Sunday, June 24, 2012

[Jejak] Sanusi Pane, "Manusia Baru" Penggagas Jong Bataks Bond


DALAM bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana. Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Buddha di Indonesia di masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesa Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya Manusia Baru yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1940.

Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, di antaranya Pancaran Cinta (1926), Prosa Berirama (1926), Puspa Mega (1927), Kumpulan Sajak (1927), Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928), Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929), Madah Kelana (1931), Kertajaya (drama, 1932), Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933), Manusia Baru (drama, 1940) dan Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940).

Sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru ini lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara pada 14 November 1905 dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun. Karya-karyanya banyak diterbitkan antara tahun 1920-an sampai 1940-an. Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada 1925. Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya.

Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah Timbul berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Pada tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu Kebangunan di Jakarta dan 1941 menjadi redaktur Balai Pustaka.

Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru danseniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya Jong Bataks Bond.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Juni 2012

No comments: