-- Sugiarti
BANGSA ini adalah bangsa yang kaya dengan budaya. Keberagaman yang patut menjadi kebanggaan putra putri negeri di setiap penjuru dan pelosok. Sastra sebagai salah satu alat pengangkat simbol keberagaman tersebut sepatutnya ditempatkan di posisi yang tak kalah pentingnya dengan upaya penjagaan integritas sebuah bangsa.
Terlepas dari apresiasi awal sebuah kelompok masyarakat menerima keberadaan sebuah karya sastra, maka para �aktivis� sastra dituntut untuk sedia setiap saat bergelut dengan �keheningan� dunia sastra. Penyakit alergi sastra di kalangan masyarakat yang dapat dipicu oleh faktor minat yang kurang dan prospek ekonomi yang dianggap tidak menjanjikan menjadi tantangan awal para aktivis sastra yang ingin bergerak dan memajukan. Disadari atau tidak, kelompok-kelompok pengidap penyakit alergi sastra ini ada di sekitar kita. Solusinya tetap pada para penggiat sastra tadi, seberapa besar upaya yang dilakukan untuk bisa menciptakan lingkungan yang menyenangi sastra. Lingkungan yang dapat dimulai dari orang-orang terdekat, keluarga, saudara, rekan kerabat dan sebagainya.
Sastra memiliki peran penting dalam upaya pencerahan dan pencerdasan negeri. Nilai yang terkandung dalam setiap karya sastra terindikasi dengan seberapa besarnya manfaat yang dihasilkan melalui keberadaan sebuah karya sastra, baik bagi si penulis maupun orang lain yang membacanya. Masalah yang cukup kompleks akan terjadi apabila dikaitkan dengan faktor ekonomi bangsa ini. Betapapun tingginya nilai manfaat sebuah karya sastra, tidak akan pernah dirasakan oleh masyarakat, jika keperluan membaca masih menjadi urutan keperluan sekunder atau bahkan tersier.
Dari kaca mata positif ada sedikit angin segar bagi para penggiat sastra dewasa ini, diangkatnya beberapa novel populer ke layar lebar baru-baru ini telah mampu mentransisikan keberadaan sastra sebagian nilai tekstual menjadi visual yang memiliki beberapa nilai efesiensi di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat cukup mengeluarkan uang sebesar Rp20.000 untuk membeli tiket Ketika Cinta Bertasbih dibanding membeli novelnya yang jauh lebih mahal. Meski pada hakikatnya nilai yang terkandung secara tekstual sangat jauh berbeda dengan nilai visual yang kita dapatkan. Tapi setidaknya �nilai manfaat� yang ada pada sebuah karya sastra telah dapat ditransfer ke pikiran masyarakat.
Melihat cukup pentingnya keberadaan sebuah karya sastra dalam upaya pencerahan dan pencerdasan, maka salah satu langkah awal untuk mewujudkan peran tadi adalah upaya dini untuk mengkampanyekan menulis di kalangan masyarakat. Menulis dalam arti yang cukup luas, tak hanya terikat pada tulisan sastra. Sebab sastra adalah bagian dari kepenulisan. Jika tak didahului dengan keinginan untuk menulis maka keindahan sebuah sastra juga takkan pernah dirasakan.
Setelah didahului dengan langkah awal menciptakan budaya menulis, maka tahapan selanjutnya adalah memahami makna menulis secara komprehensif. Penulis profesional takkan mengkotak-kotakkan minatnya terhadap aneka jenis tulisan. Sebab tujuan utama yang harus ditanamkan di jiwa seorang penulis adalah sejauh mana �manfaat� yang dapat ia berikan dengan menulis baik pada dirinya maupun orang lain yang membacanya. Tulisan yang bermanfaat inilah yang dapat mewujudkan pencerahan sebuah negeri serta pencerdasan sebuah bangsa. Dan sastra adalah salah satu unsur yang kaya dengan manfaat. Sejauh mana seorang penulis mampu menghembuskan nilai-nilai manfaat dan keberartian sebuah karya sastra, maka sejauh itulah seorang sastrawan akan dapat hidup di sepanjang zaman. Seperti Raja Ali Haji yang abadi dengan Gurindam Dua Belas, membuktikan bahwa budaya, nilai dan manfaatlah yang lebih utama ditonjolkan dalam sebuah karya sastra, terlepas dari estetika yang juga perlu ditampilkan.
Para penggiat sastra, kelompok dan komunitas-komunitas sastra di negeri ini sesungguhnya memiliki tujuan dan peran yang sama untuk merealisasikan tujuan mulia mencerahkan dan mencerdaskan negeri dengan karya sastra. Sastra bukan sekadar tong sampah nilai estetika maupun perasaan keluh-kesah pribadi seorang sastrawan semata. Namun ada tujuan dan cita-cita bersama yang patut dirumuskan, yakni peran serta dan andil kita untuk mewujudkan Indonesia yang cerdas dan bermartabat di hadapan bangsa lain melalui nilai sastra dan budayanya, sesuai cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Keberadaan sastra adalah alat penyatu negeri, bukan sebagai pemecah. Sastra sebagai sarana kontrol sosial bukan sebagai alat pengejek maupun menjatuhkan lawan. Dari sinilah nantinya akan muncul para sastrawan pencerah negeri, sehingga kelak profesi sebagai seorang penulis lepas, penyair, cerpenis, novelis dan budayawan menjadi profesi yang cukup didambakan setiap anak negeri. n
Sugiarti, Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Juni 2012
BANGSA ini adalah bangsa yang kaya dengan budaya. Keberagaman yang patut menjadi kebanggaan putra putri negeri di setiap penjuru dan pelosok. Sastra sebagai salah satu alat pengangkat simbol keberagaman tersebut sepatutnya ditempatkan di posisi yang tak kalah pentingnya dengan upaya penjagaan integritas sebuah bangsa.
Terlepas dari apresiasi awal sebuah kelompok masyarakat menerima keberadaan sebuah karya sastra, maka para �aktivis� sastra dituntut untuk sedia setiap saat bergelut dengan �keheningan� dunia sastra. Penyakit alergi sastra di kalangan masyarakat yang dapat dipicu oleh faktor minat yang kurang dan prospek ekonomi yang dianggap tidak menjanjikan menjadi tantangan awal para aktivis sastra yang ingin bergerak dan memajukan. Disadari atau tidak, kelompok-kelompok pengidap penyakit alergi sastra ini ada di sekitar kita. Solusinya tetap pada para penggiat sastra tadi, seberapa besar upaya yang dilakukan untuk bisa menciptakan lingkungan yang menyenangi sastra. Lingkungan yang dapat dimulai dari orang-orang terdekat, keluarga, saudara, rekan kerabat dan sebagainya.
Sastra memiliki peran penting dalam upaya pencerahan dan pencerdasan negeri. Nilai yang terkandung dalam setiap karya sastra terindikasi dengan seberapa besarnya manfaat yang dihasilkan melalui keberadaan sebuah karya sastra, baik bagi si penulis maupun orang lain yang membacanya. Masalah yang cukup kompleks akan terjadi apabila dikaitkan dengan faktor ekonomi bangsa ini. Betapapun tingginya nilai manfaat sebuah karya sastra, tidak akan pernah dirasakan oleh masyarakat, jika keperluan membaca masih menjadi urutan keperluan sekunder atau bahkan tersier.
Dari kaca mata positif ada sedikit angin segar bagi para penggiat sastra dewasa ini, diangkatnya beberapa novel populer ke layar lebar baru-baru ini telah mampu mentransisikan keberadaan sastra sebagian nilai tekstual menjadi visual yang memiliki beberapa nilai efesiensi di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat cukup mengeluarkan uang sebesar Rp20.000 untuk membeli tiket Ketika Cinta Bertasbih dibanding membeli novelnya yang jauh lebih mahal. Meski pada hakikatnya nilai yang terkandung secara tekstual sangat jauh berbeda dengan nilai visual yang kita dapatkan. Tapi setidaknya �nilai manfaat� yang ada pada sebuah karya sastra telah dapat ditransfer ke pikiran masyarakat.
Melihat cukup pentingnya keberadaan sebuah karya sastra dalam upaya pencerahan dan pencerdasan, maka salah satu langkah awal untuk mewujudkan peran tadi adalah upaya dini untuk mengkampanyekan menulis di kalangan masyarakat. Menulis dalam arti yang cukup luas, tak hanya terikat pada tulisan sastra. Sebab sastra adalah bagian dari kepenulisan. Jika tak didahului dengan keinginan untuk menulis maka keindahan sebuah sastra juga takkan pernah dirasakan.
Setelah didahului dengan langkah awal menciptakan budaya menulis, maka tahapan selanjutnya adalah memahami makna menulis secara komprehensif. Penulis profesional takkan mengkotak-kotakkan minatnya terhadap aneka jenis tulisan. Sebab tujuan utama yang harus ditanamkan di jiwa seorang penulis adalah sejauh mana �manfaat� yang dapat ia berikan dengan menulis baik pada dirinya maupun orang lain yang membacanya. Tulisan yang bermanfaat inilah yang dapat mewujudkan pencerahan sebuah negeri serta pencerdasan sebuah bangsa. Dan sastra adalah salah satu unsur yang kaya dengan manfaat. Sejauh mana seorang penulis mampu menghembuskan nilai-nilai manfaat dan keberartian sebuah karya sastra, maka sejauh itulah seorang sastrawan akan dapat hidup di sepanjang zaman. Seperti Raja Ali Haji yang abadi dengan Gurindam Dua Belas, membuktikan bahwa budaya, nilai dan manfaatlah yang lebih utama ditonjolkan dalam sebuah karya sastra, terlepas dari estetika yang juga perlu ditampilkan.
Para penggiat sastra, kelompok dan komunitas-komunitas sastra di negeri ini sesungguhnya memiliki tujuan dan peran yang sama untuk merealisasikan tujuan mulia mencerahkan dan mencerdaskan negeri dengan karya sastra. Sastra bukan sekadar tong sampah nilai estetika maupun perasaan keluh-kesah pribadi seorang sastrawan semata. Namun ada tujuan dan cita-cita bersama yang patut dirumuskan, yakni peran serta dan andil kita untuk mewujudkan Indonesia yang cerdas dan bermartabat di hadapan bangsa lain melalui nilai sastra dan budayanya, sesuai cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Keberadaan sastra adalah alat penyatu negeri, bukan sebagai pemecah. Sastra sebagai sarana kontrol sosial bukan sebagai alat pengejek maupun menjatuhkan lawan. Dari sinilah nantinya akan muncul para sastrawan pencerah negeri, sehingga kelak profesi sebagai seorang penulis lepas, penyair, cerpenis, novelis dan budayawan menjadi profesi yang cukup didambakan setiap anak negeri. n
Sugiarti, Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Juni 2012
No comments:
Post a Comment