Data buku:
Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri. Afthonul Afif. Kepik, Depok, 2012. xx + 352 halaman
KITA mengingat tragedi 1998 sebagai halaman buram tentang arus sejarah Tionghoa di Indonesia. Stigmatisasi dan aksi kekerasan menimbulkan khianat demokrasi. Perbedaan dan toleransi ditepikan nafsu politik-ekonomi. Kondisi itu menampilkan luka dan duka Indonesia. Sejarah panjang kehadiran Tionghoa seolah mengalami pengaburan. Kita kerap mengenang sejarah itu dalam pusaran politik. Dominasi narasi politik pun meminggirkan pengetahuan publik tentang ekspresi iman kaum Tionghoa.
Buku ini memberi ingatan tentang narasi iman dan konstruksi identitas kaum Tionghoa. Kita bisa mengingat sosok Cheng Ho sebagai pemula dari selebrasi iman. Tokoh moncer itu telah mengabarkan Islam di Nusantara sejak abad XV. Identitas sebagai muslim menjadi rujukan historis pertautan kaum Tionghoa di Nusantara. Perjumpaan iman dan kultural dengan pelbagai etnis di Nusantara memberi gairah toleransi. Jejak toleransi ini turut membentuk narasi Nusantara identik sebagai mozaik identitas mengacu ke pelbagai kiblat peradaban dan agama.
Lacak sejarah memberi peta kesadaran atas peran Tionghoa di Indonesia. Afirmasi Islam di kalangan Tionghoa memunculkan julukan "peranakan". Julukan ini mengacu ke pembedaan pandangan kolonial untuk Tionghoa muslim dan Tionghoa bukan muslim. Kesejarahan turut dipengaruhi oleh kebijakan kolonial. Identitas menjadi urusan pelik. Kaum Tionghoa mengalami dilema sebagai konsekuensi iman, politik, ekonomi. Identitas pelik terus bersambung ke abad XX saat muncul agenda nasionalisme dan modernisasi di Indonesia. Pengakuan diri sebagai Tionghoa muslim masuk ke narasi-narasi besar.
Barangkali kita lupa selembar foto bersejarah di tahun 1938. Foto itu menampilkan Hamka, Soekarno, Karim Oei. Mereka memang tampak akrab di foto. Mereka pun memiliki ikatan persahabatan di masa kolonialisme. Kita mengenal mereka sebagai simbol perjumpaan perbedaan. Hamka adalah tokoh agama dan pujangga asal Sumatera. Soekarno adalah tokoh pergerakan dengan seruan nasionalisme. Karim Oei adalah tokoh Tionghoa dengan manifestasi keislaman dan keindonesiaan. Mereka berjumpa untuk mengonstruksi identitas di negeri terjajah. Dialog dan toleransi menjadi modal kolektif demi mengisahkan Indonesia.
Selembar foto lama itu adalah harmoni. Kita memandang sejarah tanpa curiga politik pragmatis. Para penggerak bangsa justru mengabarkan tentang hasrat hidup bersama tanpa diskriminasi. Rajutan sejarah kaum Tionghoa dalam arus konflik di Indonesia memang memicu sengketa tafsir. Klaim agama, politik, ekonomi, kultural kerap mengeraskan perbedaan. Junus Jahja selaku tokoh Tionghoa muslim memberi anjuran untuk mengatasi konflik. Agenda asimilasi memberi sekian pilihan.
Afthonul Afif menempatkan kesejarahan identitas menjadi urusan genting bagi kaum Tionghoa untuk menjadi Indonesia. Perbedaan kebijakan politik kolonial, Orde Lama, Orde Baru membuat rujukan iman bergerak dalam jebakan dominasi dan diskriminasi. Tragedi 1965 dan 1998 kentara menjadikan kaum Tionghoa sebagai kambing hitam atau korban melalui perspektif politik dan curiga ekonomi-kultural.
Keruntuhan Orde Baru (1998) memberi sengatan makna identitas menjadi Indonesia. Orang-orang Tionghoa muslim mulai mengajukan pertanyaan reflektif mengenai jati diri di Indonesia. Mereka membuat selebrasi keindonesiaan dengan tumpuan iman dan penghampiran pelbagai ekspresi politik-kultural demi menguburkan stigmatisasi. Gairah demokrasi semakin menguatkan kebebasan mengaktualisasikan identitas sebagai muslim dan manusia Indonesia.
Buku tebal ini bisa jadi rujukan untuk membuka halaman-halaman sejarah dan kebermaknaan Tionghoa muslim di Indonesia. Pilihan menguak dan menarasikan arus pembentukan identitas kalangan Tionghoa muslim membuktikan ada sensibilitas reflektif. Afthonul Afif mengingatkan bahwa situasi Indonesia usai Orde Baru memang mengalirkan inklusivitas atas narasi identitas Tionghoa Muslim. Kondisi itu justru memberi aksentuasi tentang agenda asimilasi dan kemestian menjadi Indonesia. Peleburan identitas menjadi Indonesia adalah konsekuensi untuk mengamalkan diri demi agenda-agenda Indonesia abad XXI. Begitu.
Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Juni 2012
Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri. Afthonul Afif. Kepik, Depok, 2012. xx + 352 halaman
KITA mengingat tragedi 1998 sebagai halaman buram tentang arus sejarah Tionghoa di Indonesia. Stigmatisasi dan aksi kekerasan menimbulkan khianat demokrasi. Perbedaan dan toleransi ditepikan nafsu politik-ekonomi. Kondisi itu menampilkan luka dan duka Indonesia. Sejarah panjang kehadiran Tionghoa seolah mengalami pengaburan. Kita kerap mengenang sejarah itu dalam pusaran politik. Dominasi narasi politik pun meminggirkan pengetahuan publik tentang ekspresi iman kaum Tionghoa.
Buku ini memberi ingatan tentang narasi iman dan konstruksi identitas kaum Tionghoa. Kita bisa mengingat sosok Cheng Ho sebagai pemula dari selebrasi iman. Tokoh moncer itu telah mengabarkan Islam di Nusantara sejak abad XV. Identitas sebagai muslim menjadi rujukan historis pertautan kaum Tionghoa di Nusantara. Perjumpaan iman dan kultural dengan pelbagai etnis di Nusantara memberi gairah toleransi. Jejak toleransi ini turut membentuk narasi Nusantara identik sebagai mozaik identitas mengacu ke pelbagai kiblat peradaban dan agama.
Lacak sejarah memberi peta kesadaran atas peran Tionghoa di Indonesia. Afirmasi Islam di kalangan Tionghoa memunculkan julukan "peranakan". Julukan ini mengacu ke pembedaan pandangan kolonial untuk Tionghoa muslim dan Tionghoa bukan muslim. Kesejarahan turut dipengaruhi oleh kebijakan kolonial. Identitas menjadi urusan pelik. Kaum Tionghoa mengalami dilema sebagai konsekuensi iman, politik, ekonomi. Identitas pelik terus bersambung ke abad XX saat muncul agenda nasionalisme dan modernisasi di Indonesia. Pengakuan diri sebagai Tionghoa muslim masuk ke narasi-narasi besar.
Barangkali kita lupa selembar foto bersejarah di tahun 1938. Foto itu menampilkan Hamka, Soekarno, Karim Oei. Mereka memang tampak akrab di foto. Mereka pun memiliki ikatan persahabatan di masa kolonialisme. Kita mengenal mereka sebagai simbol perjumpaan perbedaan. Hamka adalah tokoh agama dan pujangga asal Sumatera. Soekarno adalah tokoh pergerakan dengan seruan nasionalisme. Karim Oei adalah tokoh Tionghoa dengan manifestasi keislaman dan keindonesiaan. Mereka berjumpa untuk mengonstruksi identitas di negeri terjajah. Dialog dan toleransi menjadi modal kolektif demi mengisahkan Indonesia.
Selembar foto lama itu adalah harmoni. Kita memandang sejarah tanpa curiga politik pragmatis. Para penggerak bangsa justru mengabarkan tentang hasrat hidup bersama tanpa diskriminasi. Rajutan sejarah kaum Tionghoa dalam arus konflik di Indonesia memang memicu sengketa tafsir. Klaim agama, politik, ekonomi, kultural kerap mengeraskan perbedaan. Junus Jahja selaku tokoh Tionghoa muslim memberi anjuran untuk mengatasi konflik. Agenda asimilasi memberi sekian pilihan.
Afthonul Afif menempatkan kesejarahan identitas menjadi urusan genting bagi kaum Tionghoa untuk menjadi Indonesia. Perbedaan kebijakan politik kolonial, Orde Lama, Orde Baru membuat rujukan iman bergerak dalam jebakan dominasi dan diskriminasi. Tragedi 1965 dan 1998 kentara menjadikan kaum Tionghoa sebagai kambing hitam atau korban melalui perspektif politik dan curiga ekonomi-kultural.
Keruntuhan Orde Baru (1998) memberi sengatan makna identitas menjadi Indonesia. Orang-orang Tionghoa muslim mulai mengajukan pertanyaan reflektif mengenai jati diri di Indonesia. Mereka membuat selebrasi keindonesiaan dengan tumpuan iman dan penghampiran pelbagai ekspresi politik-kultural demi menguburkan stigmatisasi. Gairah demokrasi semakin menguatkan kebebasan mengaktualisasikan identitas sebagai muslim dan manusia Indonesia.
Buku tebal ini bisa jadi rujukan untuk membuka halaman-halaman sejarah dan kebermaknaan Tionghoa muslim di Indonesia. Pilihan menguak dan menarasikan arus pembentukan identitas kalangan Tionghoa muslim membuktikan ada sensibilitas reflektif. Afthonul Afif mengingatkan bahwa situasi Indonesia usai Orde Baru memang mengalirkan inklusivitas atas narasi identitas Tionghoa Muslim. Kondisi itu justru memberi aksentuasi tentang agenda asimilasi dan kemestian menjadi Indonesia. Peleburan identitas menjadi Indonesia adalah konsekuensi untuk mengamalkan diri demi agenda-agenda Indonesia abad XXI. Begitu.
Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Juni 2012
No comments:
Post a Comment