-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna
JAKARTA, KOMPAS.com — Maraknya peredaran buku-buku sekolah dengan konten dewasa merupakan dampak dari lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Pasalnya, sebelum masuk ke lingkungan sekolah, setiap buku teks dan nonteks wajib lolos dari tim penilai di Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
Kepala SD Cempaka Arum Ahmad Taufan menunjukkan buku yang memuat konten yang tidak pantas bagi pelajar SD, Jumat (8/6/2012) di Kota Bandung, Jawa Barat. (Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo)
"Pemerintah lalai dalam pengawasan peredaran buku," kata Sekretaris Jendral Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listiyarti.
Ia menambahkan, setiap buku yang akan diedarkan di sekolah harus lolos dari tim penilai di Kemdikbud ataupun pemerintah darah. Bila kemudian masih banyak buku kontroversial yang bisa beredar di sekolah, maka pemerintah dan pemda seharusnya ikut bertanggung jawab dengan menarik buku-buku tersebut.
"Saya tidak menyalahkan penulis atau penerbitnya. Ini jelas dan murni kelalaian pemerintah," pungkasnya.
Seperti diberitakan, beberapa waktu terakhir ada beberapa buku dengan konten dewasa dan mengandung unsur kekerasan yang masuk ke perpustakaan SD. Pemerintah pusat sendiri menolak bertanggung jawab. Mereka berkilah, semua terjadi atas tanggung jawab pemerintah daerah dan sekolah.
Di lain sisi, Forum Lingkar Pena (FLP) yang turut menyumbang beberapa buku kontroversial itu menegaskan jika buku yang beredar telah lolos seleksi dari Puskurbuk Kemdikbud. Mereka menduga, ada kesalahan saat distribusi ke sekolah. Pasalnya, buku-buku yang diterbitkan diperuntukkan anak-anak usia remaja, bukan tingkat SD.
Beberapa judul buku yang menuai kontroversi itu adalah Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Tambelo: Kembalinya Si Burung Camar, Tambelo: Meniti Hari di Ottawa, Syahid Samurai, Festival Syahadah, dan Sabuk Kiai. Sampai saat ini, sejumlah daerah telah menarik buku-buku tersebut dari perpustakaan dan peredaran agar tidak dikonsumsi oleh siswa SD.
Sumber: Edukasi, Kompas.com, Jumat, 15 Juni 2012
JAKARTA, KOMPAS.com — Maraknya peredaran buku-buku sekolah dengan konten dewasa merupakan dampak dari lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Pasalnya, sebelum masuk ke lingkungan sekolah, setiap buku teks dan nonteks wajib lolos dari tim penilai di Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
Kepala SD Cempaka Arum Ahmad Taufan menunjukkan buku yang memuat konten yang tidak pantas bagi pelajar SD, Jumat (8/6/2012) di Kota Bandung, Jawa Barat. (Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo)
"Pemerintah lalai dalam pengawasan peredaran buku," kata Sekretaris Jendral Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listiyarti.
Ia menambahkan, setiap buku yang akan diedarkan di sekolah harus lolos dari tim penilai di Kemdikbud ataupun pemerintah darah. Bila kemudian masih banyak buku kontroversial yang bisa beredar di sekolah, maka pemerintah dan pemda seharusnya ikut bertanggung jawab dengan menarik buku-buku tersebut.
"Saya tidak menyalahkan penulis atau penerbitnya. Ini jelas dan murni kelalaian pemerintah," pungkasnya.
Seperti diberitakan, beberapa waktu terakhir ada beberapa buku dengan konten dewasa dan mengandung unsur kekerasan yang masuk ke perpustakaan SD. Pemerintah pusat sendiri menolak bertanggung jawab. Mereka berkilah, semua terjadi atas tanggung jawab pemerintah daerah dan sekolah.
Di lain sisi, Forum Lingkar Pena (FLP) yang turut menyumbang beberapa buku kontroversial itu menegaskan jika buku yang beredar telah lolos seleksi dari Puskurbuk Kemdikbud. Mereka menduga, ada kesalahan saat distribusi ke sekolah. Pasalnya, buku-buku yang diterbitkan diperuntukkan anak-anak usia remaja, bukan tingkat SD.
Beberapa judul buku yang menuai kontroversi itu adalah Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Tambelo: Kembalinya Si Burung Camar, Tambelo: Meniti Hari di Ottawa, Syahid Samurai, Festival Syahadah, dan Sabuk Kiai. Sampai saat ini, sejumlah daerah telah menarik buku-buku tersebut dari perpustakaan dan peredaran agar tidak dikonsumsi oleh siswa SD.
Sumber: Edukasi, Kompas.com, Jumat, 15 Juni 2012
No comments:
Post a Comment