-- Agus Sri Danardana
BAHWA karya sastra merupakan visi dan sekaligus pandangan dunia (world-view) pengarangnya, rasanya bukanlah pendapat yang mengada-ada. Karya sastra lahir tak dari kekosongan, tapi karena diciptakan pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu (Luxemburg, et al, 1984:90). Tujuan pengarang menciptakan karya sastra tentu bermacam-macam. Di samping hendak berkomunikasi dengan pembaca, bisa jadi, pengarang juga hendak menghibur pembaca, menyindir pemerintahan yang sedang berkuasa, atau hanya sekadar berusaha mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bahkan, ada pula pengarang yang menciptakan karya sastra berdasar pesanan penerbit yang memberinya honororarium.
Karena diciptakan pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu, karya sastra bersifat multidimensi dan multi-interpretasi. Pengarang menciptakan karya sastra bukan sekadar merangkai kata-kata tak bermakna, melainkan berbicara tentang kehidupan, baik kehidupan secara realitas yang ada dan nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan yang hanya terjadi dalam gagasan, angan-angan, atau cita-citanya.
Dalam salah satu esainya, ‘’Genetic Structuralism in The Sociology of Literature’’, Lucien Goldman (1973:118-119) menjelaskan, ada tiga kemungkinan yang dilakukan seorang pengarang, termasuk Kunni Masrohanti tentunya, dalam menghadapi realitas lingkungannya: (1) mencatat dan memaknai, (2) bersikap dan bereaksi, serta (3) mengubah dan menciptakan realitas baru dalam karyanya. Senada dengan hal itu, Kuntowijoyo (1987:127) pun menulis, ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication) dan menciptakan kembali realitas (mode of creation).
Atas dasar itu, pantas diduga bahwa dalam Sunting (2011) karya Kunni Masrohanti pun terdapat tanggapan atas realitas yang terjadi di berbagai sudut Bumi Lancang Kuning, tanah kelahiran yang telah membesarkannya. Menurut penulis, setidaknya terdapat 15 puisi yang memperlihatkan hal itu, yakni berjudul (1) ‘’Di Perahu Rahim’’, (2) ‘’Fahamkan Nanana’’, (3) ‘’Himne Akhir Abad’’, (4) ‘’Igau Riak Tasik Gemilang’’, (5) ‘’Kesaksian Langkana’’, (6) ‘’Pulau Nafsu’’, (7) ‘’Si Matin, Itulah Namanya’’, (8) ‘’Dari Dua Satu’’, (9) ‘’Dari Dua Dua’’, (10) ‘’Dari Dua Tiga’’, (11) ‘’Lancang Tuah’’, (12) ‘’Sabotase Satu’’, (13) ‘’Sabotase Dua’’, (14) ‘’Sabotase Tiga’’, dan (15) ‘’Kemana Kaubawa Semangat Itu’’.
Apa dan bagaimana tanggapan itu terepresentasikan dalam puisi-puisi Kunni, mari kita awali dengan membaca ‘’Di Perahu Rahim’’ berikut ini:
di perahu rahim
lakilaki perempuan lakilaki perempuan
lakilaki
prrrraaaakkk
tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim
menghening dengus sepasang pengantin
yang telah sudah berseraga
menghasut sahut damba
tak jalang di tepi jalan raya
dekat senapelan plaza
Pekanbaru 1999
Sebagai penyair, aktivis perempuan, dan jurnalis, Kunni tak hanya memiliki kepekaan atas realitas lingkungannya, tapi juga memiliki daya ungkap (keterampilan mengutarakan) yang khas. Di samping berkisah tentang peristiwa yang terjadi di sebuah tempat: hubungan intim lain jenis, ‘’Di Perahu Rahim’’ juga berkabar bahwa peristiwa seperti itu bukan lagi sebuah rahasia (dapat diketahui dengan mudah oleh umum) karena dilakukan secara terbuka di tepi jalan raya dekat Senapelan Plaza (Pekanbaru). Mereka (laki-laki dan perempuan itu), bahkan, melakukannya seperti sepasang pengantin: tak jalang, menghasut sahut damba. Semuanya itu disampaikan Kunni secara langsung (to the point), tanpa basa-basi ala wartawan: lakilaki perempuan lakilaki perempuan/lakilaki/prrrraaaakkk/tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim.
Sebagai sebuah informasi, bisa jadi, peristiwa yang terkisah dalam ‘’Di Perahu Rahim’’ tak lagi mengejutkan banyak orang. Akan tetapi, pun besar kemungkinan banyak orang yang tak menyangka bahwa, di samping sudah sedemikian vulgar, peristiwa itu terkisah dalam ‘’Di Perahu Rahim’’. Judul puisi itu (yang tak langsung menyebut Senapelan Plaza) justru memberi kebebasan pada pembaca untuk ‘meliarkan’ asosiasinya. Ini bersesuaian dengan pendapat Prancis Mallarme (dalam Damono, dkk., 2010:3) bahwa memberi nama suatu objek berarti menghilangkan tiga perempat kenikmatan sebuah puisi, yang semestinya diperoleh dari kepuasan menebak sedikit demi sedikit. Membangkitkan sugesti, menghadirkan rasa, itulah yang menggairahkan imajinasi.
Cara ungkap seperti itu membangkitkan ingatan pada puisi-puisi simbolis dan imajis yang pada umumnya menghindari pemikiran dan uraian abstrak. Beda dengan puisi-puisi romantis (yang menyorot fakta sosial melalui kacamata rasionalitas dan cenderung menekankan pada perasaan), misalnya, puisi-puisi simbolis dan imajis mengaburkan batas antara rasionalitas dan imaji, meleburkan observasi sosial dengan sikap kritis yang intuitif melalui sugesti simbolik yang unik, personal, dan kompleks (Budianta dalam Damono, dkk., 2010:11). Di samping penyampaiannya cepat dan jelas, tanpa komentar (clear quick rendering(s) of particular without commentary), Kunni juga menggunakan pencitraan melalui sinestesia, pencampuran satu jenis penginderaan dengan penginderaan lainnya: lihatan (lakilaki perempuan lakilaki perempuan/lakilaki), dengaran (prrrraaaakkk), kembali ke lihatan (tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim).
Peristiwa/kejadian serupa ditampilkan Kunni dalam ‘’Kesaksian Langkana’’ dan ‘’Igau Riak Tasik Gemilang’’. Langkana (nama sebuah pulau di Kepulauan Riau, dekat Singapura) dan Tasik Gemilang (nama sebuah jembatan di Inhil), setidaknya bagi Kunni, telah menimbulkan keresahan. Entah apa yang diresahkan, yang jelas Langkana dan Tasik Gemilang kini jadi tempat berlibur (mencari hiburan) bagi banyak orang, terutama turis asing: Singapura dan Malaysia (Langkana) dan anak-anak muda (Tasik Gemilang). Sebagaimana layaknya tempat hiburan lainnya, di kedua tempat itu pun sudah tak lagi dijajakan hiburan tradisi (Melayu), tapi hiburan modern (asing) yang menjurus ke pergaulan bebas.
Kesaksian serupa terdapat dalam ‘’Si Matin Itulah Orangnya’’. Sesuai judulnya, sajak itu berkisah tentang perjalanan hidup si Matin sejak sebelum jadi pelacur murahan hingga setelah jadi pelacur gedongan. Menurut si empunya cerita, si Matin itu kini jadi ‘mami’ di sebuah perusahaan yang bernama Golden Million. Di manakah perusahaan itu? Entahlah. Yang pasti sajak itu bertitimangsa: bs, 1999.
Jika dalam sajak-sajak yang telah disebut tadi keterlibatan si aku lirik (Kunni) baru sebatas sebagai pencatat dan/atau penggalau, dalam ‘’Pulau Nafsu’’ si aku lirik sudah terlibat langsung (ikut merasakan) peristiwa yang dikisahkan. Bagi si aku lirik, di hampir seluruh pelosok negerinya telah berkembang praktik-praktik prostitusi bebas, bukan sebuah dongengan lagi. Itu benar-benar nyata dan dilihatnya sendiri.
Atas kenyataan itu, si aku lirik benar-benar bersedih: aduh sun/aku menangis risau dikepung kelamin/takut jatuh di jalan berlumpur. Meskipun demikian, sebagai orang yang sangat mencintai negerinya (lihat bait 1), si aku lirik tetap berupaya melakukan rehabilitasi: akan kupunguti kelamin kelamin itu satu persatu/kukembalikan pada maimunah, aisyah, amoy, acong/joko dan siapa saja yang/kehilangan. Bahkan, jika mereka malu kan kumasukkan dalam saku baju/dan celanaku/ atau di mana saja di sekujur tubuhku sehingga mataku jadi berkelamin/tanganku berkelamin kakiku berkelamin/hidungku dadaku telingaku semua jadi berkelamin, si aku lirik masih punya harapan: jaga dirimu kawanku/sebab kau adalah kerinduanku pada yang lain.
Kecintaan dan kepedulian Kunni atas nasib masyarakat negerinya juga tampak pada ‘’Fahamkan Nanana’’, ‘’Himne Akhir Abad’’, ‘’Lancang Tuah’’ dan ‘’Ke mana Kaubawa Semangat Kami’’. Keempatnya, meski ditulis secara berbeda, memiliki semangat yang sama: bernada protes.
Bagi ‘pembaca’ Riau yang baik, sekalipun tak tereksplisitkan, informasi yang hendak dikabarkan oleh ‘’Fahamkan Nanana’’ itu dapat dengan mudah dipahami. Bahkan, ‘pembaca’ Riau yang baik pasti sudah bisa menebak pada siapa protes itu ditujukan. Begitupun bagi si aku lirik, semua program untuk Riau (baik yang diucapkan maupun yang ditulis) hanyalah dongengan janji-janji, seperti nanana, meskipun sudah diucapkan bertahun-tahun, tetap tak bermakna dan tak terpahami. Mengapa? Karena tak sebuah keranda pun mengusung sepi faham kami, katanya.
Catatan buram lainnya dapat ditemukan dalam ‘’Himne Akhir Abad’’. Dengan penuh keparadoksan, sajak itu memaparkan ketragisan. Kata himne ‘gita puja; lagu pujian’ (Endarmoko, 2007:236) yang jadi bagian judul sajak itu sangat tepat digunakan untuk membangun suasana sehingga ketragisan yang terdedah dapat tersaji secara khidmat. Sepintas sajak itu memang menyodorkan suasana riang dan cenderung glamor, tapi di balik itu kemurungan dan ketragisan yang terjadi.
Berlimpahnya makanan ternyata justru menimbulkan rasa ‘kenyang’ yang lain (muak) karena makanan itu terbuat dari cacahan daging saudara-saudaranya. Begitu pula, melimpahnya minuman ternyata tak mampu membangkitkan rasa haus karena minuman itu terbuat dari darah dan air mata mereka. Karena itu, menurut si aku lirik, himnelah yang pantas didendangkan di akhir abad (2000 lalu), bukan nyanyian.
Begitupun dalam ‘’Lancang Tuah’’ dan ‘’Ke mana Kaubawa Semangat Kami’’, catatan buram itu makin menebal. Dalam ‘’Lancang Tuah’’, misalnya, si aku lirik bahkan meragukan pengakuan Indonesia terhadap Lancang Tuah (Riau):
sumpah tuah
siapa kuasai jiwamu
acuh dan sudi siapa hampiri hatimu
kita mereka
ataukah indonesia yang tak pernah jadi ibumu.
Keraguan itu terasa wajar karena didasari kesaksian si aku lirik atas keberadaan Tuah bahwa merahmu telah menjadi hitam/kuningmu telah menjadi legam/hijaumu telah menjadi kusam di awal sajak, yang kemudian berlanjut pada pertanyaan: siapa mencarimu/siapa mencurimu/siapa menggalimu, sebelum ditingkatkan menjadi sebuah sumpah dan pertanyaan retoris, pun dengan jawaban penuh keraguan: kita, mereka, atau Indonesia.
Di samping 9 puisi tadi, masih ada 6 puisi Kunni lagi yang belum dibicarakan. Ke-6 puisi itu sengaja dibicarakan belakangan karena unik: beda dengan puisi-puisi Kunni lainnya. Ke-6 puisi itu, dilihat dari judulnya, diturunkan dari dua topik/judul: dari dua dan sabotase, masing-masing menjadi tiga puisi, yakni (1) ‘’Dari Dua Satu’’, (2) ‘’Dari Dua Dua’’, (3) dan ‘’Dari Dua Tiga’’, serta (4) ‘’Sabotase Satu’’, (5) ‘’Sabotase Dua’’, dan (6) ‘’Sabotase Tiga’’.
Dibanding sembilan puisi yang telah dibicarakan terdahulu, dalam ke-6 puisi itu terlihat lebih jelas sikap Kunni atas Bumi Lancang Kuning. Dalam (1) ‘’Dari Dua Satu’’, (2) ‘’Dari Dua Dua’’, (3) dan ‘’Dari Dua Tiga’’, misalnya, terlihat dengan jelas sikap Kunni terhadap negara: Indonesia. Pada mulanya (dalam ‘’Dari Dua Satu’’), sekalipun darah kental mengalir dari kening riauku di kampung ini, Kunni masih sudi berdendang lagu ‘’Syukur’’: tanah air pusaka/indonesia merdeka/syukur aku sembahkan/kehadiratmu tuhan, sebelum menutupnya dengan pernyataan: sebenarnya aku mencintaimu indonesia. Kecintaan terhadap Indonesia itu kemudian memudar karena Kunni kesal sering menyaksikan ketidakjujuran, kebiadaban, dan ketidakadilan (pemerintah pusat, Indonesia) terhadap Riau.
Sementara itu, dalam ‘’Sabotase Satu’’, ‘’Sabotase Dua’’, dan ‘’Sabotase Tiga’’, sikap Kunni terlihat makin tegas. Secara metaforis, ‘’Sabotase Satu’’ dan ‘’Sabotase Dua’’ mengandaikan suasana kritis/genting yang dialami aku (Sa) dan saudara kembarnya (Si). Karena sudah bosan berada di rahim ibu, mereka ingin segera dilahirkan. Keinginan itu selalu ditolak sang ibu sehingga, untuk mengurangi kebosanan, Sa sempat menjalin hubungan dengan Si dan melahirkan Su. Sebagai akibatnya, karena rahim ibu makin sempit, mereka pun makin terhimpit dan terus mendesak untuk segera dilahirkan. Sekalipun demikian, sang ibu tetap bersikeras. Simbolisasi yang unik, personal, dan kompleks seperti itu pada awalnya bisa jadi akan membingungkan banyak orang. Siapakah tokoh-tokoh dalam puisi Kunni itu (Ibu, Ayah, Sa, Si, dan Su), misalnya, sulit ditebak. Namun, setelah disebutkannya 32 tahun kalian kukandung, kebingungan itu sedikit demi sedikit dapat dikurangi.
Sudah jadi pengetahuan umum, (bagi bangsa Indonesia) angka 32 identik dengan masa pemerintahan Orde Baru, sebuah rezim yang oleh kebanyakan orang (terutama kaum reformis) dianggap telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Berbekal pengetahuan itu, dengan demikian, pembaca akan segera dapat menduga bahwa (melalui puisinya itu) Kunni sesungguhnya sedang mengalegorikan penderitaan di masa pemerintahan Orde Baru. Penderitaan siapakah itu? Silakan menduga-duga. Yang pasti, kecuali ayah, semua tokoh dalam puisi itu menderita.
Begitulah, sebagai jurnalis, aktifis, dan perempuan penyair (sekaligus ibu rumahtangga), Kunni Masrohanti tak hanya memiliki kepekaan, tapi juga memiliki sikap kritis dan daya ungkap yang intuitif terhadap lingkungan dan masyarakatnya (Bumi Lancang Kuning). Sikap kritis dan daya ungkap yang intuitif itu, karena dibangun melalui sugesti simbolik yang unik, personal, dan kompleks, sering kali membuat pembaca terkendala dalam mengapresiasi puisi-puisinya. Pun dalam tulisan ini, siapa yang dimaksud Sun (dalam ‘’Pulau Nafsu’’) dan Tan (dalam ‘’Dari Dua Dua’’) serta Si, Su, dan Sa (dalam ‘’Sabotase Satu’’, ‘’Sabotase Dua’’, dan ‘’Sabotase Tiga’’), misalnya, hingga tulisan ini ditutup belum didapat jawabnya.
Pekanbaru, Maret 2012
Agus Sri Danardana, pengamat dan peminat sastra. Sebagai Kepala Balai Bahasa Riau, esai-esainya kerap diterbitkan di media massa dan bermastautin di Kota Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Juni 2012
BAHWA karya sastra merupakan visi dan sekaligus pandangan dunia (world-view) pengarangnya, rasanya bukanlah pendapat yang mengada-ada. Karya sastra lahir tak dari kekosongan, tapi karena diciptakan pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu (Luxemburg, et al, 1984:90). Tujuan pengarang menciptakan karya sastra tentu bermacam-macam. Di samping hendak berkomunikasi dengan pembaca, bisa jadi, pengarang juga hendak menghibur pembaca, menyindir pemerintahan yang sedang berkuasa, atau hanya sekadar berusaha mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bahkan, ada pula pengarang yang menciptakan karya sastra berdasar pesanan penerbit yang memberinya honororarium.
Karena diciptakan pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu, karya sastra bersifat multidimensi dan multi-interpretasi. Pengarang menciptakan karya sastra bukan sekadar merangkai kata-kata tak bermakna, melainkan berbicara tentang kehidupan, baik kehidupan secara realitas yang ada dan nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan yang hanya terjadi dalam gagasan, angan-angan, atau cita-citanya.
Dalam salah satu esainya, ‘’Genetic Structuralism in The Sociology of Literature’’, Lucien Goldman (1973:118-119) menjelaskan, ada tiga kemungkinan yang dilakukan seorang pengarang, termasuk Kunni Masrohanti tentunya, dalam menghadapi realitas lingkungannya: (1) mencatat dan memaknai, (2) bersikap dan bereaksi, serta (3) mengubah dan menciptakan realitas baru dalam karyanya. Senada dengan hal itu, Kuntowijoyo (1987:127) pun menulis, ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication) dan menciptakan kembali realitas (mode of creation).
Atas dasar itu, pantas diduga bahwa dalam Sunting (2011) karya Kunni Masrohanti pun terdapat tanggapan atas realitas yang terjadi di berbagai sudut Bumi Lancang Kuning, tanah kelahiran yang telah membesarkannya. Menurut penulis, setidaknya terdapat 15 puisi yang memperlihatkan hal itu, yakni berjudul (1) ‘’Di Perahu Rahim’’, (2) ‘’Fahamkan Nanana’’, (3) ‘’Himne Akhir Abad’’, (4) ‘’Igau Riak Tasik Gemilang’’, (5) ‘’Kesaksian Langkana’’, (6) ‘’Pulau Nafsu’’, (7) ‘’Si Matin, Itulah Namanya’’, (8) ‘’Dari Dua Satu’’, (9) ‘’Dari Dua Dua’’, (10) ‘’Dari Dua Tiga’’, (11) ‘’Lancang Tuah’’, (12) ‘’Sabotase Satu’’, (13) ‘’Sabotase Dua’’, (14) ‘’Sabotase Tiga’’, dan (15) ‘’Kemana Kaubawa Semangat Itu’’.
Apa dan bagaimana tanggapan itu terepresentasikan dalam puisi-puisi Kunni, mari kita awali dengan membaca ‘’Di Perahu Rahim’’ berikut ini:
di perahu rahim
lakilaki perempuan lakilaki perempuan
lakilaki
prrrraaaakkk
tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim
menghening dengus sepasang pengantin
yang telah sudah berseraga
menghasut sahut damba
tak jalang di tepi jalan raya
dekat senapelan plaza
Pekanbaru 1999
Sebagai penyair, aktivis perempuan, dan jurnalis, Kunni tak hanya memiliki kepekaan atas realitas lingkungannya, tapi juga memiliki daya ungkap (keterampilan mengutarakan) yang khas. Di samping berkisah tentang peristiwa yang terjadi di sebuah tempat: hubungan intim lain jenis, ‘’Di Perahu Rahim’’ juga berkabar bahwa peristiwa seperti itu bukan lagi sebuah rahasia (dapat diketahui dengan mudah oleh umum) karena dilakukan secara terbuka di tepi jalan raya dekat Senapelan Plaza (Pekanbaru). Mereka (laki-laki dan perempuan itu), bahkan, melakukannya seperti sepasang pengantin: tak jalang, menghasut sahut damba. Semuanya itu disampaikan Kunni secara langsung (to the point), tanpa basa-basi ala wartawan: lakilaki perempuan lakilaki perempuan/lakilaki/prrrraaaakkk/tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim.
Sebagai sebuah informasi, bisa jadi, peristiwa yang terkisah dalam ‘’Di Perahu Rahim’’ tak lagi mengejutkan banyak orang. Akan tetapi, pun besar kemungkinan banyak orang yang tak menyangka bahwa, di samping sudah sedemikian vulgar, peristiwa itu terkisah dalam ‘’Di Perahu Rahim’’. Judul puisi itu (yang tak langsung menyebut Senapelan Plaza) justru memberi kebebasan pada pembaca untuk ‘meliarkan’ asosiasinya. Ini bersesuaian dengan pendapat Prancis Mallarme (dalam Damono, dkk., 2010:3) bahwa memberi nama suatu objek berarti menghilangkan tiga perempat kenikmatan sebuah puisi, yang semestinya diperoleh dari kepuasan menebak sedikit demi sedikit. Membangkitkan sugesti, menghadirkan rasa, itulah yang menggairahkan imajinasi.
Cara ungkap seperti itu membangkitkan ingatan pada puisi-puisi simbolis dan imajis yang pada umumnya menghindari pemikiran dan uraian abstrak. Beda dengan puisi-puisi romantis (yang menyorot fakta sosial melalui kacamata rasionalitas dan cenderung menekankan pada perasaan), misalnya, puisi-puisi simbolis dan imajis mengaburkan batas antara rasionalitas dan imaji, meleburkan observasi sosial dengan sikap kritis yang intuitif melalui sugesti simbolik yang unik, personal, dan kompleks (Budianta dalam Damono, dkk., 2010:11). Di samping penyampaiannya cepat dan jelas, tanpa komentar (clear quick rendering(s) of particular without commentary), Kunni juga menggunakan pencitraan melalui sinestesia, pencampuran satu jenis penginderaan dengan penginderaan lainnya: lihatan (lakilaki perempuan lakilaki perempuan/lakilaki), dengaran (prrrraaaakkk), kembali ke lihatan (tibatiba sebilah parang membelah perahu rahim).
Peristiwa/kejadian serupa ditampilkan Kunni dalam ‘’Kesaksian Langkana’’ dan ‘’Igau Riak Tasik Gemilang’’. Langkana (nama sebuah pulau di Kepulauan Riau, dekat Singapura) dan Tasik Gemilang (nama sebuah jembatan di Inhil), setidaknya bagi Kunni, telah menimbulkan keresahan. Entah apa yang diresahkan, yang jelas Langkana dan Tasik Gemilang kini jadi tempat berlibur (mencari hiburan) bagi banyak orang, terutama turis asing: Singapura dan Malaysia (Langkana) dan anak-anak muda (Tasik Gemilang). Sebagaimana layaknya tempat hiburan lainnya, di kedua tempat itu pun sudah tak lagi dijajakan hiburan tradisi (Melayu), tapi hiburan modern (asing) yang menjurus ke pergaulan bebas.
Kesaksian serupa terdapat dalam ‘’Si Matin Itulah Orangnya’’. Sesuai judulnya, sajak itu berkisah tentang perjalanan hidup si Matin sejak sebelum jadi pelacur murahan hingga setelah jadi pelacur gedongan. Menurut si empunya cerita, si Matin itu kini jadi ‘mami’ di sebuah perusahaan yang bernama Golden Million. Di manakah perusahaan itu? Entahlah. Yang pasti sajak itu bertitimangsa: bs, 1999.
Jika dalam sajak-sajak yang telah disebut tadi keterlibatan si aku lirik (Kunni) baru sebatas sebagai pencatat dan/atau penggalau, dalam ‘’Pulau Nafsu’’ si aku lirik sudah terlibat langsung (ikut merasakan) peristiwa yang dikisahkan. Bagi si aku lirik, di hampir seluruh pelosok negerinya telah berkembang praktik-praktik prostitusi bebas, bukan sebuah dongengan lagi. Itu benar-benar nyata dan dilihatnya sendiri.
Atas kenyataan itu, si aku lirik benar-benar bersedih: aduh sun/aku menangis risau dikepung kelamin/takut jatuh di jalan berlumpur. Meskipun demikian, sebagai orang yang sangat mencintai negerinya (lihat bait 1), si aku lirik tetap berupaya melakukan rehabilitasi: akan kupunguti kelamin kelamin itu satu persatu/kukembalikan pada maimunah, aisyah, amoy, acong/joko dan siapa saja yang/kehilangan. Bahkan, jika mereka malu kan kumasukkan dalam saku baju/dan celanaku/ atau di mana saja di sekujur tubuhku sehingga mataku jadi berkelamin/tanganku berkelamin kakiku berkelamin/hidungku dadaku telingaku semua jadi berkelamin, si aku lirik masih punya harapan: jaga dirimu kawanku/sebab kau adalah kerinduanku pada yang lain.
Kecintaan dan kepedulian Kunni atas nasib masyarakat negerinya juga tampak pada ‘’Fahamkan Nanana’’, ‘’Himne Akhir Abad’’, ‘’Lancang Tuah’’ dan ‘’Ke mana Kaubawa Semangat Kami’’. Keempatnya, meski ditulis secara berbeda, memiliki semangat yang sama: bernada protes.
Bagi ‘pembaca’ Riau yang baik, sekalipun tak tereksplisitkan, informasi yang hendak dikabarkan oleh ‘’Fahamkan Nanana’’ itu dapat dengan mudah dipahami. Bahkan, ‘pembaca’ Riau yang baik pasti sudah bisa menebak pada siapa protes itu ditujukan. Begitupun bagi si aku lirik, semua program untuk Riau (baik yang diucapkan maupun yang ditulis) hanyalah dongengan janji-janji, seperti nanana, meskipun sudah diucapkan bertahun-tahun, tetap tak bermakna dan tak terpahami. Mengapa? Karena tak sebuah keranda pun mengusung sepi faham kami, katanya.
Catatan buram lainnya dapat ditemukan dalam ‘’Himne Akhir Abad’’. Dengan penuh keparadoksan, sajak itu memaparkan ketragisan. Kata himne ‘gita puja; lagu pujian’ (Endarmoko, 2007:236) yang jadi bagian judul sajak itu sangat tepat digunakan untuk membangun suasana sehingga ketragisan yang terdedah dapat tersaji secara khidmat. Sepintas sajak itu memang menyodorkan suasana riang dan cenderung glamor, tapi di balik itu kemurungan dan ketragisan yang terjadi.
Berlimpahnya makanan ternyata justru menimbulkan rasa ‘kenyang’ yang lain (muak) karena makanan itu terbuat dari cacahan daging saudara-saudaranya. Begitu pula, melimpahnya minuman ternyata tak mampu membangkitkan rasa haus karena minuman itu terbuat dari darah dan air mata mereka. Karena itu, menurut si aku lirik, himnelah yang pantas didendangkan di akhir abad (2000 lalu), bukan nyanyian.
Begitupun dalam ‘’Lancang Tuah’’ dan ‘’Ke mana Kaubawa Semangat Kami’’, catatan buram itu makin menebal. Dalam ‘’Lancang Tuah’’, misalnya, si aku lirik bahkan meragukan pengakuan Indonesia terhadap Lancang Tuah (Riau):
sumpah tuah
siapa kuasai jiwamu
acuh dan sudi siapa hampiri hatimu
kita mereka
ataukah indonesia yang tak pernah jadi ibumu.
Keraguan itu terasa wajar karena didasari kesaksian si aku lirik atas keberadaan Tuah bahwa merahmu telah menjadi hitam/kuningmu telah menjadi legam/hijaumu telah menjadi kusam di awal sajak, yang kemudian berlanjut pada pertanyaan: siapa mencarimu/siapa mencurimu/siapa menggalimu, sebelum ditingkatkan menjadi sebuah sumpah dan pertanyaan retoris, pun dengan jawaban penuh keraguan: kita, mereka, atau Indonesia.
Di samping 9 puisi tadi, masih ada 6 puisi Kunni lagi yang belum dibicarakan. Ke-6 puisi itu sengaja dibicarakan belakangan karena unik: beda dengan puisi-puisi Kunni lainnya. Ke-6 puisi itu, dilihat dari judulnya, diturunkan dari dua topik/judul: dari dua dan sabotase, masing-masing menjadi tiga puisi, yakni (1) ‘’Dari Dua Satu’’, (2) ‘’Dari Dua Dua’’, (3) dan ‘’Dari Dua Tiga’’, serta (4) ‘’Sabotase Satu’’, (5) ‘’Sabotase Dua’’, dan (6) ‘’Sabotase Tiga’’.
Dibanding sembilan puisi yang telah dibicarakan terdahulu, dalam ke-6 puisi itu terlihat lebih jelas sikap Kunni atas Bumi Lancang Kuning. Dalam (1) ‘’Dari Dua Satu’’, (2) ‘’Dari Dua Dua’’, (3) dan ‘’Dari Dua Tiga’’, misalnya, terlihat dengan jelas sikap Kunni terhadap negara: Indonesia. Pada mulanya (dalam ‘’Dari Dua Satu’’), sekalipun darah kental mengalir dari kening riauku di kampung ini, Kunni masih sudi berdendang lagu ‘’Syukur’’: tanah air pusaka/indonesia merdeka/syukur aku sembahkan/kehadiratmu tuhan, sebelum menutupnya dengan pernyataan: sebenarnya aku mencintaimu indonesia. Kecintaan terhadap Indonesia itu kemudian memudar karena Kunni kesal sering menyaksikan ketidakjujuran, kebiadaban, dan ketidakadilan (pemerintah pusat, Indonesia) terhadap Riau.
Sementara itu, dalam ‘’Sabotase Satu’’, ‘’Sabotase Dua’’, dan ‘’Sabotase Tiga’’, sikap Kunni terlihat makin tegas. Secara metaforis, ‘’Sabotase Satu’’ dan ‘’Sabotase Dua’’ mengandaikan suasana kritis/genting yang dialami aku (Sa) dan saudara kembarnya (Si). Karena sudah bosan berada di rahim ibu, mereka ingin segera dilahirkan. Keinginan itu selalu ditolak sang ibu sehingga, untuk mengurangi kebosanan, Sa sempat menjalin hubungan dengan Si dan melahirkan Su. Sebagai akibatnya, karena rahim ibu makin sempit, mereka pun makin terhimpit dan terus mendesak untuk segera dilahirkan. Sekalipun demikian, sang ibu tetap bersikeras. Simbolisasi yang unik, personal, dan kompleks seperti itu pada awalnya bisa jadi akan membingungkan banyak orang. Siapakah tokoh-tokoh dalam puisi Kunni itu (Ibu, Ayah, Sa, Si, dan Su), misalnya, sulit ditebak. Namun, setelah disebutkannya 32 tahun kalian kukandung, kebingungan itu sedikit demi sedikit dapat dikurangi.
Sudah jadi pengetahuan umum, (bagi bangsa Indonesia) angka 32 identik dengan masa pemerintahan Orde Baru, sebuah rezim yang oleh kebanyakan orang (terutama kaum reformis) dianggap telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Berbekal pengetahuan itu, dengan demikian, pembaca akan segera dapat menduga bahwa (melalui puisinya itu) Kunni sesungguhnya sedang mengalegorikan penderitaan di masa pemerintahan Orde Baru. Penderitaan siapakah itu? Silakan menduga-duga. Yang pasti, kecuali ayah, semua tokoh dalam puisi itu menderita.
Begitulah, sebagai jurnalis, aktifis, dan perempuan penyair (sekaligus ibu rumahtangga), Kunni Masrohanti tak hanya memiliki kepekaan, tapi juga memiliki sikap kritis dan daya ungkap yang intuitif terhadap lingkungan dan masyarakatnya (Bumi Lancang Kuning). Sikap kritis dan daya ungkap yang intuitif itu, karena dibangun melalui sugesti simbolik yang unik, personal, dan kompleks, sering kali membuat pembaca terkendala dalam mengapresiasi puisi-puisinya. Pun dalam tulisan ini, siapa yang dimaksud Sun (dalam ‘’Pulau Nafsu’’) dan Tan (dalam ‘’Dari Dua Dua’’) serta Si, Su, dan Sa (dalam ‘’Sabotase Satu’’, ‘’Sabotase Dua’’, dan ‘’Sabotase Tiga’’), misalnya, hingga tulisan ini ditutup belum didapat jawabnya.
Pekanbaru, Maret 2012
Agus Sri Danardana, pengamat dan peminat sastra. Sebagai Kepala Balai Bahasa Riau, esai-esainya kerap diterbitkan di media massa dan bermastautin di Kota Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Juni 2012
No comments:
Post a Comment