Saturday, June 30, 2012

Parodi dalam Puisi, Sebuah Kritik

-- Daisy Priyanti

PARODI bersandar pada wilayah yang telah mapan. Penggunaan parodi, oleh karena itu, sering ditujukan untuk kritik. Membongkar wilayah kemapanan subyek. Sasaran dijatuhkan melalui perangkat kepemilikan sendiri. Semisal pertarungan silat, parodi persis ilmu "lampah lumpuh" dalam serial "Tutur Tinular", yakni tenaha untuk menjatuhkan dirinya sendiri.

    Sebagai sebuah kritik, parodi merupakan "jalan pintas paling aman". Pihak yang dikritik jarang bisa marah, justru bisa jadi, tersenyum, bahkan terpingkal-pingkal. Ada dualisme posisi. Pertama, pihak terkritik merasa tersanjung karena pola operasional komunikasinya dipergunakan. Kedua, pihak terkritik merasa sedikit tersinggung karena kesalahannya dikuak. Disebabkan dualisme kontra- posisi itulah, pihak terkritik sulit menentukan sikap, dan pilihan paling spontan dari kebingungan menentukan sikap, adalah senyum lebar. Puisi Indonesia terkini banyak sekali menggunakan unsur-unsur bahasa estetik parodi.

    Puisi berjudul "Chanel 00" karya penyair Afrizal Malna berikut ini dapat dijadikan contoh menarik: Permisi, saya sedang bunuh diri sebentar. Bunga dan bensin di halaman. Teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada.

    Diksi "Chanel" adalah lambang yang biasa digunakan untuk stasiun televisi. Setiap stasiun menggunakan gelombang yang dapat ditangkap oleh layar televisi melalui operasional angka-angka gelombang. Setiap stasiun menggunakan angka yang berbeda, tetapi tidak satu pun yang menggunakan angka nol, yang berarti juga, kosong. Penggunaan angka di atas nol sebagai arti bahwa stasiun tersebut "ada" atau mengudara, dapat dicari dan ditemukan dalam deretan gelombang. Apakah kalimat "Chanel 00" telah memenuhi kriteria pemasangan stasiun televisi? Ada parodi dalam konvensi atau aturan gelombang, siapa pun orang tidak akan menemukan sebuah stasiun yang menggunakan angka nol. Apalagi angka 00.

    Apabila masih kurang lucu, dapat dibayangkan sebuah iklan yang memasang kalimat, "Aktifkan televisi Anda dalam chanel 00!" Ditilik dari larik-lariknya, parodi yang terkandung tidak kurang. Aku lirik dalam puisi tersebut mengucap selamat tinggal untuk bunuh diri "sebentar". Bagaimana mungkin bunuh diri (mati) dapat sebentar atau sementara? Seseorang yang sudah mati, sewajarnya, tidak akan hidup (kembali) lagi.

    Kegiatan bunuh diri adalah kegiatan yang tidak dapat diulang. Memang ada orang-orang tertentu yang dapat mati, hidup lagi, mati lagi, dan hidup lagi. Seperti kisah Mbah Soleh, tukang sapu pemakaman Sunan Ampel, yang katanya pernah mati sembilan kali. Atau, beberapa kisah dalam majalah mistik Liberty tentang orang-orang mati yang dapat kembali hidup.

    Kesemuanya hanya konon, berbau metafisika, di luar nalar sehat manusia. Di dalam sebuah puisi, atau di dalam perbincangan intelektual formal, kejadian "bunuh diri sebentar" adalah lucu. Tragik humor. Mengada-ada.

    Dan, mustahil. Tetapi, kiranya, ada kritik diri dalam puisi tersebut. Aku lirik menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang yang terjebak dalam kondisi tragik humor. Mengaji, diksi yang merujuk pada pembacaan ayat-ayat suci Tuhan, disalah-pasangkan untuk tindak menonton televisi. Ataukah perlu dibaca-artikan "pembacaan ayat-ayat televisi"?

    Tragik humor lagi. Bagi umat beragama, misalnya Islam, tindakan di luar kehendak ayat Al-Qur'an adalah dosa. Diksi "dosa" dalam dunia puisi, dunia metafor, dapat diartikan "kematian". Puisi di atas mengisyaratkan adanya orang-orang yang selalu mengaji televisi, menganggap televisi sebagai sumber religiusitas. Dan, aku lirik ada di dalam kumpulan orang-orang tersebut. Larik saya sedang bunuh diri menjadi sangat tragik, mentertawakan diri, seseorang yang hanya dapat hidup dalam bayang-bayang tawaran televisi. Meyakini diri "mati" apabila keluar dari pusaran chanel televisi. Parodi yang mengarah pada diri sendiri, membuka keburukan diri, memang kegiatan yang asyik-masyuk. Orang lain yang menyaksikan, bisa jadi, akan mentertawai, mencibir, mengeluhkan, atau menuntut pada aku lirik. Orang lain yang lebih peka, bisa jadi, akan melihat aku lirik-nya sendiri untuk kontemplasi. Apakah parodi juga menerpa diri pe-saksi? Keberhasilan parodi, untuk memparodi diri sendiri, dalam puisi sangat tergantung pada sublimasi ilustrasi. Bagaimana peristiwa yang dialami dan dirasa tokoh aku dapat juga dibayangkan pembaca.

    Akan lebih baik lagi, mengingatkan bahwa pembaca juga mengalami dan sedang merasakan peristiwa serupa. Parodi menjadi kritik diri yang melompat menempuh tanggungan kritik universal. Aku lirik dalam puisi adalah aku pembaca dalam realitas. Puisi berjudul "Warisan Kita", karya lain dari Afrizal, kiranya menyajikan ilustrasi parodi berbeda. Tindak parodi yang agak sulit untuk menimbulkan tawa.

    Seperti dalam bait pertama berikut: Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, gegeretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku. Dampak dari pembacaan puisi di atas, bisa jadi, pembaca tercerabut dari realitas sebuah dunia kalimat. Sulit mencari rujukan makna untuk dapat menjelaskan sebuah kalimat yang terdiri dari rangkaian kata benda.

    Yasraf Amir Piliang menengarai, karya seni parodi memiliki ciri khas; tanda-tanda diproduksi bukan dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan, dan konvensi sosial, melainkan dilandasi oleh kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda semata. Kata-kata, apapun bentuknya, telah memiliki makna parsial, entah artian literal, entah artian sosial. Sebuah puisi, yang terdiri dari kata-kata, otomatis, menyandang beban makna. Seperti yang dituliskan A. Teeuw, karya sastra (baca: puisi) tidak berangkat dari kekosongan. Sebuah puisi dengan begitu, apabila menggunakan logika terbalik, dapat diciptakan dengan "asal comot kata".

    Toh, akan tetap ada makna terkandung. Puisi "Warisan Kita" sama sekali tidak menyiratkan kesulitan proses penciptaannya. Tinggal mengurutkan sejumlah kata benda. Seakan, setiap orang yang menguasai bahasa Indonesia dapat mencipta puisi. Sangat beda dengan puisi-puisi model Amir Hamzah, yang sangat mendayu-dayu, penuh perhitungan lagu, terobosan makna, dan keagungan nuansa.

    Atau, puisi Goenawan Mohamad yang teramat sarat reinterpretasi mitologi, tekanan psikologi, konflik sosial, dan kerumitan filsafat. Pengulangan yang intens terhadap diksi dan larik puisi "Warisan Kita" mengesankan pemakaian pola mantra. Pembacaan yang cepat dan berirama terhadap puisi tersebut, akan menghasilkan sugesti yang mengusai pendengar. Mantra, sebagai sebuah jenis uisi, telah ada sejak Indonesia berbentuk kerajaan kecil. Hampir semua suku di Indonesia mempunyai bentuk mantra sendiri.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Juni 2012

Sunday, June 24, 2012

Tugu-tugu yang Tak 'Bernyawa' Budaya

-- Fakhrunnas MA Jabbar

TUGU lelaki perkasa di tengah Kota Baghdad itu pun runtuh. Sebelumnya ribuan rakyat dengan penuh kebencian menarik dan memukul-mukuli dari segala sisi. Dalam waktu sekejap tugu yang bertahun-tahun begitu sakral rubuh tak berdaya. Begitulah puncak berakhirnya kekuasaan rezim diktator Irak, Saddam Hussein.

Tugu (baca juga: monumen, patung) di setiap kota memberi makna semiotik yang luar biasa. Keberadaan tugu tersebut tak hanya land mark melainkan memberi pesan dan pencerahan bagi seluruh rakyat sehingga perlu dijaga dan dipelihara. Meski dalam pandangan Islam, tugu yang berupa patung berwujud makhluk hidup terutama manusia sangat tidak dibolehkan, namun tradisi tugu direpresentasikan berwujud benda-benda mati. Lihatlah patung-patung di kota-kota besar Arab Saudi hanya menampilkan obyek seperti sepeda, batu dan sebagainya.

Di berbagai belahan dunia, sejumlah tugu legendaris yang sangat diagungkan dalam memoria dapat disebutkan di antara Patung Liberty di New York dan Patung Yesus di Rio de Jenairo (Brazil). Patung-patung yang sudah menjadi mitos tak hanya di negaranya sendiri melainkan hampir seluruh dunia itu memberi kebanggaan yang luar biasa. Pasalnya, dasar filosofis pembuatan patung tersebut benar-benar benar-benar dipertimbangkan secara matang.

Tugu-tugu yang ada di berbagai kota besar di Indonesia termasuk Provinsi Riau  tentu memiliki keragaman sesuai situasi dan kondisi daerah masing-masing. Dasar pertimbangan filosofisnya harus dapat diterima oleh mayoritas masyarakat. Bila tidak, niscaya berujung pada tragedi dan sikap kontra-produktif dari pihak masyarakat. Lihatlah, perubuhan tugu oleh rakyat di sebuah kota di Pulau Jawa dengan pertimbangan tak menjadi prioritas dibanding kepentingan rakyat yang lebih mendesak.

Menatap tugu-tugu yang ada di Kota Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau dalam rentang waktu yang panjang menjadi sesuatu yang menarik. Meski bukan ahli patung, tapi pengetahuan dasar tentang patung atau tugu pastilah terkait  estetika, penguasaan dan pemahaman tentang anatomi dan perbandingan skala. Bila sebuah patung sosok manusia dibangun tanpa penguasaan ilmu tersebut niscaya tampilan patung agak terkesan gagu dan lucu. Jangan-jangan patung itu terkesan lugu juga.

Hampir di sejumlah penjuru kota Pekanbaru terdapat tugu-tugu. Meskipun sebagian tugu itu tiba-tiba dirubuhkan sendiri oleh pihak pemegang otoritas. Tugu Lancang Kuning  yang terletak di kaki Jembatan Siak I  dan Tugu Pesawat Tempur di bundaran depan Kantor Gubernur kini hanya tinggal nama.

Isu tugu di Kota Pekanbaru tiba-tiba menghangat ketika di bekas Tugu Pesawat Tempur itu dibangun sebuah tugu baru. Semula diisukan tugu -yang waktu itu belum dibangun-  berupa Tugu Zapin. Tentu penamaan dan bentuk tugu ini sebagai simbol kelenturan nilai budi Melayu pada tari zapin yang masyhur sejak dulu. Persoalannya, ketika tugu tersebut sudah jadi dan dipertontonkan secara terbuka pada masyarakat, bentuk tugu itu menimbulkan polemik dan kontroversi.

Ada gelombang besar yang menggelora. Di dua punca gelombang itu terdapat sosok lelaki dan perempuan penari dalam posisi yang berbeda bila dilihat dari ketinggiannya. Si lelaki dengan mengayunkan tangan seolah-olah ingin menampar si perempuan yang terkulai lemas di bawahnya. Patung yang dirancang dan dibuat oleh seniman patung ternama yang berkultur Bali, I Nyoman Nuarta (arsitek patung raksasa Garuda Wisnu Kencana di Bali) justru memperlihatkan lekuk-liku tubuh si perempuan. Pemandangan ini tentu menjadi tak lazim bila dipandang dengan kacamata kultur Melayu.

Suka atau tak suka, tugu yang semula bakal diberi nama Tugu Zapin terus cepat-cepat diralat oleh Kepala Dinas PU Riau, SF Hariyanto dengan nama Tugu Nol Kilometer. Padahal, dasar filosofis tugu yang menunjukkan titik nol kilometer yang sangat strategis ini justru tak tercermin di dalam sosok tugu yang ada. Kalau begitu, kenapa tidak ditampilkan saja sebuah bulatan angka nol (0) raksasa atau simbol-simbol lain yang menggambarkan angka nol itu.

Tugu Perjuangan di depan Gubernuran berupa sosok sejumlah pejuang dengan senjatanya berusia cukup lama. Secara anatomi dan makna filosofis tugu ini tak perlu diragukan lagi. Meski pernah dihebohkan ketika Gubernur Riau, Imam Munandar sempat menambahkan di bagian bawah tugu tersebut berupa bekas telapak kaki di atas semen basah.

Di kedua ujung Jalan Diponegoro terdapat dua tugu lagi masing-masing Tugu Bambu Runcing dan Tugu Keris. Tugu Bambu Runcing yang menghimpun beberapa ruas tugu runcing sebagai simbolisasi alat perjuangan merebut kemerdekaan. Sosok tugu ini sah-sah saja walaupun dipandang dari sudut kreatifitasnya terasa kurang. Sejak dulu, sosok bambu runcing ya seperti itulah.

Tapi untuk Tugu Keris yang digambarkan sebuah keris tanpa sarung tercacak. Budayawan Dr (HC) Tenas Effendy mengungkapkan dalam tradisi Melayu, keris hendaklah terhunus ke atas. Oleh sebab itu, Tenas mempertanyakan kenapa ada tugu keris yang menghunjam ke perut bumi.

Sebuah tugu lagi di gerbang masuk Kota Pekanbaru dari arah Bandara Sultan Syarif Kasim II. Ada  Tugu Payung atau Tugu Tepak Sirih yang menggambarkan sebuah payung dengan peralatan tradisi makan sirih di bawahnya. Senada dengan itu, di persimpangan Jalan Arengka-Mal SKA terdapat pula Tugu Penari Persembahan dengan sosok seorang perempuan Melayu dengan mengulurkan tepak sirih. Sayang, anatomi sosok manusia pada tugu ini terkesan tidak imbang sehingga perempuan Melayu yang digambarkan tidak ideal karena bertubuh pendek.

Di kawasan pinggiran Kota Pekanbaru tepatnya di ruas Jalan Arengka III terdapat dua tugu lagi yakni Tugu Songket dan Tugu Mari Menabung. Tugu Songket menampilkan berbagai cortak songket  khas Melayu. Tentu saja, tugu sangat informatif. Namun, posisi letaknya yang jauh dari keramaian benar-benar patung itu bagaikan sosok bisu. Sementara Tugu Mari Menabung dengan sosok tangan mengepal benar-benar kumal dan dekil serta tak terpelihara.

Belum lama berselang persis di ruas Jalan Sudirman, depan Kantor Wali Kota Pekanbaru, berdiri pula Tugu Ikan Selais yang sudah ditetapkan menjadi ikon Kota Pekanbaru. Sosok beberapa ekor ikan selais yang saling meliuk, mengingatkan orang pada Tugu Ikan dan Buaya yang menjadi ikon Kota Surabaya. Tapi ada yang keliru pada sosok ikan selais itu. "Kumis ikan tersebut terlalu panjang membelit," kata sahabat saya yang pernah menjadi Dekan Faperta UIR, Ir Rosyadi mengeritik soal kumis yang tak sesuai dengan realitasnya. "Ikan selais itu  hanya punya kumis pendek..." ujar Rosyadi yang bertekad menjadikan Faperta UIR sebagai "Pusat Informasi dan Pembenihan Ikan Selais di Riau" ini.

Keberadaan tugu-tugu di Kota Pekanbaru disayangkan belum ada tugu yang benar-benar dapat memberikan land mark yang patut diagungkan warga kota. Sebutlah Tugu Selamat Datang di Kota Jakarta yang legendaris hingga kini. Semestinya, kota ini memiliki tugu yang dirancang berwujud tinggi sehingga dapat dilihat oleh warga kota dari semua penjuru. Boleh jadi tugu yang melukis sepasang bujang dan dara Melayu melambai dari ketinggian sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu. Betapa megahnya bila tugu seperti itu ditempatkan di lokasi Simpang Mal SKA atau di depan kantor Gubernur Riau. Tentu tugu impian begitu bisa jadi ikon dan land mark ibukota Provinsi Riau ini.

Bagaimanapun, kita masih terus mencari makna filosofi dan nilai-nilai kultural yang berpijak di ranah Melayu. Begitu pula, tugu-tugu yang ada perlu diberi nyawa budaya agar benar-benar bermakna bagi kehidupan kini dan seterusnya. Tak Melayu Hilang di Bumi...tentu melekat pula pada tiap sosok tugu yang berdiri di penjuru kota ini. n

Fakhrunnas MA Jabbar, kolumnis dan budayawan, dosen Universitas Islam Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Juni 2012

Mencerahkan Negeri dengan Sastra

-- Sugiarti

BANGSA ini adalah bangsa yang kaya dengan budaya. Keberagaman yang patut menjadi kebanggaan putra putri negeri di setiap penjuru dan pelosok. Sastra sebagai salah satu alat pengangkat simbol keberagaman tersebut sepatutnya ditempatkan di posisi yang tak kalah pentingnya dengan upaya penjagaan integritas sebuah bangsa.

Terlepas dari apresiasi awal sebuah kelompok masyarakat menerima keberadaan sebuah karya sastra, maka para �aktivis� sastra dituntut untuk sedia setiap saat bergelut dengan �keheningan� dunia sastra. Penyakit alergi sastra di kalangan masyarakat yang dapat dipicu oleh faktor minat yang kurang dan prospek ekonomi yang dianggap tidak menjanjikan menjadi tantangan awal para aktivis sastra yang ingin bergerak dan memajukan. Disadari atau tidak, kelompok-kelompok pengidap penyakit alergi sastra ini ada di sekitar kita. Solusinya tetap pada para penggiat sastra tadi, seberapa besar upaya yang dilakukan untuk bisa menciptakan lingkungan yang menyenangi sastra. Lingkungan yang dapat dimulai dari orang-orang terdekat, keluarga, saudara, rekan kerabat dan sebagainya.

Sastra memiliki peran penting dalam upaya pencerahan dan pencerdasan negeri. Nilai yang terkandung dalam setiap karya sastra terindikasi dengan seberapa besarnya manfaat yang dihasilkan melalui keberadaan sebuah karya sastra, baik bagi si penulis maupun orang lain yang membacanya. Masalah yang cukup kompleks akan terjadi apabila dikaitkan dengan faktor ekonomi bangsa ini. Betapapun tingginya nilai manfaat sebuah karya sastra, tidak akan pernah dirasakan oleh masyarakat, jika keperluan membaca masih menjadi urutan keperluan sekunder atau bahkan tersier.

Dari kaca mata positif ada sedikit angin segar bagi para penggiat sastra dewasa ini, diangkatnya beberapa novel populer ke layar lebar baru-baru ini telah mampu mentransisikan keberadaan sastra sebagian nilai tekstual menjadi visual yang memiliki beberapa nilai efesiensi di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat cukup mengeluarkan uang sebesar Rp20.000 untuk membeli tiket Ketika Cinta Bertasbih dibanding  membeli novelnya yang jauh lebih mahal. Meski pada hakikatnya nilai yang terkandung secara tekstual sangat jauh berbeda dengan nilai visual yang kita dapatkan. Tapi setidaknya �nilai manfaat� yang ada pada sebuah karya sastra telah dapat ditransfer ke pikiran masyarakat. 

Melihat cukup pentingnya keberadaan sebuah karya sastra dalam upaya pencerahan dan pencerdasan, maka salah satu langkah awal untuk mewujudkan peran tadi adalah upaya dini untuk mengkampanyekan menulis di kalangan masyarakat. Menulis dalam arti yang cukup luas, tak hanya terikat pada tulisan sastra. Sebab sastra adalah bagian dari kepenulisan. Jika tak didahului dengan keinginan untuk menulis maka keindahan sebuah sastra juga takkan pernah dirasakan.

Setelah didahului dengan langkah awal menciptakan budaya menulis, maka tahapan selanjutnya adalah memahami makna menulis secara komprehensif. Penulis profesional takkan mengkotak-kotakkan minatnya terhadap aneka jenis tulisan. Sebab tujuan utama yang harus ditanamkan di jiwa seorang penulis adalah sejauh mana �manfaat� yang dapat ia berikan dengan menulis baik pada dirinya maupun orang lain yang membacanya. Tulisan yang bermanfaat inilah yang dapat mewujudkan pencerahan sebuah negeri serta pencerdasan sebuah bangsa. Dan sastra adalah salah satu unsur yang kaya dengan manfaat. Sejauh mana seorang penulis mampu menghembuskan nilai-nilai manfaat dan keberartian sebuah karya sastra, maka sejauh itulah seorang sastrawan akan dapat hidup di sepanjang zaman. Seperti Raja Ali Haji yang abadi dengan Gurindam Dua Belas, membuktikan bahwa budaya, nilai dan manfaatlah yang lebih utama ditonjolkan dalam sebuah karya sastra, terlepas dari estetika yang juga perlu ditampilkan.

Para penggiat sastra, kelompok dan komunitas-komunitas sastra di negeri ini sesungguhnya memiliki tujuan dan peran yang sama untuk merealisasikan tujuan mulia mencerahkan dan mencerdaskan negeri dengan karya sastra. Sastra bukan sekadar tong sampah nilai estetika maupun perasaan keluh-kesah pribadi seorang sastrawan semata. Namun ada tujuan dan cita-cita bersama yang patut dirumuskan, yakni peran serta dan andil kita untuk mewujudkan Indonesia yang cerdas dan bermartabat di hadapan bangsa lain melalui nilai sastra dan budayanya, sesuai cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Keberadaan sastra adalah alat penyatu negeri, bukan sebagai pemecah. Sastra sebagai sarana kontrol sosial bukan sebagai alat pengejek maupun menjatuhkan lawan. Dari sinilah nantinya akan muncul para sastrawan pencerah negeri, sehingga kelak profesi sebagai seorang penulis lepas, penyair, cerpenis, novelis dan budayawan menjadi profesi yang cukup didambakan setiap anak negeri.  n

Sugiarti, Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Juni 2012

[Jejak] Sanusi Pane, "Manusia Baru" Penggagas Jong Bataks Bond


DALAM bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana. Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Buddha di Indonesia di masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesa Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya Manusia Baru yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1940.

Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, di antaranya Pancaran Cinta (1926), Prosa Berirama (1926), Puspa Mega (1927), Kumpulan Sajak (1927), Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928), Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929), Madah Kelana (1931), Kertajaya (drama, 1932), Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933), Manusia Baru (drama, 1940) dan Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940).

Sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru ini lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara pada 14 November 1905 dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun. Karya-karyanya banyak diterbitkan antara tahun 1920-an sampai 1940-an. Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada 1925. Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya.

Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah Timbul berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Pada tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu Kebangunan di Jakarta dan 1941 menjadi redaktur Balai Pustaka.

Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru danseniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya Jong Bataks Bond.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Juni 2012

Saturday, June 23, 2012

Mestikah Sinis kepada Dunia Sastra?

-- Herry Firyansyah

PROBLEM utama yang paling serius dalam kesusastraan kita saat ini adalah bagaimana menumbuh kembangkan minat sastra di kalangan muda. Bahkan kalau perlu mencuci otak anak-anak muda menjadi setengah sastrawan. Sikap itu diperlukan, sebab lingkungan mereka (keluarga, sekolah dan mungkin negara) sepertinya punya sikap sinis terhadap sastra dan sastrawan. Mestikah bersikap sinis?

    Dalam keluarga misalnya. Kebanyakan orang tua akan mengutuk diri sepanjang hidupnya kalau akhirnya kecolongan punya anak atau menantu seorang sastrawan. Sebab dimata mereka sastra adalah "bidang pekerjaan" paling gila yang pernah ada. Dan mereka yang nyemplung di dalamnya adalah "orang gila".

    Nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan juga tidak jauh beda. Bahkan lebih brutal. Prilaku kurikulum pendidikan kita malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran kesusasteraan masih sebagai bagian dari mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa lndonesia dan porsinya pun hanya 10 persen. Kalau diperguruan tinggi ia hanya bagian dari mata kuliah budaya dasar, porsi materi sastra 0,1 persen. Seakan-akan sastra hanyalah pelajaran sampingan yang jika dalam keadaan mendesak layak untuk ditiadakan. Bebeda dengan matematika, fisika, kimia dan akuntansi. Ironisnya lagi generasi muda seakan percaya bahwa sastra memang tak bisa memberikan apa-apa. Apalagi memberikan titik terang pada masa depannya.

    Sebenarnya banyak problem lain dalam kesusastraan, tapi ringan. Seperti sempitnya jalan menuju singgana sastra karena system akomodasi yang terlunta-lunta, terutama bagi pemula. Tersumbatnya saluran regenerasi akibat pengapuran yang sengaja dibuat generasi tua dan media massa.

    Ada juga problem tentang munculnya saluran baru kesusastraan yang sengaja dibuat generasi muda seperti gua bawah tanah dalam perang gerilya karena mampatnya saluran lama, yakni sastra cyber. Yang mana setelah diproklamirkan kemunculannya menjadi perdebatan. Bahkan dituding-tuding sebagai sastra "sampah".

    Tapi ini pun masih bukan problem serius. Yang menjadi problem utama kita bagaimana menumbuhkan minat sastra pada generasi muda. Sebab sastrawan generasi tua mulai bengok-bengok bahwa kita kekurangan sastrawan. Dari 1 juta penduduk hanya lahir satu sastrawan.

    Sedangkan idealnya dari 1 juta penduduk perlu 10.000 sastrawan baru. Ini artinya kita kekurangan juru damai. Dan dampaknya akan sangat menyeramkan; jiwa manusia muda Indonesia akan mudah tersulut dan tenggelam dalam lautan bencana moral yang secara tiba-tiba membesar dan meluluh lantakkan etika negeri ini.

    Tawuran, pemerkosaan, free sex, pembunuhan dan narkoba yang kerap dilakukan generasi muda setidaknya bisa menjadi bukti kongkret.

    Ya. Sebab sastra tidak menjadi panji utama penjaga etika di negeri ini. Padahal sastra berfungsi sebagai agen pendidikan membentuk pribadi keinsanan seseorang dan memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban. Fase-fase pemikiran ini jelas memberi pengetahuan bahwa sastra berkaitan dengan pemikiran, pendidikan, dan akal budi manusia.

    Tegasnya Friedrich Schiller mengatakan sastra semacam permainan menyeimbangkan segenap kemamuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan.

    Dengan kesusastraan, seorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81).

    Bahkan kalau kita mau melakukan refleksi lebih mendalam bahwa para sastrawan yang kaya secara material murni merupakan hasil jerih payahnya menciptakan karya yang berkualitas. Seorang Joni Andriadinata yang dulunya pernah menjadi tukang becak di Jakarta, kini telah punya rumah sendiri, mobil sendiri karena keseriusannya menekuni dunia sastra.

    Beda dengan Insinyur sipil yang kaya, kebanyakan karena terlalu besar mengkorup biaya konstruksi. Akibatnya bagunan menjadi buruk. Juga para dokter yang kaya pada umumnya karena ekslotatif terhadap pasien. Tapi mengapa cita-cita anak selalu ingin menjadi dokter atau insinyur. Tidak menjadi sastrawan?

    Menurut hemat penulis, mungkin karena lambang kesenimanan di Indonesia adalah "binatang jalang" sehingga citra buruk pun terbentuk pada kaum sastrawan atau seniman; kumal, awut-awutan, berambut gondrong, mungkin malah tatoan seperti gali. Nah, penampilan luar inilah yang sering menjadi cercaan public tentang sastrawan

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 Juni 2012
 

Wednesday, June 20, 2012

Diskriminasi di RSBI Terjadi Sejak Proses Pendaftaran

Indra Akuntono & Lusia Kus Anna

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listiyarti, menilai diskriminasi di sekolah-sekolah berlabel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) telah terjadi sejak dimulainya pendaftaran.

Salah satunya bisa dilihat dari proses pendaftaran sekolah RSBI (jenjang SMA) yang mendahului proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) dari waktu yang telah ditetapkan. "Saya tak peduli apapun alasannya, tapi diskriminasi di RSBI telah terjadi sejak proses pendaftaran," kata Retno kepada Kompas.com, Rabu (20/6/2012), di Jakarta.

Retno, yang juga merupakan seorang guru di SMAN 13 RSBI Jakarta Utara ini menjelaskan, proses PPDB di sekolahnya telah berakhir pada 14-16 Juni 2012 lalu. Padahal, sesuai jadwal, PPDB jenjang SMA di wilayah DKI Jakarta baru akan dimulai pada 6 Juli mendatang.

"Proses PPDB yang mendahului jadwal adalah bentuk diskriminasi. Bahkan untuk kelas internasional, proses PPDB telah dilakukan sejak akhir Mei 2012," ujarnya.

Dilanjutkan olehnya, perlakuan diskriminasi pada PPDB RSBI juga nampak dari sejumlah syarat yang berbeda dengan proses PPDB di sekolah-sekolah reguler. Di RSBI, penerimaan siswa ditentukan oleh nilai Ujian Nasional (UN), dan nilai hasil ujian tulis. Untuk nilai UN, diberikan bobot sebesar 40 persen, dan hasil ujian tulis bobotnya sebesar 60 persen yang berasal dari empat mata pelajaran, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS.

"Belum lagi nilai rapor yang rata-ratanya harus 7. Padahal di sekolah reguler tidak ada prasyarat serumit itu," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, Dinas Pendidikan DKI Jakarta telah menentukan jadwal PPDB, yakni mulai 27 Juni 2012 sampai 6 Juli 2012. Setelah itu, verivikasi calon peserta didik akan dilakukan pada 2 Juli sampai hari pengumumannya, yakni 6 Juli 2012 di sekolah tujuan.

Setelah itu, para siswa yang telah diterima diharuskan melakukan lapor diri pada 7-10 Juli 2012 di sekolah tujuan. Bersamaan dengan itu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan mengumumkan jumlah kursi yang kosong pada 10 Juli 2012. Untuk tahap kedua, pendaftaran secara online akan dibuka mulai 10-13 Juli 2012. Disusul dengan verivikasi data dan pengumuman pada 12-13 Juli 2012 di sekolah tujuan. Sehari setelahnya, pada 14 Juli 2012 para siswa yang diterima diwajibkan melakukan lapor diri ke sekolah tujuan.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Rabu, 20 Juni 2012

Sekolah RSBI Buka Pendaftaran Lebih Awal

-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekolah-sekolah berlabel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SMA/RSBI) memulai proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) lebih awal dari sekolah-sekolah reguler. Beberapa sekolah yang sudah membuka pendaftaran antara lain SMAN 13 RSBI Jakarta Utara dan SMAN 68 RSBI Jakarta Timur.

Khusus untuk SMAN 13, pendaftaran PPDB telah sudah dimulai pada 4-7 Juni 2012 lalu. Setelah itu, proses PPDB disambung dengan ujian tertulis yang digelar beberapa hari setelahnya, yakni pada 9-11 Juni 2012. Dinas Pendidikan DKI Jakarta sebelumnya telah menentukan jadwal PPDB, yakni mulai 27 Juni 2012.

"Sekolah kami telah mengumumkan hasilnya pada 13 Juni lalu, dan para siswa yang diterima telah melakukan daftar ulang pada 14-16 Juni," kata seorang guru di SMAN RSBI 13 Jakarta Utara, Retno Listiyarti kepada Kompas.com, Rabu (13/6).

Berdasarkan jadwal dari dinas pendidikan, proses PPDB untuk jenjang SMA di wilayah DKI Jakarta pendaftaran tahap pertama baru akan dibuka secara online pada 27 Juni sampai 6 Juli 2012. Setelah itu, verivikasi calon peserta didik akan dilakukan pada 2 Juli sampai hari pengumumannya, yakni 6 Juli 2012 di sekolah tujuan.

Setelah itu, para siswa yang telah diterima diharuskan melakukan lapor diri pada 7-10 Juli 2012 di sekolah tujuan. Bersamaan dengan itu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan mengumumkan jumlah kursi yang kosong pada 10 Juli 2012.

Untuk tahap kedua, pendaftaran secara online akan dibuka mulai 10-13 Juli 2012. Disusul dengan verivikasi data dan pengumuman pada 12-13 Juli 2012 di sekolah tujuan. Sehari setelahnya, pada 14 Juli 2012 para siswa yang diterima diwajibkan melakukan lapor diri ke sekolah tujuan.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Rabu, 20 Juni 2012

Tuesday, June 19, 2012

Klaim Kesenian: Kemdikbud Desak Malaysia Buat Pernyataan Tertulis

-- Indra Akuntono & Latief

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendesak Pemerintah Malaysia membuat keterangan tertulis. Desakan itu dilakukan terkait klaim atas kesenian asli Sumatera Utara, Tari Tor-tor dan Gondang Sambilan.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, mengaku telah membuka komunikasi dengan Duta Besar Malaysia untuk Indonesia. Dalam kesempatan itu, pihak Malaysia berjanji akan segera membuat keterangan tertulis atas desakan dari Pemerintah Indonesia.

"Kita sudah berkomunikasi dengan Duta Besar Malaysia untuk Indonesia. Kita ingin tahu secara persis, apa tujuan mereka mencatat (mendaftarkan) kesenian Tor-tor dan Gondang Sambilan secara jelas," kata Wiendu, Selasa (19/6/2012).

Wiendu menjelaskan, saat ini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah turun tangan untuk berdiplomasi dengan Malaysia atas permasalahan klaim tersebut. Berdasarkan hasil pertemuan itu diketahui, jika permasalahan ini hanya sebatas insiden dan Pemerintah Malaysia menyatakan tidak bermaksud mengklaim dua kesenian Indonesia tersebut.

"Tapi, sikap kita tetap jelas. Kita menghendaki pernyataan tertulis, dan setelah itu baru ditindaklanjuti. Silakan budaya Indonesia berkembang di mana saja, tapi asal usulnya harus jelas," tambah Wiendu.

Seperti diberitakan, baru-baru ini Malaysia kembali dituding akan merebut dua kesenian asli Indonesia, yakni Tari Tor-tor dan Gondang Sambilan. Sejumlah pihak di Tanah Air pun bereaksi, termasuk Kemdikbud sebagai lembaga yang menangani kebudayaan. Sampai berita ini diturunkan, belum ada penjelasan detail dari Pemerintah Malaysia terkait insiden tersebut.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 19 Juni 2012

Dalam 5 Tahun, Malaysia 7 Kali Klaim Budaya Indonesia

-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna
JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Kebudayaan Windu Nuryanti mengatakan, sepanjang tahun 2007-2012 sedikitnya Malaysia sudah tujuh kali mengklaim budaya Indonesia sebagai warisan budaya negaranya.


Penonton menyawer penari tor-tor yang tampil diiringi gordang sambilan (gendang sembilan) di halaman Taman Budaya Sumatera Utara, Medan, Senin (18/6/2012). Pertunjukkan ini sebagai bentuk kepedulian budayawan dan seniman Sumut terhadap tor-tor dan gendang sembilan asli Mandailing yang rencanannya didaftarkan Pemerintah malaysia ke dalam seksi 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005. (KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ)

"Sejarah klaim-mengklaim kebudayaan itu memang cukup panjang, dalam catatan saya sudah tujuh kali," kata Windu di gedung Kemdikbud, Jakarta, Selasa (19/6/2012).

Windu menjabarkan klaim Malaysia dimulai pada November 2007 terhadap kesenian Reog Ponorogo. Selanjutnya pada Desember 2008, saat itu Malaysia mengklaim lagu "Rasa Sayange", disusul dengan batik yang diklaim Malaysia pada Januari 2009.

"Masih ada Tari Pendet dari Bali dan alat musik angklung yang juga diklaim oleh mereka," ujarnya.

Selain kesenian, kata dia, klaim semena-mena juga dilakukan Malaysia pada Beras Adan. Padahal beras tersebut asli dari Nunukan, Kalimantan Timur, tetapi dijual Malaysia dengan merek Bario Rice.

Yang terhangat adalah klaim negeri jiran atas Tari Tor-tor dan Gondang Sambilan yang merupakan kesenian asli dari Sumatera Utara.

"Mereka menyatakan tidak mengklaim Tari Tor-tor, tapi hanya mencatat. Kami minta secara tertulis maksud mereka mencatat itu dalam kategori apa," kata Windu.

Malaysia merupakan negara tetangga dekat Indonesia dengan populasi mencapai sekitar 25 juta jiwa, terdiri dari etnis China, Melayu, dan India. Sejumlah suku di Indonesia, seperti Mandailing, Jawa, Bugis, dan lainnya, juga sudah sejak lama bermigrasi ke Malaysia dan tetap menjaga adat istiadat hingga saat ini. Beberapa pihak menyebutkan, seni Tari Tor-tor dibawa oleh warga Indonesia dari Suku Mandailing ke Malaysia sekadar untuk diperkenalkan.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 19 Juni 2012

Perhatian Pemerintah pada Buku Masih Sangat Kurang

-- Lusia Kus Anna 

JAKARTA, KOMPAS.com — Perhatian pemerintah terhadap penerbitan buku masih kurang, bahkan hampir tidak ada insentif untuk mendorong penerbitan buku. Akibatnya, minat baca masyarakat tetap rendah dan industri buku juga tidak berkembang.

Jumlah buku yang diterbitkan, misalnya, hanya sekitar 10.000 judul buku per tahun. Jumlah ini sama dengan Malaysia yang penduduknya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia.

”Vietnam bahkan bisa menerbitkan 15.000 judul buku per tahun, Jepang 40.000, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun,” kata Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Cabang DKI Jakarta Afrizal Sinaro, Senin (18/6/2012).

Ia mengatakan hal itu dalam kunjungan ke Redaksi Kompas dan diterima Wakil Pemimpin Umum Kompas St Sularto. Kunjungan ini juga dalam rangka Jakarta Book Fair 2012 yang akan berlangsung di Istora Senayan Jakarta 23 Juni-1 Juli 2012.

Hikmat Kurnia, Wakil Ketua Ikapi Cabang Jakarta, mengatakan, dana pemerintah untuk perbukuan sebenarnya sangat besar, terutama untuk sekolah dan perpustakaan. Namun, kucuran dana ini tidak pernah dievaluasi dampaknya terhadap minat baca masyarakat.

M Anis Waswedan, Wakil Ketua II Ikapi Jakarta, dan Andreas Haryono, Kepala Bidang Pengembangan Budaya Baca Ikapi Jakarta, mengatakan, harga buku di Indonesia relatif mahal karena dikenai beragam pajak, mulai dari pajak kertas, pajak pendapatan penulis, hingga pajak buku. Harga buku bisa lebih murah jika pemerintah mau mengurangi pajak. (THY)

Sumber: Kompas, Selasa, 19 Juni 2012

Sunday, June 17, 2012

Tajam Keris Raja Tajam Lagi Pena Pujangga

-- UU Hamidy

JUDUL tulisan di atas adalah kutipan puisi penyair Malaysia Usman Awang, dengan nama pena T Tongkat Waran, yang mendapat kehormatan sebagai seniman negara. Sebagai seniman negara dia mendapat berbagai kemudahan dari negara Malaysia, terutama jaminan biaya perawatan kesehatan seumur hidup. Puisi Usman Awang, pelopor Angkatan 50 Malaysia ini memberikan apresiasi bagaimana keris lambang kekuasaan berbanding pena lambang hati nurani. Keduanya punya ketajaman, tetapi masing-masing berbeda kemampuannya.

Keris sebagai lambang kekuasaan memang telah tampil dengan tindakan yang tegas, bahkan garang lagi menakutkan. Kekuasaan lebih banyak membuat hati manusia lebih keras daripada batu. Itulah sebabnya, kekuasaan jarang dipakai untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, tapi lebih sering dipakai untuk mempertahankan kebathilan. Kekuasaan yang dipegang dengan tidak memperhatikan perintah dan larangan Allah serta Rasul-Nya, maka kekuasaan itu hanya menjadi perabot setan. Sebab, hanya dengan pedoman hidup yang sempurna dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, hati manusia menjadi lembut, sehingga tindakannya mengandung hikmah lagi bijaksana.

Perhatikanlah tajamnya keris raja dalam sejarah umat manusia. Fir�aun dengan kekuasaannya sampai memandang dirinya bagaikan tuhan, lalu tega memasukkan Masyitah serta anaknya ke dalam kancah di atas tungku api. Namrud raja Babilonia memberi perintah agar Nabi Ibrahim As dibakar. Nero raja Romawi dengan sesuka hatinya membakar kota Roma. Penguasa Yahudi Israil membantai rakyat Palestina sepanjang tahun tanpa pandang bulu. Dan yang terakhir yang paling hebat, Amerika Serikat dengan kekuasaan dan senjatanya membunuh umat Islam di Irak, Afganistan, Pakistan serta menyiksa umat Islam sesuka hatinya melalui agen di bawah ketiaknya dengan dalih teroris.

Sungguhpun begitu, bagaimanapun juga tajamnya kekuasaan, namun yang disentuhnya hanyalah badan wadak tubuh kasar manusia. Keris atau kekuasaan tidak mampu menyentuh atau menindas hati nurani. Inilah keterbatasan kekuasaan yang sekaligus menjadi kelemahannya. Kekuasaan dengan mudah luntur dan kandas ketika tak ada kekuatan fisik yang mendukungnya, bagaikan keris yang patah menjadi majal.

Kekuasaan, bagaimanapun juga ambisi hendak mempertahankannya, namun tetap berakhir ketika ajal tiba. Selepas itu apabila mendengar atau membaca namanya, orang akan menyesalinya bahkan akan mengutuknya. Berbeda dengan pengarang yang beriman, namanya harum  sepanjang masa. Tulisannya yang dapat menggetarkan hati nurani membuat sang pujangga terbayang masih hidup, sebagaimana dalam daftar pustaka terhadap namanya tidak dipakai kata almarhum.

Tidak demikian halnya dengan ketajaman pena pujangga yang punya sentuhan hati nurani. Ketajamannya tidak hanya sebatas hidup pujangga atau pengarang. Pesan yang digoreskan oleh pena pujangga telah melampaui ruang dan waktu serta mampu bergema sepanjang masa. Leon Agusta membuat rangkai sajak: Betapa batu aku betapa buta aku. Sajak itu mengetuk pintu hati kita sambil memberi pesan bahwa hati yang keras bagaikan batu, membuat mata jadi buta tidak dapat membedakan kenyataan yang dilihat.

Ibrahim Sattah penyair pucuk mali-mali menulis puisi: Sebab maut bernama maut sebab saatnya sampai. Ini juga memberi apresiasi yang benar tentang maut, yakni sesuatu yang niscaya akan datang ketika ajal sampai. Kemudian Idrus Tintin penyair rajawali hutan  yang amat tajam improvisasinya, menulis dengan penanya: Banjir oh air, kemarau oh air, derita oh air mata, mengapa tak mengalir? Perhatikan nilai air yang berbeda dalam banjir dan kemarau. Tetapi air mata dari mana airnya jika derita tak pernah diatasi.

Demikianlah ketajaman pena pujangga, yang jelajahnya dapat menembus kalbu dengan hati nurani yang bergetar sepanjang hayat. Tak heran raja-raja Melayu masa silam yang taat beragama Islam, tidak hanya semata menghandalkan ketajaman kerisnya, tapi juga memperhatikan ketajaman pena ulama atau pengarang. Inilah yang berlaku di Aceh, Melaka-Johor dan Riau. Raja-raja Aceh telah memperhatikan pena Hamzah Fansuri dalam ��Syair Perahu��, bahwa kehidupan manusia menuju akhirat bagaikan perahu yang menyeberang. Maka perhatikanlah perahu diri masing-masing. Raja Melaka dan Johor memperhatikan pesan Tun Sri Lanang yang menulis ��Sejarah Melayu�� yang menjadi mutiara segala cerita dan cahaya segala perumpamaan. Maknanya, segala peristiwa yang berlaku di alam ini dengan kudrat dan iradat Allah, adalah pelajaran bagi manusia yang berakal.

Lantas di Riau, para sultan dan raja digedor habis-habisan oleh para pengarang dengan Raja Ali Haji yang paling hebat memberikan peringatan. Pena Raja Ali Haji menuliskan: Seribu pedang yang terhunus dengan segores kalam jadi tersarung. Begitulah ajaibnya kekuatan kalam, dengan rangkai kata yang diridhai Allah Swt. Betapapun hebatnya kekuasaan bahkan peperangan dengan pedangnya. Tapi dengan kehendak Allah akan menjadi reda atau berakhir, dengan pena yang menyampaikan kebenaran.

Raja Ali Haji selalu memberi amaran kepada pemegang teraju di Riau, agar jangan melupakan kematian atau akhirat, sebab mengingat akhirat itu adalah pohon segala kebajikan dan kemenangan. Karena itu tak heran jika ulama pengarang yang cemerlang ini membuat ikat gurindam: Barang siapa mengenal akhirat tahulah ia dunia melarat. Inilah ikat gurindam yang punya ketajaman dan kedalaman tentang makna kehidupan. Apalah hanya arti dunia ini berbanding akhirat. Melarat di dunia hanya dalam bilangan tahun. Tapi melarat di akhirat tidak mengenal pergantian waktu. Begitu pula nikmat dunia hanyalah apa yang bagaikan setetes air dari lautan nikmat di akhirat. Dan masih ada nikmat yang tiada tara di akhirat yang tak pernah dilihat mata, didengar telinga serta tak terlintas dalam hati. Semuanya akan berpunca pada nikmat melihat wajah Allah Yang Maha Indah, suatu nikmat yang tiada batas dan tidak pernah berakhir.

UU Hamidy, Menulis sedikitnya 50 buku tentang Melayu. Budayawan Pilihan Sagang 2007 ini juga tunak menulis esai dan kritik sastra. Kini masih aktif mengajar di Universitas Islam Riau dan bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012

 

Penata Tari Muda di Riau: Proses Kreatif ke Ruang yang Semakin Luas

-- SPN Iwan Irawan Permadi

Pada masa perkembangan sekarang ini, para penata tari muda di Provinsi Riau mempunyai kesungguhan yang kuat untuk memodernisasikan karya-karyanya. Dengan berakar pada tari tradisi yang hidup dan masih berkembang, para penata tari muda mencoba mencari perpaduan antara dua elemen yang berbeda yaitu tradisional dan modern. Kreativitas dan proses penciptaan dari para penata tari muda tersebut juga didukung oleh latar belakang pendidikannya dan pengalaman perjalanan berkeseniannya.

Dalam memodernisasikan karya-karyanya, dapat dilihat pada ide serta gagasan karya tarinya yang ditampilkan pada Parade Tari Daerah Riau 2012 yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Pada Parade Tari Daerah Riau Tahun 2012 ini yang diikuti oleh sebelah kabupaten/kota di Riau, beberapa penata tari muda pada karyanya yang masih memperhatikan interaksi unsur-unsur budaya lokal (daerah setempat) dan ada juga dari beberapa karya tari yang mengusung unsur-unsur budaya daerah lain atau bukan budaya tempatan untuk di paksakan menjadi tampilan budaya daerah lain, yang jelas sangat berbeda dari bentuk maupun nuansa kedaerahannya.

Kabupaten Siak dengan judul tari Kasih Tak Sampai mengangkat sebuah legenda Putri Puyu-puyu dan Ikan Terubuk dengan konsep garapan gerak tari yang bersumber dari motif zapin yang dipadukan dengan silat dan joget. Kabupaten Pelalawan dengan judul tari Riang Pekerja mengangkat sebuah realita kehidupan para pekerja yang garapan geraknya bersumber dari zapin dan lenggang. Kabupaten Inderagiri Hulu dengan judul tari Begawai ide dan gagasannya bersumber dari tradisi begawai yang terdapat pada masyarakat Talang Mamak, karya tari disajikan dengan apik karena ditunjang dengan kualitas penarinya yang sangat baik. Kemudian berturut-turut tampil Kabupaten Rokan Hulu dengan karya tari Monimang Anak, Kabupaten Bengkalis dengan karya tari Menapak Gendang, Kabupaten Inderagiri Hilir dengan karya tari Srikandi Ambung, Kota Pekanbaru dengan karya tari Lang Menari, Kabupaten Rokan Hilir dengan karya tari Sungkek, Kabupaten Kuantan Singingi dengan karya tari Toro, Kabupaten Meranti dengan karya tari Kipas Mengkuang, dan Kabupaten Kampar dengan karya tari Ambu Kajai yang ide dan gagasannya sangat sederhana tapi menarik dalam penyajiannya, hanya kurang dalam proses garapnya.

Saya sebagai salah seorang Tim Pengamat Parade Tari Daerah Riau Tahun 2012 sangat gembira melihat karya-karya yang ditampilkan oleh peserta. Terutama karena karya-karya tari tersebut memberikan alternatif yang bermacam ragam, walaupun usaha pencariannya belum cukup tuntas dan pada konsep gerak tari masih pengaruh-mempengaruhi dengan istilah saya ��kau yang ada disana, juga ada di sini��. Proses penggarapan gerak tari para penata tari muda ini belum terlihat sebagai �kematangan�, tapi masih mengikuti �trend�. Mana gerak-gerak tari yang �populer� di pusat sana atau melihat karya-karya tari pemenang pada Parade Tingkat Nasional kemudian �diambilnya� tanpa diproses dan sesuaikan dengan kondisi budaya setempat terutama kondisi kemampuan penarinya, seperti banyaknya peserta menggunakan gerak hip hop, gerak-gerak akrobatik yang berlebihan dan sering kali berulang-ulang, kadang diambilnya bentuk setengah utuh dari karya tari yang telah ada. Kalau hal ini terus dilakukan oleh pekerja tari ini namanya �pengrajin gerak� bukan penata tari atau koreografer. Karena seorang penata tari atau koreografer dia berbicara tentang ide dan gagasan untuk menghasilkan karya tari yang orisinal kemudian melakukan eksplorasi gerak. Jadi seorang penata tari atau koreografer tidak �memungut/mengambil� gerak-gerak tari yang telah jadi.

Seorang penata tari atau koreografer sebelum membuat karya tari harus melakukan eksplorasi. Apa yang dimaksud dengan eksplorasi? Alm M Hawkins dalam bukunya Creating Through Dance (New Jersey : Princeton Book Company, 1988): bahwa pengertian eksplorasi adalah suatu proses penjajakan, sebagai pengalaman untuk menanggapi obyek dari luar. Eksplorasi meliputi berpikir, berimajinasi, merasakan, dan merespon.

Pada tingkat pengembangan kreativitas, eksplorasi sebagai pengalaman pertama bagi seorang penata tari/penari untuk menjajaki ide-ide, rangsangan dari luar. Eksplorasi-penjelajahan sebuah proses untuk menghasilkan karya yang baik.

Proses penciptaan sebuah karya tari merupakan suatu aktivitas ilham atau sekadar hanya merupakan suatu �tugas�. Yang terpenting seorang penata tari harus memahami sebanyak mungkin tentang bidangnya dan harus sering melakukan ziarah batin dan pemahaman budaya daerah setempat.

Untuk kesekian kalinya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau menyelenggarakan Parade Tari Daerah untuk menghadirkan kreator-kreator tari muda di Provinsi Riau, yang setiap tahunnya mereka �berlomba� untuk mendapatkan tiket mewakili Provinsi Riau ke jenjang nasional - Parade Tari Nusantara - di Taman Mini Indonesia Indah. Bermacam persiapan para penata tari muda untuk mengikuti (seleksi) Parade Tari Daerah di Pekanbaru, ada yang melakukan proses garapannya sangat panjang bahkan ada yang melakukan persiapannya sangat pendek alias dadakan. Ini bisa terlihat dari karya tari yang mereka tampilkan pada malam itu.

Kesempatan menampilkan karya tari dari penata tari muda di Riau adalah satu pertanda, bahwa kreativitas tari generasi muda tidak berhenti. Bagi yang berhasil mendapat predikat terbaik jangan cepat-cepat membusungkan dada, karena forum kesenian seperti Parade Tari bukanlah sebuah ukuran untuk menjadi seorang penata tari atau koreografer handal. Proses berkesenian yang berkesinambungan dan membuat jaringan budaya itu adalah yang paling penting untuk berlanjut atau tidaknya kita berkesenian. Sangat banyak forum-forum tari di Indonesia yang perlu dijajaki oleh para penata tari muda di Riau, seperti Indonesia Dance Festival (IDF), Forum Koreografi Bandung, Pekan Penata Tari Muda Dewan Kesenian Jakarta, dan masih banyak lagi forum-forum tari yang sangat lebih bergengsi ketimbang Parade Tari.

Yang terpenting disadari, untuk melahirkan karya tari yang baik dan bermanfaat tidak hanya cukup dengan ilmu saja. Kejujuran berkarya yang bertanggung jawab untuk melahirkan pribadinya dalam garapan tari membutuhkan proses yang cukup panjang dan peka dengan lingkungan budayanya.

Candralekha, koreografer terkemuka India pernah mengatakan: Sebagai seniman saya tidak melihat tradisi dan modernisasi sebagai dua hal yang terpisah. Bagi saya tugas seorang seniman adalah memodernisasi tradisi melalui proses kreatif, bukan meniru, meminjam, mencangkok, atau menjadi bayang-bayang seni budaya bangsa lain. Seorang seniman harus rajin melakukan ziarah batin guna mencermati diri sendiri, agar memungkinkan tradisi mengalir bebas dalam kehidupan kita kini.

Selamat untuk terus berkarya dan berkarya.


SPN Iwan Irawan Permadi, salah seorang tokoh tari, koreogrfaer dan penari Riau yang terbilang produktif. Bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012

 

[Jejak] Pujangga Agung Tun Sri Lanang


TUN Sri Lanang merupakan seorang sastrawan Melayu. Ia dikenal sebagai penyunting dan penyusun Sulalatus Salatin. Tun Sri Lanang hanyalah gela saja dan nama sastrawan itu adalah Tun Muhammad. Pada waktu penyusunan Sulalatus Salatin ia telah berkedudukan sebagai Bendahara pada Kesultanan Johor.

Tun Sri Lanang dan keluarganya diberi penghargaan khusus di Aceh. Di samping di angkat menjadi Raja di Samalanga dan daerah taklukannya. Keluarganyapun diberi gelar kebesaran dan jabatan oleh Sultan. Seperti gelar Seri Paduka Tuan di Acheh (Daniel Crecelius & EA Beardow, A Reputed Achehnese Sarakata of The Jamalullail Dynasty, JMBRAS, vol 52, 1979 hlm 52). Puteranya Tun Rembau menjadi Panglima Aceh (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu (suntingan Shellabear) 1986 hlm 156). Cucunya anak dari Tun Jenal (Zainal) dikawinkan dengan Sayyid Zainal Abidin dimana nenek Zainal Abidin ini adalah adik kakek sebelah lelaki sultan Iskandar Muda (baca Suzana Hj Othman, Institusi Bendahara Permata Melayu yang Hilang, penerbit Persatuan Sejarah Malaysia, Johor, hlm 181-183).

Perkawinan ini merapatkan hubungan Raja Raja Negeri Melayu dengan Nanggroe Aceh Darussalam (Pujangga Melayu Tun Sri Lanang di samping ahli pemerintahan juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin. Menurut Winstedt, kitab ini dikarang mulai Februari 1614 dan tuntas Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai.

Apabila dibaca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang-pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sebagai berikut; ��Setelah fakir allazi murakkabun �ala jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahdan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani�il - �alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi�l �anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami� tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini Sulalatus Salatin yakni Pertuturan Segala Raja-Raja. (Baca Sulatus Salatin hal 3).

Para ahli berbeda pendapat tentang pengarang sebenarnya kitab ini misalnya Winstedt, menyebut Tun Sri Lanang sebagai penyunting saja. Pendapat ini tidak punya landasan yang kuat, karena Syaikh Nuruddin al Raniri dalam kitabnya Bustanul Salatin pasal ke 12 bab II menyebutkan: ��Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang kitab misrat Sulalatus Salatin, ia mendengar daripada bapanya, ia mendengar dari pada neneknya dan datuknya, tatkala pada hijrat al Nabi salla �llahu �alaihi wa sallama seribu dua puluh esa, pada bulan Rabiul awal pada hari Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan segala raja raja yang kerajaan di negeri Melaka, Johor, Pahang, dan menyatakan bangsa, dan salasilah mereka itu daripada Sultan Iskandar Zulkarnain��.

Pendapat ini lebih menyakinkan penulis apalagi Hj Buyong Adil, dalam bukunya Sejarah Johor menyatakan Tun Sri Lanang selalu berguru pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Assumatrani. Dalam hal ini Syech Nurdin Arraniri tentu kenal baik dengan Tun Sri Lanang.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012

 

Saturday, June 16, 2012

Drama Mitologi Jawa: Gatotkaca Kembar Akan Dipentaskan di Las Vegas

-- Deddy Hidayatullah

PAGELARAN drama sinema mitologi jawa "Gatotkaca" besutan sutradara Mirwan Suwarso kini siap-siap memasuki dunianya yang baru. Pantas disebut demikian, karena pertunjukan kesenian tradisional masyarakat jawa itu berhasil mencuri perhatian salah satu produser musical theater di Las Vegas. Akibatnya, drama tersebut akan ditampilkan di Las Vegas.

    Mirwan sebelumnya telah sukses memberikan gebrakan dunia pertunjukan Indonesia melalui lakon "Jabang Tetuko" (2011), "Gatotkaca Jadi Raja" (2012), "Arjuna Wiwaha" (2012), dan lakon yang baru saja dipentaskan, "Gatotkaca Kembar - The Evil Within". Konsekwensi dari kemajuan itu, Gatotkaca dan teman-temannya akan segera go international.

    "Kini kami sedang menjajaki (lakon ini) akan dibawa ke Las Vegas 2013 atau 2014," kata Mirwan yang ditemui usai pertunjukan "Gatotkaca Kembar - The Evil Within" di The Hall Senayan City, Jakarta, Sabtu (2/6).

    Mirwan mengaku memang sudah mempersiapkan lakon yang berbasis cerita wayang itu untuk go international. Dimulai sejak pertunjukan "Arjuna Wiwaha" yang dikolaborasi menggunakan dialog bahasa Inggris dan menghadirkan indie rocker dari Amerika Serikat, Max Morgan.

    Kemudian pada "Gatotkaca Kembar - The Evil Within" selain kembali memanggil Max Morgan untuk tampil, ia juga menghadirkan artis Hollywood Camille Guaty yang populer melalui serial "Prison Break". Dalam lakon yang berlangsung sekitar satu jam itu juga menggunakan bahasa Inggris yang lebih banyak.

    Pada kesempatan yang sama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu mengatakan kesediaannya sebagai wakil dari pemerintah untuk membantu memfasilitasi kebutuhan yang diperlukan untuk pertunjukan di Las Vegas nanti. "Kita harus bicara dulu dengan teman-teman MSP Entertainment untuk mempelajari apa yang mereka perlukan. Kita pasti akan memfasilitasi misalnya membantu promosi," kata Mari yang mengenakan batik itu.

    "Bangga sekali ya Gatotkaca bisa dipentaskan di luar negeri. Hingga kini masih bisa dibilang masih amat jarang drama wayang akan go international, tetapi Gatotkaca mencoba meyakinkan kemampuan seniman Indonesia. Semoga berhasil," tambah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) itu.

    Mari juga menambahkan, kini Gatotkaca sudah jauh lebih dulu eksis sebelum Superman ada maka sangat mungkin untuk bisa menampilkannya di Las Vegas.

    "Menurut saya di Las Vegas menang di teknologi, kalau kita dari segi kreatifitas tidak akan kalah. Karena iu, kami akan mendukung. Apalagi saya juga mendapat info, bahwa pementasan drama Gatotkaca di Las Vegas akan dimeriahkan dengan keterlibatan artis Hollywood. Saya bangga mendengarnya," katanya.

    Mirwan Suwarso membenarkan info yang diterima Menparekraf. Kepada sejumlah rekan seniman di Taman Ismail Marzuki pekan lalu, Mirwan menegaskan bahwa dirinya telah mendapat permohonan dari salah seorang artis Hollywood yang ingin sekali berakting di pertunjukan drama Gatotkaca di Las Vegas.

    "Info yang diterima Bu Menteri Pariwisata memang betul. Saat kami panggungkan di Las Vegas nanti akan dimeriahkan dengan keterlibatan artis Hollywood. Saya mendukung keinginan artis itu dan sedang menyiapkan peran khusus untuknya," jelas Mirwan.

    Artis Hollywood yang sudah mengajukan permohonan ingin berakting dalam pertunjukan drama Gatotkaca adalah Camille Guaty. Artis ini selain dikenal sebagai bintang film dan telah main dalam sejumlah film di Hollywood juga dikenal sebagai penari.

    Hebatnya, Camille Guaty ternyata telah pandai menari Jawa yang dipelajarinya di Jakarta dan di Amerika Serikat melalui beberapa penari Indonesia disana serta beberapa artis penari Indonesia yang datang ke Amerika Serikat.

    Dalam pertunjukan drama Gatotkaca Kembar dia juga akan menarikan beberapa nomor tarian Jawa. "Karena kemampuannya itulah, pada pertunjukan "Gatotkaca Kembar" saya dengan penuh semangat akan melibatkan artis Hollywod itu," kata sutradara Mirwan Suwarso.

    Cukup sulitkan drama mitologi Jawa Gatotkaca Kembar itu? Ditanya demikian, Mirwan langsung menganggukkan kepalanya.

    "Cukup sulit, soalnya, tangan dan mata saya harus bergerak bersamaan," kata Mirwan lagi pada sesi latihan drama tersebut di Senayan, Jakarta, Senin lalu. Dalam drama sinema "Gatotkaca Kembar" yang rencananya dipentaskan pada 2 Juli mendatang, Camille yang memerankan Batari Durga, harus meliuk-liuk bagaikan ular.

    Artis yang pernah bermain di film seri "Prison Break" dan film "Ghost of Girlfriend's Past" itu mengaku senang sekali bisa bermain dalam drama yang mengangkat kisah budaya lokal.

    Camille, yang baru pertamakali datang dan berakting sebagai artis film di Indonesia, punya waktu lima hari untuk mendalami perannya.

    "Saya tetap yakin bisa memerankannya dengan baik, lihat saja nanti," kata Camille. Sepanjang pertunjukan tersebut, Camille akan berdialog dan menyanyi dengan Bahasa Inggris.

    Dia mengaku bisa bermain drama di Indonesia berkat ajakan Max Morgan, seorang penyanyi rock asal Amerika yang pernah bermain dalam drama garapan Mirwan Suwarso di Indonesia.

    Di "Gatotkaca Kembar", Max kembali akan bermain. Kali ini dia bermain sebagai penjahat dan tubuhnya akan dicat hijau.

    "Jadi jahat itu memberikan banyak kesenangan buat saya," katanya seraya tertawa.

    Selamat buat Mirwan Suwarso!

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 16 Juni 2012

Pendidikan Asingkan Budaya Bernalar

-- Iwan Pranoto

DALAM pembangunan republik ini, sejak 1970-an pendidikan kerap dianggap kemewahan, bukan kebutuhan. Penyediaan pendidikan bermutu dinomorduakan dibanding penguatan ekonomi. Kebijakan seperti ini berbahaya.

Budaya pendidikan dunia memodelkan pembangunan berdasarkan intelektualitas. Karena sumber daya alam terbatas serta jagat semesta rentan terhadap gangguan, pembangunan berkelanjutan perlu berpusat pada intelektualitas. Implikasi dari model ini, masyarakat belajar serta budaya belajarnya yang tumbuh mengakar jadi penggerak utama pembangunan setiap negara.

Suka atau tidak, pendidikan merupakan lokomotif terdepan pembangunan. Kesejahteraan bangsa serta kekokohan ekonomi bergantung mutlak pada pendidikan. Ekonomi kokoh dapat dicapai jika pendidikan kuat.

Penerapan model ini butuh prasyarat: tujuan pendidikan negara harus dirumuskan dengan akurat. Kecakapan yang diperkirakan dibutuhkan di masa depan harus dikenali dan dianalisis. Dari sana kemudian dibuat standar pendidikan. Oleh karena itu, pertanyaan utama dan pertama yang mutlak dikaji pemimpin negara adalah: ”Kecakapan strategis apa yang perlu dibelajarkan?”

Kecakapan abad ke-21

Di pengujung abad ke-20, dua peneliti—Richard J Murnane (Harvard Kennedy School) dan Frank Levy (MIT)—melakukan riset bersama guna menjawab pertanyaan di atas. Murnane (pakar kebijakan pendidikan) dan Levy (pakar ekonomi urban) mengkaji kecenderungan jenis kecakapan yang kian dibutuhkan dan tak dibutuhkan dunia kerja.

Berdasarkan data tahun 1969-1998, mereka mengungkapkan bahwa kecakapan memecahkan masalah tak rutin dan kecakapan berkomunikasi kompleks semakin dibutuhkan. Pada saat komputer serta teknologi informasi semakin berdaya, banyak masalah rutin dapat dipecahkan oleh mesin. Sebaliknya, manusia justru semakin dibutuhkan pada pemecahan masalah tidak rutin. Kecakapan kedua yang juga semakin dibutuhkan adalah kecakapan berkomunikasi kompleks, seperti kecakapan seorang manajer dalam memotivasi stafnya.

Hal yang paling drastis menurun kebutuhannya adalah kecakapan kognitif rutin. Kecakapan seperti menghafal serta kecakapan berpikir tingkat rendah semakin tak diperlukan.

Berdasar penelitian itu, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merumuskan Programme for International Student Assessment (PISA) guna menjawab pertanyaan: ”Seberapa siap pelajar di dunia di akhir masa wajib sekolahnya, yakni umur 15, untuk menguasai kecakapan abad ke-21?”

Untuk Indonesia, hasilnya memang buruk. Ini dapat dibaca di situs OECD. Mengapa pelajar kita begitu buruk pencapaiannya di PISA? Kita pasti sepakat anak-anak kita tidak bodoh. Lalu, mengapa hasilnya buruk?

Jawabnya sederhana. Anak- anak kita telah ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah. Analoginya, anak-anak kita seperti dibekali kompas yang rusak untuk berpetualang. Mereka dibuat fokus mengejar kecakapan kedaluwarsa, seperti kognitif rutin itu. Sebaliknya, anak-anak kita sangat jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21, seperti bernalar tingkat tinggi.

Insentif bagi pelajar yang berhasil mengembangkan kecakapan modern tersebut justru nyaris tak terdengar. Bukan maksud tulisan ini mengatakan bernalar tingkat rendah tak diperlukan lagi, tapi harus ada keseimbangan antara kecakapan bernalar tingkat rendah dan tingkat tinggi.

Sampai kini sangat sulit meyakini adanya upaya serius dan sistematis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menindaklanjuti hasil PISA guna meningkatkan pencapaian dua kecakapan tadi. Rangkaian kebijakan pendidikan nasional yang dicanangkan justru kerap bertolak belakang dengan upaya penguasaan dua kecakapan itu.

Budaya belajar

Kecemasan sebagai motivasi atau pemaksa belajar tentu sangat bertentangan dengan upaya mewujudkan masyarakat belajar yang sepatutnya senang belajar dan menghargai proses bernalar. Penggunaan kecemasan sebagai motivator belajar juga bertentangan dengan teori belajar, yang meletakkan motivasi intrinsik sebagai prinsip utama dalam proses belajar untuk memahami.

Kesukacitaan belajar dan penghargaan pada proses bernalar adalah jiwa masyarakat belajar. Sebagai tambahan, pemanfaatan informasi di masa ini jauh lebih bernilai dibandingkan nilai informasinya sendiri. Masalah penyimpanan dan sistem pencarian informasi sudah dipecahkan oleh Google. Sungguh absurd jika pelajar kita justru difokuskan mengejar kecakapan yang sudah dapat dikerjakan mesin.

Ironisnya, praktik pendidikan di republik ini justru berpusat pada kecakapan seperti mesin itu. Proses bernalar dengan sengaja diasingkan dari pendidikan. Dalam pembelajaran matematika, khususnya, bukannya bernalar tingkat tinggi yang dibelajarkan di ruang kelas, melainkan justru kecakapan kedaluwarsa, seperti berhitung cepat dan menghafal rumus tanpa makna.

Alasan klise bahwa para guru kita tak mampu membelajarkan kecakapan bernalar mungkin saja ada benarnya, tetapi jika guru mampu pun, mereka tidak akan membelajarkan kecakapan bernalar tingkat tinggi. Mengapa? Salah satunya karena model dan sistem ujian nasioanl (UN) kita.

Sistem UN yang dominan pada kecakapan menghafal informasi semata ini jadi alasan sahih mengapa para pelajar kita, juga gurunya, menghindari proses bernalar tingkat tinggi. Siswa dan guru akan bertanya: mengapa perlu memahami bagaimana membuktikan Dalil Pitagoras, jika UN tak pernah mengujinya. Yang dituntut di UN toh sekadar bagaimana memasukkan angka- angka ke rumus a2+b2>c2'>.

Akibatnya, siswa menjadi sangat lemah dalam pemahaman matematikanya serta kecakapan bernalarnya. Jika pengasingan budaya bernalar melalui UN bermutu buruk ini dilanjutkan, bangsa kita sangat mungkin akan kesulitan melibatkan diri dalam pembangunan dunia di masa depan. Dampaknya, ekonomi kita pun akan hancur.

Untuk menyuburkan kembali budaya bernalar, perlu gerakan penyadaran bersama tentang pentingnya bernalar pada era sekarang. Perguruan tinggi di seluruh daerah dapat menciptakan forum semacam ”Akademi Sabtu”, tempat guru bersama akademisi menyegarkan budaya bernalar serta meningkatkan kemampuan guru membelajarkan kecakapan bernalar.

Sebelum melanjutkan penggunaan UN untuk kelulusan, Kemdikbud harus membenahi hal berikut. Standar isi dibenahi dengan tujuan menyiapkan pelajar menguasai kecakapan modern. Lembaga pendidikan guru perlu menekankan penguasaan konsep dan teori belajar, bukan administrasi mengajar.

Sistem UN Matematika perlu dirombak agar mampu mengukur kecakapan bernalar tingkat tinggi. Misalnya, dengan menambahkan daftar rumus yang dibutuhkan dan dilekatkan pada berkas ujian. Hal seperti ini diterapkan pada berbagai tes profesional. Konsekuensinya, UN akan melibatkan tuntutan yang lebih bermakna ketimbang sekadar ”tahu” atau ”ingat” rumus. Yang juga sangat penting, berbagai pernyataan Kemdikbud harus mengirimkan pesan pentingnya budaya bernalar dan belajar.

Iwan Pranoto, Guru Besar ITB

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Juni 2012

Friday, June 15, 2012

Pemerintah Lalai Awasi Peredaran Buku di Sekolah

-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna

JAKARTA, KOMPAS.com — Maraknya peredaran buku-buku sekolah dengan konten dewasa merupakan dampak dari lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Pasalnya, sebelum masuk ke lingkungan sekolah, setiap buku teks dan nonteks wajib lolos dari tim penilai di Pusat Kurikulum dan Perbukuan.


Kepala SD Cempaka Arum Ahmad Taufan menunjukkan buku yang memuat konten yang tidak pantas bagi pelajar SD, Jumat (8/6/2012) di Kota Bandung, Jawa Barat. (Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo)

"Pemerintah lalai dalam pengawasan peredaran buku," kata Sekretaris Jendral Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listiyarti.

Ia menambahkan, setiap buku yang akan diedarkan di sekolah harus lolos dari tim penilai di Kemdikbud ataupun pemerintah darah. Bila kemudian masih banyak buku kontroversial yang bisa beredar di sekolah, maka pemerintah dan pemda seharusnya ikut bertanggung jawab dengan menarik buku-buku tersebut.

"Saya tidak menyalahkan penulis atau penerbitnya. Ini jelas dan murni kelalaian pemerintah," pungkasnya.

Seperti diberitakan, beberapa waktu terakhir ada beberapa buku dengan konten dewasa dan mengandung unsur kekerasan yang masuk ke perpustakaan SD. Pemerintah pusat sendiri menolak bertanggung jawab. Mereka berkilah, semua terjadi atas tanggung jawab pemerintah daerah dan sekolah.

Di lain sisi, Forum Lingkar Pena (FLP) yang turut menyumbang beberapa buku kontroversial itu menegaskan jika buku yang beredar telah lolos seleksi dari Puskurbuk Kemdikbud. Mereka menduga, ada kesalahan saat distribusi ke sekolah. Pasalnya, buku-buku yang diterbitkan diperuntukkan anak-anak usia remaja, bukan tingkat SD.

Beberapa judul buku yang menuai kontroversi itu adalah Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Tambelo: Kembalinya Si Burung Camar, Tambelo: Meniti Hari di Ottawa, Syahid Samurai, Festival Syahadah, dan Sabuk Kiai. Sampai saat ini, sejumlah daerah telah menarik buku-buku tersebut dari perpustakaan dan peredaran agar tidak dikonsumsi oleh siswa SD.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Jumat, 15 Juni 2012

Thursday, June 14, 2012

[Diskusi Buku] Atmakusumah: Buku Tidak Boleh Salah

-- Tri Agung Kristanto & Marcus Suprihadi

JAKARTA, KOMPAS.com- Dalam penulisannya, buku tidak boleh salah sama sekali. Apalagi, dalam penulisan nama tokoh, karena buku akan menjadi catatan sejarah yang berusia panjang dan menjadi acuan.


Atmakusumah Astraatmadja bersama istrinya, Sri Rumiati Atmakusumah, saat berbicara dalam diskusi penulisan buku di Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Kamis (14/6/2012). KOMPAS/TRI AGUNG KRISTANTO

Demikian ditegaskan tokoh pers dan penulis buku Atmakusumah Astraatmadja dalam diskusi penulisan buku dan indeks yang diadakan Penerbit Buku Kompas di Jakarta, Kamis (14/6/2012).

Atmakusumah berbicara bersama dengan istrinya, yang juga seorang penulis buku dan pustakawati, Sri Rumiati Atmakusumah.

Atmakusumah menuturkan, ia masih bisa menerima jika ada kesalahan penulisan nama di koran atau majalah. "Kesalahan penulisan nama di koran atau majalah bisa segera diperbaiki pada terbitan berikutnya, tetapi kalau di buku, kapan perbaikannya? Bisa beberapa tahun kemudian. Karena itu, tidak boleh ada kesalahan penulisan di buku," katanya.

Sri Rumiati menuturkan, jika ada keraguan dalam penulisan sebuah buku, apalagi penulisan nama, sebaiknya dikonfirmasi pada pemilik nama itu atau keluarganya, atau dikonfirmasikan pada sumber lain.

Dicontohkannya, nama Presiden pertama Republik Indonesia selama ini dituliskan dengan Soekarno. Namun, ternyata ia tak keberatan dituliskan dengan Sukarno, sesuai ejaan baru. Nama Sultan Hamengku Buwono IX pun tak keberatan dituliskan dengan ejaan baru, bukan ejaan lama.

Atmakusumah dan Sri Rumiati juga menyoroti masih sering terjadi kesalahan penulisan indeks dalam buku di negeri ini.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Kamis, 14 Juni 2012

Sunday, June 10, 2012

[Buku] Pengisahan Tionghoa di Indonesia


Data buku:

Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri. Afthonul Afif. Kepik, Depok, 2012. xx + 352 halaman

KITA mengingat tragedi 1998 sebagai halaman buram tentang arus sejarah Tionghoa di Indonesia. Stigmatisasi dan aksi kekerasan menimbulkan khianat demokrasi. Perbedaan dan toleransi ditepikan nafsu politik-ekonomi. Kondisi itu menampilkan luka dan duka Indonesia. Sejarah panjang kehadiran Tionghoa seolah mengalami pengaburan. Kita kerap mengenang sejarah itu dalam pusaran politik. Dominasi narasi politik pun meminggirkan pengetahuan publik tentang ekspresi iman kaum Tionghoa.

Buku ini memberi ingatan tentang narasi iman dan konstruksi identitas kaum Tionghoa. Kita bisa mengingat sosok Cheng Ho sebagai pemula dari selebrasi iman. Tokoh moncer itu telah mengabarkan Islam di Nusantara sejak abad XV. Identitas sebagai muslim menjadi rujukan historis pertautan kaum Tionghoa di Nusantara. Perjumpaan iman dan kultural dengan pelbagai etnis di Nusantara memberi gairah toleransi. Jejak toleransi ini turut membentuk narasi Nusantara identik sebagai mozaik identitas mengacu ke pelbagai kiblat peradaban dan agama.

Lacak sejarah memberi peta kesadaran atas peran Tionghoa di Indonesia. Afirmasi Islam di kalangan Tionghoa memunculkan julukan "peranakan". Julukan ini mengacu ke pembedaan pandangan kolonial untuk Tionghoa muslim dan Tionghoa bukan muslim. Kesejarahan turut dipengaruhi oleh kebijakan kolonial. Identitas menjadi urusan pelik. Kaum Tionghoa mengalami dilema sebagai konsekuensi iman, politik, ekonomi. Identitas pelik terus bersambung ke abad XX saat muncul agenda nasionalisme dan modernisasi di Indonesia. Pengakuan diri sebagai Tionghoa muslim masuk ke narasi-narasi besar.

Barangkali kita lupa selembar foto bersejarah di tahun 1938. Foto itu menampilkan Hamka, Soekarno, Karim Oei. Mereka memang tampak akrab di foto. Mereka pun memiliki ikatan persahabatan di masa kolonialisme. Kita mengenal mereka sebagai simbol perjumpaan perbedaan. Hamka adalah tokoh agama dan pujangga asal Sumatera. Soekarno adalah tokoh pergerakan dengan seruan nasionalisme. Karim Oei adalah tokoh Tionghoa dengan manifestasi keislaman dan keindonesiaan. Mereka berjumpa untuk mengonstruksi identitas di negeri terjajah. Dialog dan toleransi menjadi modal kolektif demi mengisahkan Indonesia.

Selembar foto lama itu adalah harmoni. Kita memandang sejarah tanpa curiga politik pragmatis. Para penggerak bangsa justru mengabarkan tentang hasrat hidup bersama tanpa diskriminasi. Rajutan sejarah kaum Tionghoa dalam arus konflik di Indonesia memang memicu sengketa tafsir. Klaim agama, politik, ekonomi, kultural kerap mengeraskan perbedaan. Junus Jahja selaku tokoh Tionghoa muslim memberi anjuran untuk mengatasi konflik. Agenda asimilasi memberi sekian pilihan.

Afthonul Afif menempatkan kesejarahan identitas menjadi urusan genting bagi kaum Tionghoa untuk menjadi Indonesia. Perbedaan kebijakan politik kolonial, Orde Lama, Orde Baru membuat rujukan iman bergerak dalam jebakan dominasi dan diskriminasi. Tragedi 1965 dan 1998 kentara menjadikan kaum Tionghoa sebagai kambing hitam atau korban melalui perspektif politik dan curiga ekonomi-kultural.

Keruntuhan Orde Baru (1998) memberi sengatan makna identitas menjadi Indonesia. Orang-orang Tionghoa muslim mulai mengajukan pertanyaan reflektif mengenai jati diri di Indonesia. Mereka membuat selebrasi keindonesiaan dengan tumpuan iman dan penghampiran pelbagai ekspresi politik-kultural demi menguburkan stigmatisasi. Gairah demokrasi semakin menguatkan kebebasan mengaktualisasikan identitas sebagai muslim dan manusia Indonesia.

Buku tebal ini bisa jadi rujukan untuk membuka halaman-halaman sejarah dan kebermaknaan Tionghoa muslim di Indonesia. Pilihan menguak dan menarasikan arus pembentukan identitas kalangan Tionghoa muslim membuktikan ada sensibilitas reflektif. Afthonul Afif mengingatkan bahwa situasi Indonesia usai Orde Baru memang mengalirkan inklusivitas atas narasi identitas Tionghoa Muslim. Kondisi itu justru memberi aksentuasi tentang agenda asimilasi dan kemestian menjadi Indonesia. Peleburan identitas menjadi Indonesia adalah konsekuensi untuk mengamalkan diri demi agenda-agenda Indonesia abad XXI. Begitu.

Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Juni 2012

Berbual Sunting Kunni Masrohanti

-- Agus Sri Danardana

BAHWA karya sastra merupakan visi dan sekaligus pandangan dunia (world-view) pengarangnya, rasanya bukanlah pendapat yang mengada-ada. Karya sastra lahir tak dari kekosongan, tapi karena diciptakan pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu (Luxemburg, et al, 1984:90). Tujuan pengarang menciptakan karya sastra tentu bermacam-macam. Di samping hendak berkomunikasi dengan pembaca, bisa jadi, pengarang juga hendak menghibur pembaca, menyindir pemerintahan yang sedang berkuasa, atau hanya sekadar berusaha mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bahkan, ada pula pengarang yang menciptakan karya sastra berdasar pesanan penerbit yang memberinya honororarium.

Karena diciptakan pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu, karya sastra bersifat multidimensi dan multi-interpretasi. Pengarang menciptakan karya sastra bukan sekadar merangkai kata-kata tak bermakna, melainkan berbicara tentang kehidupan, baik kehidupan secara realitas yang ada dan nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan yang hanya terjadi dalam gagasan, angan-angan, atau cita-citanya.

Dalam salah satu esainya, ‘’Genetic Structuralism in The Sociology of Literature’’, Lucien Goldman (1973:118-119) menjelaskan, ada tiga kemungkinan yang dilakukan seorang pengarang, termasuk Kunni Masrohanti tentunya, dalam menghadapi realitas lingkungannya: (1) mencatat dan memaknai, (2) bersikap dan bereaksi, serta (3) mengubah dan menciptakan realitas baru dalam karyanya. Senada dengan hal itu, Kuntowijoyo (1987:127) pun menulis, ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication) dan menciptakan kembali realitas (mode of creation).

Atas dasar itu, pantas diduga bahwa dalam Sunting (2011) karya Kunni Masrohanti pun terdapat tanggapan atas realitas yang terjadi di berbagai sudut Bumi Lancang Kuning, tanah kelahiran yang telah membesarkannya. Menurut penulis, setidaknya terdapat 15 puisi yang memperlihatkan hal itu, yakni berjudul (1) ‘’Di Perahu Rahim’’, (2) ‘’Fahamkan Nanana’’, (3) ‘’Himne Akhir Abad’’, (4) ‘’Igau Riak Tasik Gemilang’’, (5) ‘’Kesaksian Langkana’’, (6) ‘’Pulau Nafsu’’, (7) ‘’Si Matin, Itulah Namanya’’, (8) ‘’Dari Dua Satu’’, (9) ‘’Dari Dua Dua’’, (10) ‘’Dari Dua Tiga’’, (11) ‘’Lancang Tuah’’, (12) ‘’Sabotase Satu’’, (13) ‘’Sabotase Dua’’, (14) ‘’Sabotase Tiga’’, dan (15) ‘’Kemana Kaubawa Semangat Itu’’.

Apa dan bagaimana tanggapan itu terepresentasikan dalam puisi-puisi Kunni, mari kita awali dengan membaca ‘’Di Perahu Rahim’’ berikut ini:

di perahu rahim
lakilaki perempuan lakilaki perempuan
lakilaki
prrrraaaakkk
tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim
menghening dengus sepasang pengantin
yang telah sudah berseraga
menghasut sahut damba
tak jalang di tepi jalan raya
dekat senapelan plaza

Pekanbaru 1999

Sebagai penyair, aktivis perempuan, dan jurnalis, Kunni tak hanya memiliki kepekaan atas realitas lingkungannya, tapi juga memiliki daya ungkap (keterampilan mengutarakan) yang khas. Di samping berkisah tentang peristiwa yang terjadi di sebuah tempat: hubungan intim lain jenis, ‘’Di Perahu Rahim’’ juga berkabar bahwa peristiwa seperti itu bukan lagi sebuah rahasia (dapat diketahui dengan mudah oleh umum) karena dilakukan secara terbuka di tepi jalan raya dekat Senapelan Plaza (Pekanbaru). Mereka (laki-laki dan perempuan itu), bahkan, melakukannya seperti sepasang pengantin: tak jalang, menghasut sahut damba. Semuanya itu disampaikan Kunni secara langsung (to the point), tanpa basa-basi ala wartawan: lakilaki perempuan lakilaki perempuan/lakilaki/prrrraaaakkk/tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim.

Sebagai sebuah informasi, bisa jadi, peristiwa yang terkisah dalam ‘’Di Perahu Rahim’’ tak lagi mengejutkan banyak orang. Akan tetapi, pun besar kemungkinan banyak orang yang tak menyangka bahwa, di samping sudah sedemikian vulgar, peristiwa itu terkisah dalam ‘’Di Perahu Rahim’’. Judul puisi itu (yang tak langsung menyebut Senapelan Plaza) justru memberi kebebasan pada pembaca untuk ‘meliarkan’ asosiasinya. Ini bersesuaian dengan pendapat Prancis Mallarme (dalam Damono, dkk., 2010:3) bahwa memberi nama suatu objek berarti menghilangkan tiga perempat kenikmatan sebuah puisi, yang semestinya diperoleh dari kepuasan menebak sedikit demi sedikit. Membangkitkan sugesti, menghadirkan rasa, itulah yang menggairahkan imajinasi.

Cara ungkap seperti itu membangkitkan ingatan pada puisi-puisi simbolis dan imajis yang pada umumnya menghindari pemikiran dan uraian abstrak. Beda dengan puisi-puisi romantis (yang menyorot fakta sosial melalui kacamata rasionalitas dan cenderung menekankan pada perasaan), misalnya, puisi-puisi simbolis dan imajis mengaburkan batas antara rasionalitas dan imaji, meleburkan observasi sosial dengan sikap kritis yang intuitif melalui sugesti simbolik yang unik, personal, dan kompleks (Budianta dalam Damono, dkk., 2010:11). Di samping penyampaiannya cepat dan jelas, tanpa komentar (clear quick rendering(s) of particular without commentary), Kunni juga menggunakan pencitraan melalui sinestesia, pencampuran satu jenis penginderaan dengan penginderaan lainnya: lihatan (lakilaki perempuan lakilaki perempuan/lakilaki), dengaran (prrrraaaakkk), kembali ke lihatan (tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim).

Peristiwa/kejadian serupa ditampilkan Kunni dalam ‘’Kesaksian Langkana’’ dan ‘’Igau Riak Tasik Gemilang’’. Langkana (nama sebuah pulau di Kepulauan Riau, dekat Singapura) dan Tasik Gemilang (nama sebuah jembatan di Inhil), setidaknya bagi Kunni, telah menimbulkan keresahan. Entah apa yang diresahkan, yang jelas Langkana dan Tasik Gemilang kini jadi tempat berlibur (mencari hiburan) bagi banyak orang, terutama turis asing: Singapura dan Malaysia (Langkana) dan anak-anak muda (Tasik Gemilang). Sebagaimana layaknya tempat hiburan lainnya, di kedua tempat itu pun sudah tak lagi dijajakan hiburan tradisi (Melayu), tapi hiburan modern (asing) yang menjurus ke pergaulan bebas.

Kesaksian serupa terdapat dalam ‘’Si Matin Itulah Orangnya’’. Sesuai judulnya, sajak itu berkisah tentang perjalanan hidup si Matin sejak sebelum jadi pelacur murahan hingga setelah jadi pelacur gedongan. Menurut si empunya cerita, si Matin itu kini jadi ‘mami’ di sebuah perusahaan yang bernama Golden Million. Di manakah perusahaan itu? Entahlah. Yang pasti sajak itu bertitimangsa: bs, 1999.

Jika dalam sajak-sajak yang telah disebut tadi keterlibatan si aku lirik (Kunni) baru sebatas sebagai pencatat dan/atau penggalau, dalam ‘’Pulau Nafsu’’ si aku lirik sudah terlibat langsung (ikut merasakan) peristiwa yang dikisahkan. Bagi si aku lirik, di hampir seluruh pelosok negerinya telah berkembang praktik-praktik prostitusi bebas, bukan sebuah dongengan lagi. Itu benar-benar nyata dan dilihatnya sendiri.

Atas kenyataan itu, si aku lirik benar-benar bersedih: aduh sun/aku menangis risau dikepung kelamin/takut jatuh di jalan berlumpur. Meskipun demikian, sebagai orang yang sangat mencintai negerinya (lihat bait 1), si aku lirik tetap berupaya melakukan rehabilitasi: akan kupunguti kelamin kelamin itu satu persatu/kukembalikan pada maimunah, aisyah, amoy, acong/joko dan siapa saja yang/kehilangan. Bahkan, jika mereka malu kan kumasukkan dalam saku baju/dan celanaku/ atau di mana saja di sekujur tubuhku sehingga mataku jadi berkelamin/tanganku berkelamin kakiku berkelamin/hidungku dadaku telingaku semua jadi berkelamin, si aku lirik masih punya harapan: jaga dirimu kawanku/sebab kau adalah kerinduanku pada yang lain.

Kecintaan dan kepedulian Kunni atas nasib masyarakat negerinya juga tampak pada ‘’Fahamkan Nanana’’, ‘’Himne Akhir Abad’’, ‘’Lancang Tuah’’ dan ‘’Ke mana Kaubawa Semangat Kami’’. Keempatnya, meski ditulis secara berbeda, memiliki semangat yang sama: bernada protes.

Bagi ‘pembaca’ Riau yang baik, sekalipun tak tereksplisitkan, informasi yang hendak dikabarkan oleh ‘’Fahamkan Nanana’’ itu dapat dengan mudah dipahami. Bahkan, ‘pembaca’ Riau yang baik pasti sudah bisa menebak pada siapa protes itu ditujukan. Begitupun bagi si aku lirik, semua program untuk Riau (baik yang diucapkan maupun yang ditulis) hanyalah dongengan janji-janji, seperti nanana, meskipun sudah diucapkan bertahun-tahun, tetap tak bermakna dan tak terpahami. Mengapa? Karena tak sebuah keranda pun mengusung sepi faham kami, katanya.

Catatan buram lainnya dapat ditemukan dalam ‘’Himne Akhir Abad’’. Dengan penuh keparadoksan, sajak itu memaparkan ketragisan. Kata himne ‘gita puja; lagu pujian’ (Endarmoko, 2007:236) yang jadi bagian judul sajak itu sangat tepat digunakan untuk membangun suasana sehingga ketragisan yang terdedah dapat tersaji secara khidmat. Sepintas sajak itu memang menyodorkan suasana riang dan cenderung glamor, tapi di balik itu kemurungan dan ketragisan yang terjadi.

Berlimpahnya makanan ternyata justru menimbulkan rasa ‘kenyang’ yang lain (muak) karena makanan itu terbuat dari cacahan daging saudara-saudaranya. Begitu pula, melimpahnya minuman ternyata tak mampu membangkitkan rasa haus karena minuman itu terbuat dari  darah dan air mata mereka. Karena itu, menurut si aku lirik, himnelah yang pantas didendangkan di akhir abad (2000 lalu), bukan nyanyian.

Begitupun dalam ‘’Lancang Tuah’’ dan ‘’Ke mana Kaubawa Semangat Kami’’, catatan buram itu makin menebal. Dalam ‘’Lancang Tuah’’, misalnya, si aku lirik bahkan meragukan pengakuan Indonesia terhadap Lancang Tuah (Riau):

sumpah tuah
siapa kuasai jiwamu
acuh dan sudi siapa hampiri hatimu
kita mereka
ataukah indonesia yang tak pernah jadi ibumu.

Keraguan itu terasa wajar karena didasari kesaksian si aku lirik atas keberadaan Tuah bahwa merahmu telah menjadi hitam/kuningmu telah menjadi legam/hijaumu telah menjadi kusam di awal sajak, yang kemudian berlanjut pada pertanyaan: siapa mencarimu/siapa mencurimu/siapa menggalimu, sebelum ditingkatkan menjadi sebuah sumpah dan pertanyaan retoris, pun dengan jawaban penuh keraguan: kita, mereka, atau Indonesia.

Di samping 9 puisi tadi, masih ada 6 puisi Kunni lagi yang belum dibicarakan. Ke-6 puisi itu sengaja dibicarakan belakangan karena unik: beda dengan puisi-puisi Kunni lainnya. Ke-6 puisi itu, dilihat dari judulnya, diturunkan dari dua topik/judul: dari dua dan sabotase, masing-masing menjadi tiga puisi, yakni (1) ‘’Dari Dua Satu’’, (2) ‘’Dari Dua Dua’’, (3) dan ‘’Dari Dua Tiga’’, serta (4) ‘’Sabotase Satu’’, (5) ‘’Sabotase Dua’’, dan (6) ‘’Sabotase Tiga’’.

Dibanding sembilan puisi yang telah dibicarakan terdahulu, dalam ke-6 puisi itu terlihat lebih jelas sikap Kunni atas Bumi Lancang Kuning. Dalam (1) ‘’Dari Dua Satu’’, (2) ‘’Dari Dua Dua’’, (3) dan ‘’Dari Dua Tiga’’, misalnya, terlihat dengan jelas sikap Kunni terhadap negara: Indonesia. Pada mulanya (dalam ‘’Dari Dua Satu’’), sekalipun darah kental mengalir dari kening riauku di kampung ini, Kunni masih sudi berdendang lagu ‘’Syukur’’: tanah air pusaka/indonesia merdeka/syukur aku sembahkan/kehadiratmu tuhan, sebelum menutupnya dengan pernyataan: sebenarnya aku mencintaimu indonesia. Kecintaan terhadap Indonesia itu kemudian memudar karena Kunni kesal sering menyaksikan ketidakjujuran, kebiadaban, dan ketidakadilan (pemerintah pusat, Indonesia) terhadap Riau.

Sementara itu, dalam ‘’Sabotase Satu’’, ‘’Sabotase Dua’’, dan ‘’Sabotase Tiga’’, sikap Kunni terlihat makin tegas. Secara metaforis, ‘’Sabotase Satu’’ dan ‘’Sabotase Dua’’ mengandaikan suasana kritis/genting yang dialami aku (Sa) dan saudara kembarnya (Si). Karena sudah bosan berada di rahim ibu, mereka ingin segera dilahirkan. Keinginan itu selalu ditolak sang ibu sehingga, untuk mengurangi kebosanan, Sa sempat menjalin hubungan dengan Si dan melahirkan Su. Sebagai akibatnya, karena rahim ibu makin sempit, mereka pun makin terhimpit dan terus mendesak untuk segera dilahirkan. Sekalipun demikian, sang ibu tetap bersikeras. Simbolisasi yang unik, personal, dan kompleks seperti itu pada awalnya bisa jadi akan membingungkan banyak orang. Siapakah tokoh-tokoh dalam puisi Kunni itu (Ibu, Ayah, Sa, Si, dan Su), misalnya, sulit ditebak. Namun, setelah disebutkannya 32 tahun kalian kukandung, kebingungan itu sedikit demi sedikit dapat dikurangi.

Sudah jadi pengetahuan umum, (bagi bangsa Indonesia) angka 32 identik dengan masa pemerintahan Orde Baru, sebuah rezim yang oleh kebanyakan orang (terutama kaum reformis) dianggap telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Berbekal pengetahuan itu, dengan demikian, pembaca akan segera dapat menduga bahwa (melalui puisinya itu) Kunni sesungguhnya sedang mengalegorikan penderitaan di masa pemerintahan Orde Baru. Penderitaan siapakah itu? Silakan menduga-duga. Yang pasti, kecuali ayah, semua tokoh dalam puisi itu menderita.

Begitulah, sebagai jurnalis, aktifis, dan perempuan penyair (sekaligus ibu rumahtangga), Kunni Masrohanti tak hanya memiliki kepekaan, tapi juga memiliki sikap kritis dan daya ungkap yang intuitif terhadap lingkungan dan masyarakatnya (Bumi Lancang Kuning). Sikap kritis dan daya ungkap yang intuitif itu, karena dibangun melalui sugesti simbolik yang unik, personal, dan kompleks, sering kali membuat pembaca terkendala dalam mengapresiasi puisi-puisinya. Pun dalam tulisan ini, siapa yang dimaksud Sun (dalam ‘’Pulau Nafsu’’) dan Tan (dalam ‘’Dari Dua Dua’’) serta Si, Su, dan Sa (dalam ‘’Sabotase Satu’’, ‘’Sabotase Dua’’, dan ‘’Sabotase Tiga’’), misalnya, hingga tulisan ini ditutup belum didapat jawabnya.

Pekanbaru, Maret 2012


Agus Sri Danardana, pengamat dan peminat sastra. Sebagai Kepala Balai Bahasa Riau, esai-esainya kerap diterbitkan di media massa dan bermastautin di Kota Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Juni 2012

Jujur Berkarya (Usaha Membaca Karya Sastra)

-- Muhammad Hanif

Prelude

Kejujuran menempati urutan pertama dalam ukuran moralitas kemanusiaan. Ia, melintasi agama dan semua religion yang ada. Dengan kata lain, semua suku bangsa dan agama serta religion menempatkan kejujuran dalam tataran moralitas tertinggi. Religion yang saya maksud adalah suatu bentuk keyakinan yang dengannya seseorang merasa dan dapat kebahagiaan. Dalam artian ini, ekonomi adalah sebuah religion. Suatu disipin ilmu yang karenanya seseorang merasa happy adalah sebuah religion. Sastra adalah sebuah religion juga adanya. Sastrawan merupakan makhluk religi dalam bidangnya.

Salah satu prinsip ekonomi adalah membangun kepercayaan konsumen. Itu takkan terjadi kecuali dengan kejujuran dalam berproduksi. Satu pentol bakso yang diulin atas dasar kejujuran untuk berkarya; menyenangkan selera konsumen adalah pondasi tegaknya warung bakso dan pemiliknya. Sebuah perusahaan yang dibangun atas dasar kecurangan, usia perusahaan ini takkan setahan usia pohon-pohon sawit di perbukitan Sumatera. Kejujuran adalah pondasi kokoh pada sebuah bangunan. Kejujuran adalah akar kokoh pada sebuah pohon tanaman. Kejujuran juga sebuah asas penting dalam bersastra, berkarya; bersajak.

Kejujuran yang dikehendaki dalam berkarya adalah kejujuran secara ‘lahir’ dan secara ‘batin’. Kejujuran secara ‘lahir’ bermakna karya itu made in-nya; resep pentol baksonya hasil racikannya sendiri. Untuk karya sastra bermakna bukan karya plagiat, penuh atau sepotong-potong. Seorang Chairil Anwar hampir saja jatuh karena ketidakjujurannya secara ‘lahir’. Beberapa karyanya tertuduh plagiatis. Tapi, Chairil Anwar tertolong oleh kejujurannya secara ‘batin’ yang tercermin pada karya-karyanya yang lain yang bukan plagiatis (atau saduran?). Tulisan ini tak berpretensi membedah mana karya yang lahir dari kejujuran dan mana yang lahir dari ketidakjujuran secara ‘batin’ dimaksud.

Esai, Cerita dan Puisi

Bagian dari karya sastra, puisi adalah karya sastra yang unik. Karya sastra esai hampir sama dengan karya ilmiah disiplin ilmu lainnya; perlu data dan fakta akurat. Hanya, dalam esai sastra, kecenderungan ‘mempermainkan’ kata-kata merupakan bagian dari keindahan esai. Selain itu, esai sastra sangat kuat kecenderungan subjektifitasnya --walau telah didukung data dan fakta yang lengkap. Karena memang karya sastra adalah karya fiksi yang subjektif sifatnya.

Pada karya sastra cerita pendek dan cerita panjang (novel), unsur data dan fakta bisa saja dimasukkan (bukan keharusan). Unsur imajinasi lebih kental dan dominan pada karya sastra genre cerita ini. Data dan fakta adalah pelengkap. Pada cerpen dan novel data dan fakta bisa saja disulap jadi seakan faktual. Data dan fakta yang benar faktual takkan menarik kalau tak diimajinasikan --dipleset-plesetkan. Kalau tak demikian, itu kisah nyata namanya atau sebuah biografi. Kecuali jika dia ber-genre cerpen atau novel sejarah. Pada genre ini, sejarah menjadi sebuah cerita yang dipoles hidup dan menarik.

Beda dengan keduanya, puisi dikatakan unik karena bukan karya hasil imajinasi --walau tak mengabaikan adanya peran imajinasi di dalamnya. Puisi juga tak perlu  fakta dan data di luar diri penciptanya --walau tak mengabaikan adanya peran fakta di luar dirinya. Puisi adalah suasana hati; fakta kekinian hati yang lahir karena fakta di luar dirinya. Kemampuan berpuisi bermakna kemampuan menerjemahkan suasana hati yang bersifat kekinian ke dalam bahasa-bahasa puitik --sebagaimana yang dipahami. Seorang penyair yang terlatih akan mampu menangkap susana hatinya dengan segera atau menjaganya atau mengambilnya segera dan menyimpannya di dalam imajinasinya (inilah yang penulis maksud dengan peran imajinasi) untuk nanti dituangkan dalam kata-kata yang puitik.

Singkatnya, puisi bukanlah karya tulis yang menerangkan fakta layaknya artikel ilmiah dan esai sastra. Puisi juga bukan karya tulis fiksi imajinatif --hasil khayalan pengarangnya layaknya cerpen dan novel. Walaupun begitu, puisi perlu fakta di luar dirinya yang membentuk suasana hatinya. Juga, puisi perlu bahasa imajinasi yang menggambarkan suasana hatinya. Dengan kata lain puisi adalah karya tulis yang menggambarkan fakta dalam diri penulisnya yang diakibatkan oleh fakta yang terjadi di luar dirinya. Fakta hatinya itu dia tuliskan dalam bahasa yang imajinatif puitis. Dengan demikian unsur esai dan cerita telah diserobot pula oleh sastra puisi. Inilah keunikan puisi. Karena itu tak semua esais dan cerpenis adalah penyair. Tapi, kebanyakan penyair mampu jadi esais dan cerpenis.

Jujur Batin = Sex Appeal

Perempuan yang cantik adalah perempuan yang mampu menarik hati lelaki. Dia tak harus seksi. Ketika itu terjadi, perempuan tersebut dikatakan memiliki inner beauty atau sex appeal --yang sudah sama kita ketahui. Sex appeal pada sebuah puisi lahir dan tercermin manakala puisi itu benar-benar menggambarkan dengan kuat dan utuh suasana kental hati penyairnya. Itu terjadi manakala penyair benar-benar mengalami. Sunaryono Basuki Ks menyebutkan: Faktor mengalami merupakan bagian penting dalam puisi, mengalahkan unsur makna, tema, tujuan (‘’Perjalanan Spiritual Rida K Liamsi Telaah Kumpulan Sajak Perjalanan Kelekatu’’, 2009: 1). Atau, sebagai yang dikatakan tokoh Hamdan di dalam cerpen ‘’Dari Seberang Perbatasan’’ karya (Hasan Junus): Kau tahu, sahabatku, mengalami atau tak mengalami nampak dalam karya. Karya agung senantiasa memperlihatkan pengalaman pengarangnya (Riau Pos, 1/4/2012).

‘Mengalami’ dimaksud tidak termasuk ‘mengalami’ yang ‘dikondisikan’, tapi tidak bermakna tidak diupayakan. Pengupayaan pengalaman estetika adalah bagian dari kerja kesusasteraan, laa siyyama (terutama) para penyair. Tapi, apakah penyair benar-benar mengalami, itu akan tercermin pada karya puisinya. Selanjutnya, sifat mengalami ini akan diketahui apakah berkualitas ekspor atau hanya layak jadi santapan penduduk lokal. Kualitas tadi bergantung pada matangnya kejujuran batin dimaksud: Mudah dibedakan antara cinta monyet, cinta birahi, dan cinta sejati, bukan? Begitulah, ‘duka’ pada ‘wajah’ puisi seorang penyair akan terbaca: duka pura-pura, duka biasa, ataukah duka maha tuan bertahta.

Apa yang dimaksud dengan duka pura-pura? Duka pura-pura adalah duka yang dikondisikan; status sosial dan keadaan hatinya belum layak masuk tataran nilai duka. Seperti seorang penyair yang menggambarkan kemiskinan dalam puisinya, tapi dia tak mengalami sendiri kemiskinan tersebut. Ketika itu, puisi hampir menjadi sajak deklamasi tentang kemiskinan, atau sebuah filsafat kemiskinan yang dibungkus bahasa puitis. Puisi-puisinya akan jadi puisi-puisi pamflet belaka.

Duka biasa adalah kedukaan yang belum kuat dan kental menyergap seorang penyair: Prematur. Atau, seperti kasus duri kecil yang menusuk kaki dan pelakunya menganggap itu suatu duka besar. Maka, puisi yang dihasilkan pun akan terkesan prematur. Kategori ini biasanya dihasilkan oleh seseorang yang sedang berproses menuju penyair sebenarnya. Atau, penyair muda yang tak sabar berkarya: Kanak-kanak yang segera ingin dianggap dewasa! Atau, karya-karya puisi peserta lomba!

Duka maha tuan bertahta (Chairil Anwar ‘’Nisan’’) adalah kedukaan yang benar-benar dialami penyairnya akibat kematian neneknya. Kedukaan itu bukan semata objek nenek yang meninggal, tapi fakta adanya kematian itu yang melahirkan duka yang mendalam bagi sang penyair. Bagi orang lain, bisa duka karena kematian seseorang. Duka karena putus cinta. Atau, karena hal lainnya. Jelasnya penyair mengalaminya, mendalam dan kuat. Mendalam dan kuat artinya, berbeda antara penyair kehilangan seekor kucing kesayangannya deangan kematian kekasihnya, misalnya. Sungguh perkara ini bukan perkara yang mudah dibuat atau diplagiat. Inilah perkara yang membedakan antara puisi dan karya sastra lainnya. Inilah yang penulis maksud dengan kejujuran ‘batin’.

Muhammad Hanif
, Penikmat sastra, bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Juni 2012