indonesia, 3 Agustus 2003). Penyair asal Solok, Sumatera Barat, itu menyebut nama-nama yang secara kebetulan muncul di media massa, terutama yang terbit di Jakarta. Seolah-olah, yang disebut penyair itu hanyalah mereka yang karya-karyanya dimuat di koran Jakarta atau kumpulan puisinya diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar.
Ini sebuah kekeliruan. Isbedy pun demikian, setidaknya, dalam beberapa esainya sehingga muncul penegasan semacam ini, "Saya sependapat dikatakan Agus Hernawan (baca: "Mau Apa Temu-Dialog Penyair Sumatera", Padang Ekspres, 27 Juli 2003) bahwa Sumatera--pulau yang luasnya selebar Inggris sampai kini tidak memiliki media yang signifikan dan berkualitas. Ironis memang, Sumatera tidak memiliki jurnal, majalah, atau penerbitan sekelas Kalam, Horison, Jurnal Prosa, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, penerbit buku Indonesia Tera, Bentang, Jendela, Jalasutra, Senayan Abadi, Gama Media, dan masih banyak lagi." Lalu, Isbedy berkutat pada isu-isu lama: Jawa dan Bali dominan karena diuntungkan berbagai faktor.... Tak perlu aku kutip lagi soal itu di sini.
***
Apa yang menyebabkan penyair menjadi istimewa atau paling tidak merasa harus diistimewakan sehingga kalau ada penyair yang "pensiun" dalam arti tidak menulis lagi, beramai-ramailah penyair yang masih menulis syair dan lumayan produktif menggugat atau menangisi "kematian" sang penyair?
Bersyukurlah mereka yang dianugerahi semangat tinggi menyair, sehingga masih menjadi penyair sampai tua, bahkan sampai meninggal. Namun, penyair yang tidak lagi membuat syair, apakah dengan begitu ia tak bisa lagi disebut penyair? Adakah seorang pensiunan penyair seperti layaknya seorang pensiunan pegawai negeri? Bagaimana pula dengan karya-karya mereka yang sudah lama pensiun? Apakah mereka tidak layak masuk dalam peta kepenyairan terkini meskipun mereka masih hidup?
Seorang "pensiunan penyair" berkata, "Ternyata lebih nikmat membaca, apa saja. Soalnya, apa lagi yang mesti ditulis karena semua sudah ditulis orang." Bagaimana kita mengartikan ini? Rasa frustrasi, sinisme, atau kritik? Tersirat dalam pikiranku, orang masih menulis (puisi, cerpen, artikel, atau apa pun) di media massa untuk melakukan komunikasi. Tidak lebih tidak kurang. Syair? Pernah suatu ketika aku begitu keranjingan dengan puisi, sehingga semua jenis puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku atau dimuat di media massa, aku baca dan mulai membuat puisi. Namun, ketika--sama dengan cerpen--aku menemui nama-nama yang sama dari waktu ke waktu, aku cuma bisa bilang: "Bosan!"
Tentu saja aku tidak bisa begitu mengecilkan arti sebuah karya puisi dan penyair yang menulisnya. Aku akui, mungkin, aku tak mampu melakukan hal yang sama apalagi lebih baik dari itu. Aku hanya teringat pada kampung halamanku. Di desaku yang kini disebut pekon, puisi tak pernah ditulis. Puisi atau apa pun namanya dalam bahasa Lampung hanyalah sesuatu yang diciptakan, mungkin spontan untuk merayu muli sikop (gadis cantik) yang kebetulan lewat. Tak ada orang yang mengaku telah menciptakan sajak. Tak ada yang mengaku dirinya penyair. Syair itu hanya hadir seperti angin lalu. Hanya berarti bagi yang mengucapkan dan seseorang yang dituju. Begitulah.
***
Sumatera gudangnya penyair. Aku sepakat! Tapi pertanyaannya: penyair itu apa? Penyair Sumatera itu yang mana? Perlu benarkah peta penyair Sumatera itu? Bukankah Sumatera telah menjadi Indonesia? Padahal, nama Indonesia sebagai tanah, bangsa, dan bahasa itu baru ada setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan, sampai sekarang pun keindonesiaan kita masih tetap bermasalah.
Aku teringat Ajib Rosidi. Ia pernah mengatakan bahasa Melayu tidak sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah bahasa daerah. Di Sumatera, daerah-daerah yang dapat diidentifikasi berbahasa Melayu hanyalah sebagian Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Palembang. Bagaimana dengan bahasa Batak, Aceh, dan Lampung? Ini cukup menjadi soal ketika hendak membuat peta penyair Sumatera.
Ini soal tradisi saja. Bicara syair, dalam budaya lama--belajar dari bahasa Lampung misalnya--syair-syair tak pernah ditulis, ia hanya dihapalkan dan disampaikan. Setelah itu, dilupakan tak mengapa. Tentu saja, kalau ini terus berlanjut, bukan mustahil tradisi bersyair, lisan atau tulisan, pelan-pelan tergerus zaman. Dalam pada itu, kita sepakat terus melestarikan tradisi bersyair itu. Agar tak mudah lupa, sudah saatnya menyeimbangkan antara keberadaan kelisanan dan keberaksaraan.
Jika ada ide membuat peta penyair atau yang lebih luas lagi peta sastrawan Sumatera, aku pikir akan bagus sekali. Hanya, peta yang dibuat tentunya bukan "peta politik penyair". Sebab, kecondongan itu selalu ada. Gugat-menggugat, antikritik, dan segala jenis keluhan selama ini tak lebih dari pernik-pernik keterkungkungan kaum penyair atau sastrawan.
Tak perlu diributkan soal seseorang yang berhenti bersyair. Sebab, pada akhirnya sastrawan adalah politikus, yang perlu menyosialisasikan pemikiran politiknya (dalam bentuk karya sastra), memerlukan media sosialisasi kalau bukan kampanye seni, yang kadang merasa perlu mendapatkan kewewenangan, kekuasaan atau legitimasi dari masyarakat, serta memperluas wilayah "kekuasaan"-nya ke seluruh antero jagad.
Kesan proyek politik ini menjadi kuat jika penyair malah kembali membangun sentimen lama: soal sentralisme, otonomi, keuangan, ketidakadilan media pusat seraya menyodorkan segudang kelemahan-kelemahan di daerah. Revitalisasi sastra pedalaman atau apa pun namanya terbukti hanya membuat penggagasnya kini berada di puncak popularitas. Setelah itu, berhenti! Jadi, tak perlu ada pemilihan presiden penyair Sumatera atau apa pun namanya.
Peta penyair harus diakui penting bagi mereka yang benar-benar belum pernah masuk ke dunia syair atau berkunjung ke surga para penyair. Walaupun begitu, ia tetap penting dibuat. Bukan untuk sebuah monumen, tetapi untuk bisa menyelami lagi apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana (semacam 5W + 1H). Tidak sekadar peta, barangkali saja dibutuhkan sebuah mekanisme komunikasi di antara pekerja syair, pengawas syair, atau pemantau syair. Ketimbang mengembangkan rasa curiga di antara kita, lebih baik, misalnya, membangun jaringan penyair se-Sumatera untuk menciptakan suasana yang memungkin saling berkomunikasi, berbagi cerita, dan membangun kreativitas baru. n
---------------------
* Udo Z. Karzi, penyair. Buku kumpulan puisi dwibahasa Lampung-Indonesianya: Momentum (2002).
Sumber: Cybersastra.net, 5 September 2003
Aku membaca esai Isbedy Stiawan Z.S., "Jakarta dan Tabung Orba" (Lampung Post, 3 Agustus 2003). Isbedy menyikapi acara Temu-Dialog Penyair se-Sumatera di Padang, Sumatera Barat, 8--13 Agustus 2003. Isinya sama seperti kebanyakan esai yang terbit di koran-koran: daftar sekian banyak nama penyair, media, dan institusi kepenyairan.
Pola serupa juga aku temukan dalam esai Gus tf, "Kepenyairan Sumatera" (Media Indonesia, 3 Agustus 2003). Penyair asal Solok, Sumatera Barat, itu menyebut nama-nama yang secara kebetulan muncul di media massa, terutama yang terbit di Jakarta. Seolah-olah, yang disebut penyair itu hanyalah mereka yang karya-karyanya dimuat di koran Jakarta atau kumpulan puisinya diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar.
Ini sebuah kekeliruan. Isbedy pun demikian, setidaknya, dalam beberapa esainya sehingga muncul penegasan semacam ini, "Saya sependapat dikatakan Agus Hernawan (baca: "Mau Apa Temu-Dialog Penyair Sumatera", Padang Ekspres, 27 Juli 2003) bahwa Sumatera--pulau yang luasnya selebar Inggris sampai kini tidak memiliki media yang signifikan dan berkualitas. Ironis memang, Sumatera tidak memiliki jurnal, majalah, atau penerbitan sekelas Kalam, Horison, Jurnal Prosa, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, penerbit buku Indonesia Tera, Bentang, Jendela, Jalasutra, Senayan Abadi, Gama Media, dan masih banyak lagi." Lalu, Isbedy berkutat pada isu-isu lama: Jawa dan Bali dominan karena diuntungkan berbagai faktor.... Tak perlu aku kutip lagi soal itu di sini.
***
Apa yang menyebabkan penyair menjadi istimewa atau paling tidak merasa harus diistimewakan sehingga kalau ada penyair yang "pensiun" dalam arti tidak menulis lagi, beramai-ramailah penyair yang masih menulis syair dan lumayan produktif menggugat atau menangisi "kematian" sang penyair?
Bersyukurlah mereka yang dianugerahi semangat tinggi menyair, sehingga masih menjadi penyair sampai tua, bahkan sampai meninggal. Namun, penyair yang tidak lagi membuat syair, apakah dengan begitu ia tak bisa lagi disebut penyair? Adakah seorang pensiunan penyair seperti layaknya seorang pensiunan pegawai negeri? Bagaimana pula dengan karya-karya mereka yang sudah lama pensiun? Apakah mereka tidak layak masuk dalam peta kepenyairan terkini meskipun mereka masih hidup?
Seorang "pensiunan penyair" berkata, "Ternyata lebih nikmat membaca, apa saja. Soalnya, apa lagi yang mesti ditulis karena semua sudah ditulis orang." Bagaimana kita mengartikan ini? Rasa frustrasi, sinisme, atau kritik? Tersirat dalam pikiranku, orang masih menulis (puisi, cerpen, artikel, atau apa pun) di media massa untuk melakukan komunikasi. Tidak lebih tidak kurang. Syair? Pernah suatu ketika aku begitu keranjingan dengan puisi, sehingga semua jenis puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku atau dimuat di media massa, aku baca dan mulai membuat puisi. Namun, ketika--sama dengan cerpen--aku menemui nama-nama yang sama dari waktu ke waktu, aku cuma bisa bilang: "Bosan!"
Tentu saja aku tidak bisa begitu mengecilkan arti sebuah karya puisi dan penyair yang menulisnya. Aku akui, mungkin, aku tak mampu melakukan hal yang sama apalagi lebih baik dari itu. Aku hanya teringat pada kampung halamanku. Di desaku yang kini disebut pekon, puisi tak pernah ditulis. Puisi atau apa pun namanya dalam bahasa Lampung hanyalah sesuatu yang diciptakan, mungkin spontan untuk merayu muli sikop (gadis cantik) yang kebetulan lewat. Tak ada orang yang mengaku telah menciptakan sajak. Tak ada yang mengaku dirinya penyair. Syair itu hanya hadir seperti angin lalu. Hanya berarti bagi yang mengucapkan dan seseorang yang dituju. Begitulah.
***
Sumatera gudangnya penyair. Aku sepakat! Tapi pertanyaannya: penyair itu apa? Penyair Sumatera itu yang mana? Perlu benarkah peta penyair Sumatera itu? Bukankah Sumatera telah menjadi Indonesia? Padahal, nama Indonesia sebagai tanah, bangsa, dan bahasa itu baru ada setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan, sampai sekarang pun keindonesiaan kita masih tetap bermasalah.
Aku teringat Ajib Rosidi. Ia pernah mengatakan bahasa Melayu tidak sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah bahasa daerah. Di Sumatera, daerah-daerah yang dapat diidentifikasi berbahasa Melayu hanyalah sebagian Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Palembang. Bagaimana dengan bahasa Batak, Aceh, dan Lampung? Ini cukup menjadi soal ketika hendak membuat peta penyair Sumatera.
Ini soal tradisi saja. Bicara syair, dalam budaya lama--belajar dari bahasa Lampung misalnya--syair-syair tak pernah ditulis, ia hanya dihapalkan dan disampaikan. Setelah itu, dilupakan tak mengapa. Tentu saja, kalau ini terus berlanjut, bukan mustahil tradisi bersyair, lisan atau tulisan, pelan-pelan tergerus zaman. Dalam pada itu, kita sepakat terus melestarikan tradisi bersyair itu. Agar tak mudah lupa, sudah saatnya menyeimbangkan antara keberadaan kelisanan dan keberaksaraan.
Jika ada ide membuat peta penyair atau yang lebih luas lagi peta sastrawan Sumatera, aku pikir akan bagus sekali. Hanya, peta yang dibuat tentunya bukan "peta politik penyair". Sebab, kecondongan itu selalu ada. Gugat-menggugat, antikritik, dan segala jenis keluhan selama ini tak lebih dari pernik-pernik keterkungkungan kaum penyair atau sastrawan.
Tak perlu diributkan soal seseorang yang berhenti bersyair. Sebab, pada akhirnya sastrawan adalah politikus, yang perlu menyosialisasikan pemikiran politiknya (dalam bentuk karya sastra), memerlukan media sosialisasi kalau bukan kampanye seni, yang kadang merasa perlu mendapatkan kewewenangan, kekuasaan atau legitimasi dari masyarakat, serta memperluas wilayah "kekuasaan"-nya ke seluruh antero jagad.
Kesan proyek politik ini menjadi kuat jika penyair malah kembali membangun sentimen lama: soal sentralisme, otonomi, keuangan, ketidakadilan media pusat seraya menyodorkan segudang kelemahan-kelemahan di daerah. Revitalisasi sastra pedalaman atau apa pun namanya terbukti hanya membuat penggagasnya kini berada di puncak popularitas. Setelah itu, berhenti! Jadi, tak perlu ada pemilihan presiden penyair Sumatera atau apa pun namanya.
Peta penyair harus diakui penting bagi mereka yang benar-benar belum pernah masuk ke dunia syair atau berkunjung ke surga para penyair. Walaupun begitu, ia tetap penting dibuat. Bukan untuk sebuah monumen, tetapi untuk bisa menyelami lagi apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana (semacam 5W + 1H). Tidak sekadar peta, barangkali saja dibutuhkan sebuah mekanisme komunikasi di antara pekerja syair, pengawas syair, atau pemantau syair. Ketimbang mengembangkan rasa curiga di antara kita, lebih baik, misalnya, membangun jaringan penyair se-Sumatera untuk menciptakan suasana yang memungkin saling berkomunikasi, berbagi cerita, dan membangun kreativitas baru. n
---------------------
* Udo Z. Karzi, penyair. Buku kumpulan puisi dwibahasa Lampung-Indonesianya: Momentum (2002).
Sumber: Cybersastra.net, 5 September 2003
No comments:
Post a Comment