Saturday, June 09, 2012

Di NTB, Menunggu Tetas Harapan Jassin

-- Budi Afandi


30 MEI adalah hari dimana telah dilahirkan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, hari kelahiran yang didasarkan pada saat ia (PDS H.B. Jassin) diresmikan oleh Ali Sadikin (1977) ketika menjabat sebagai Gubernur DKI. Semoga keberadaan PDS H.B. Jassin terjaga hingga akhir waktu, sehingga tetap bisa melakukan kerja-kerja yang selama ini telah, masih dan akan terus dilakukan.

Setitik Harapan Jassin

Bagi para pegiat dan peminat sastra Indonesia dan dunia, mungkin hanya sedikit yang tak mengenal nama, Hans Bague Jassin (alm), yang diakrabi juga dengan sebutan “Paus Sastra Indonesia.” Ada juga yang menggelarinya dengan sebutan “Penjaga Sastra Indonesia, “Kritikus sastra yang bekerja secara cermat dan kontinyu” juga “Penerjemah Yang Baik.” Ketekunan pria yang meninggal pada 11 Maret 2000 itu dalam giat pengembangan kesusastraan Indonesia sudah tidak perlu diragukan.

Bilamana saya teringat hari kelahiran PDS H.B. Jassin, saya teringat pula pada salah satu esai dalam kumpulan esai H.B. Jassin berjudul Koran dan Sastra Indonesia (Puspa Swara; 1994). Dalam buku itu terdapat esai penutup yang berjudul Fungsi Lampiran Kebudayaan Dalam Pembinaan Kesusastraan, yang dikutip dari H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai IV; Jakarta; Gramedia; 1985, edisi revisi hal.125-129.

Pada esai penutup itu ada kalimat Jassin yang berbunyi,”Pengharapan satu-satunya yang bergetar dalam hati sanubari ialah semoga tiap kota dan daerah merupakan pusat penerbitan kebudayaan.” Melalui esai itu Jassin menyoroti keberadaan Lampiran Kebudayaan di sejumlah majalah (pada masa itu). Dan dalam esai itu pula, jelas terpapar bagaimana Jassin memandang strategis sebuah ruang penerbitan yang disediakan bagi perkembangan kebudayaan dan kesusastraan. 

Hari ini, penerbitan dalam berbagai bentuknya, mulai dari koran, buku dan majalah telah menjadi ‘piring’ yang sangat besar peranannya dalam memberikan nutrisi bagi kehidupan kebudayaan dan kesusastraan dalam masyarakat. Kita bisa melihat dengan jelas, bagaimana terbitan-terbitan kebudayaan dan sastra muncul dan menghiasai rak-rak di toko buku, pun demikian terjadi pada majalah, tabloid dan koran.

Perkembangan  penerbitan kebudayaan, seni dan sastra tersebut sangatlah menyenangkan untuk dilihat, dinikmati, dipelajari dan kemudian dibanggakan. Mengingat posisi strategis kebudayaan, seni dan sastra memang demikian penting dalam sejarah perkembangan kita sebagai bangsa. Sesuatu yang juga sempat ditegaskan Jassin dalam kumpulan esai yang lainnya. (lihat H.B. Jassin; Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa; Puspa Swara;1993; hal.43-53)

Sampai detik ini, Suara NTB merupakan koran daerah di NTB yang mulai memberikan ruang dan mengelola tulisan-tulisan sastra dengan lebih profesional, tinimbang koran lainnya. Halaman Opini, Suara NTB secara umum telah memuat berbagai tulisan dalam berbagai genre, termasuk sastra. Bagi saya, hal itu menunjukkan indikasi positif yang bisa mengarah pada kemungkinan terwujudnya pengharapan yang bergetar di sanubari Jassin, di NTB.

Tanpa bermaksud mengecilkan keberadaaan koran lain yang ada di daerah ini. Saya memandang usaha Suara NTB sebagai anak dari inangnya (Bali Post), menunjukkan gelagat positif ke arah sikap yang telah lama dipilih Bali Post yakni menyediakan ruang Apresiasi bagi tulisan-tulisan sastra. Dan jika suatu ketika Suara NTB melakukan hal tersebut, lalu dikelola secara profesional, maka Suara NTB telah mengambil langkah berani untuk mencatatkan namanya dalam sejarah perkembangan Sastra Koran di Indonesia.

Hari ini, kita tentu bisa melihat banyaknya majalah, tabloid dan koran yang secara rutin menyediakan ruang sastra. Meski beberapa di antaranya tidak melakukan secara rutin, sebab ada koran yang menjadikan halaman tersebut sebagai halaman tidak tetap yang bisa muncul dan tak masalah jika dihilangkan.

Tapi tentu ada cukup banyak majalah, tabloid dan koran yang dengan serius mengelola halaman sastranya dan memertahankan dengan baik. Kita bisa melihat belasan hingga puluhan koran (nasional dan lokal di berbagai daerah) melakukan penerbitan halaman sastra secara rutin pada hari sabtu dan minggu. Sebut saja Bali Post, Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Sinar Harapan, Sindo, Riau Pos, Tribun Jabar, Medan Bisnis, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Padang Ekspres, Haluan Padang dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan sejak 1991, ada koran yang mulai melanjutkan penerbitan sastranya dengan menerbitkan buku kumpulan yang berisi karya sastra yang pernah mereka tayangkan di media masing-masing. Hal yang saya kira suatu ketika akan mampu dilakukan di NTB, mengingat besarnya potensi kesusastraan kita.

Modal Besar Kesusastraan NTB

NTB adalah sebuah kawasan yang memiliki sejarah kesusastraan (lisan dan tertulis) yang terbilang sangat besar. Sebagaimana yang disampaikan Usup Mahri dalam sebuah tulisannya berjudul, Ideologi Dalam Mitos Mandalika (Tinjauan Strukturalisme Lévi-Strauss). Bahwa begitu banyak karya sastra (lisan dan tertulis) yang kini masih tersebar di masyarakat, pun yang telah tersimpan di Museum NTB. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung mencapai lima ribuan. NTB juga begitu kaya dengan pencapaian kesusastran lisan di masa lampau, terlihat jelas dengan tidak sedikitnya sastra lisan dalam bentuk puisi dan prosa (dongeng).

Tapi tentu kita semua sadar, bahwa kebesaran sejarah kesusastraan kita tidak bisa hanya dibanggakan. Namun lebih dari itu, sejarah itu harus dibuktikan keberlanjutannya dengan karya-karya sastra di masa kekinian.

Di masa kini, cukup banyak penulis sastra NTB yang telah mencatatkan namanya dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Kita mengenal adanya (Alm) Putu Arya Tirtawirya, Dinullah Rayes. Kemudian ada Sindu Putra, Marewo, Imtihan Taufan, Eko Wahono, Geger Prahara, Rianto Rabbah, dan yang paling kekinian ada Kiki Sulistyo. Dan saya yakin  masih banyak lagi potensi penulis sastra di NTB yang belum tersentuh mata, tersembunyi di bentangan Lombok dan Sumbawa. 

Keberadaan sastrawan NTB yang hingga kini masih bertahan dan berkarya, kiranya patut menjadi pertimbangan bagi Suara NTB (jika nanti melahirkan halaman seni dan sastra). Saya kira mereka telah cukup teruji untuk menjadi penjaga gawang agar lempiran sastra bisa terjaga mutunya. Sesuatu yang sangat berkaitan dengan keberlangsungan halaman dan minat penikmat dan pembaca sastra. Hal yang telah dilakukan Bali Post dengan menempatkan sosok sekaliber Umbu Landu Paranggi (puisi) dan Oka Rusmini (cerpen). Pun begitu dilakukan Kompas dengan Putu Fajar Arcana (cerpen) dan Hasif Amini (sajak), Koran Tempo dengan Nirwan Dewanto, Sinar Harapan bersama Sihar Ramses Simatupang, Lampung Post dengan Udo Z. Karzi, dan banyak lagi yang lainnya.

Satu lagi potensi besar yang terpendam di NTB adalah adanya ribuan terbitan sastra di perpustakaan pribadi (alm) Putu Arya Tirtawirya. Sesuatu yang sangat tak berbilang nilainya jika mampu dirawat dengan baik dan dinikmati oleh generasi-generasi muda di NTB. Konon di ruang perpustakaan tersebut terdapat surat-surat antara almarhum dengan H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, Budi Dharma dan banyak tokoh sastra lainnya. Alangkah luar biasanya jika semua potensi tersebut dikelola dengan baik, untuk kemudian digunakan dan mampu mendatangkan manfaat, sebagaimana yang dilakukan (alm) H.B. Jassin dengan Pusat Dokumentasi Sastranya.

Budi Afandi, Departemen Kajian Komunitas Akarpohon Mataram-
     
Sumber: Suara NTB, Sabtu 9 Juni 2012

No comments: