Jakarta, Kompas - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang menyelidiki dugaan kasus plagiat di sejumlah perguruan tinggi. Mereka yang terbukti melakukan plagiat bisa dijatuhi sanksi, mulai dari penurunan pangkat, pencabutan gelar akademik, hingga pemberhentian jabatan.
”Sanksi dijatuhkan sesuai tingkat kesalahan,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso di Jakarta, Selasa (5/6).
Ia menjelaskan, saat ini pihaknya sedang menyelidiki lebih dari lima kasus plagiat di perguruan tinggi. Salah satu kasus yang diselidiki adalah dugaan plagiat yang dilakukan salah seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
”Kami akan memeriksa kasus dugaan (plagiat) itu. Nanti kami panggil pimpinan universitasnya untuk mengklarifikasi masalah ini,” kata Djoko.
Menanggapi dugaan plagiat di kampusnya, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa pihaknya telah menjatuhkan sanksi kepada dosen yang dinyatakan melakukan plagiat.
”Sekarang yang bersangkutan menggugat rektor melalui Pengadilan Tata Usaha Negara,” ujarnya melalui layanan pesan singkat.
Dari skripsi
Berdasarkan bukti yang beredar, plagiat tersebut dilakukan dosen dengan cara menjiplak skripsi mahasiswa.
Skripsi mahasiswa bernama Sarika itu dijiplak salah seorang dosen dan diklaim menjadi hasil penelitiannya. Judul penelitian dan obyek penelitian itu nyaris sama dengan skripsi yang dibuat mahasiswa. Bahkan, beberapa kecerobohan pun terungkap. Hal itu, misalnya, di halaman empat dan enam penelitian itu, kata ”skripsi” tidak terhapus.
Kejanggalan juga terjadi di metode penelitian, tabel, dan daftar pustaka yang nyaris sama.
Laporan masyarakat
Djoko menjelaskan, kasus-kasus dugaan plagiat hanya bisa terungkap jika ada laporan dari masyarakat. Tanpa itu, kasus plagiat tidak akan ketahuan kecuali plagiarisme yang dilakukan dosen yang akan diberi atau mendapat predikat guru besar.
Menurut Djoko, biasanya pengecekan diperketat bagi dosen yang akan menjadi guru besar. ”Satu per satu karyanya dicek ulang dengan berbagi sumber,” kata Djoko.
Ia melanjutkan laporan yang masuk dari masyarakat selalu ditindaklanjuti dengan memanggil pimpinan perguruan tinggi untuk dimintai keterangannya. Pihak perguruan tinggi pun kemudian diminta menyelesaikan masalah itu secara internal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Djoko menilai pihak perguruan tinggi seharusnya mengetahui adanya plagiat karena semestinya mereka memiliki data yang rinci dan lengkap tentang karya-karya mahasiswa dan dosen. ”Dengan data yang lengkap dan rinci, akan mudah ketahuan,” ujarnya.
Dari pengalaman kasus-kasus plagiat yang pernah terjadi, lanjut Djoko, bentuk-bentuk sanksi yang diberikan beragam. Djoko mencontohkan, antara lain sanksi pemberhentian, pencabutan predikat guru besar, penurunan pangkat, dan larangan kenaikan pangkat untuk selamanya. (LUK)
Sumber: Kompas, Rabu, 6 Juni 2012
”Sanksi dijatuhkan sesuai tingkat kesalahan,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso di Jakarta, Selasa (5/6).
Ia menjelaskan, saat ini pihaknya sedang menyelidiki lebih dari lima kasus plagiat di perguruan tinggi. Salah satu kasus yang diselidiki adalah dugaan plagiat yang dilakukan salah seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
”Kami akan memeriksa kasus dugaan (plagiat) itu. Nanti kami panggil pimpinan universitasnya untuk mengklarifikasi masalah ini,” kata Djoko.
Menanggapi dugaan plagiat di kampusnya, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa pihaknya telah menjatuhkan sanksi kepada dosen yang dinyatakan melakukan plagiat.
”Sekarang yang bersangkutan menggugat rektor melalui Pengadilan Tata Usaha Negara,” ujarnya melalui layanan pesan singkat.
Dari skripsi
Berdasarkan bukti yang beredar, plagiat tersebut dilakukan dosen dengan cara menjiplak skripsi mahasiswa.
Skripsi mahasiswa bernama Sarika itu dijiplak salah seorang dosen dan diklaim menjadi hasil penelitiannya. Judul penelitian dan obyek penelitian itu nyaris sama dengan skripsi yang dibuat mahasiswa. Bahkan, beberapa kecerobohan pun terungkap. Hal itu, misalnya, di halaman empat dan enam penelitian itu, kata ”skripsi” tidak terhapus.
Kejanggalan juga terjadi di metode penelitian, tabel, dan daftar pustaka yang nyaris sama.
Laporan masyarakat
Djoko menjelaskan, kasus-kasus dugaan plagiat hanya bisa terungkap jika ada laporan dari masyarakat. Tanpa itu, kasus plagiat tidak akan ketahuan kecuali plagiarisme yang dilakukan dosen yang akan diberi atau mendapat predikat guru besar.
Menurut Djoko, biasanya pengecekan diperketat bagi dosen yang akan menjadi guru besar. ”Satu per satu karyanya dicek ulang dengan berbagi sumber,” kata Djoko.
Ia melanjutkan laporan yang masuk dari masyarakat selalu ditindaklanjuti dengan memanggil pimpinan perguruan tinggi untuk dimintai keterangannya. Pihak perguruan tinggi pun kemudian diminta menyelesaikan masalah itu secara internal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Djoko menilai pihak perguruan tinggi seharusnya mengetahui adanya plagiat karena semestinya mereka memiliki data yang rinci dan lengkap tentang karya-karya mahasiswa dan dosen. ”Dengan data yang lengkap dan rinci, akan mudah ketahuan,” ujarnya.
Dari pengalaman kasus-kasus plagiat yang pernah terjadi, lanjut Djoko, bentuk-bentuk sanksi yang diberikan beragam. Djoko mencontohkan, antara lain sanksi pemberhentian, pencabutan predikat guru besar, penurunan pangkat, dan larangan kenaikan pangkat untuk selamanya. (LUK)
Sumber: Kompas, Rabu, 6 Juni 2012
No comments:
Post a Comment