MUNSYI lahir di Melaka pada 1796 dan meninggal di Jeddah pada 1854. Ia berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang narasumber bagi Marsden, seorang peneliti bahasa Melayu asal Britania Raya. Meski lahir di Melaka (sekarang Malaysia), Munsyi sendiri banyak menghabiskan usianya di Singapura. Ia adalah seorang keturunan Arab. Tapi, konon, leluhurnya juga mewarisinya darah Tamil. Munsyi fasih berbicara bahasa dari India Selatan ini.
Sebenarnya, Munsyi mungkin lebih tepat disebut sebagai sastrawan alih-alih ahli bahasa. Ia menulis banyak karya realis-didaktis. Dua dari yang terkenal adalah ‘’Hikayat Abdullah’’ dan ‘’Hikayat Panca Tanderan’’. Namun, karena kayanya kosa-kata Melayu yang dikuasainya, ia (dan karyanya) sering dijadikan tempat menimba pengetahuan bagi para peneliti bahasa Melayu dari Barat (Inggris dan Belanda). Bahkan, di masa pemerintahan Raffles, tepatnya 1814, William Milne dari London Missionary Society, meminta Munsyi untuk memeriksa ketepatan penerjemahan Injil versi Leijdecker - Injil yang ditulis dengan bahasa Melayu Tinggi pada 1733.
Menariknya, meski Melaka merupakan wilayah jajahan Inggris, kebanyakan cendekiawan yang tertarik untuk meneliti karya-karya Munsyi adalah orang Belanda. Ini masuk akal. Saat itu, Belanda sedang giat-giatnya menggagahi bahasa Melayu untuk dipakai sebagai bahasa administrasi di wilayah jajahannya, Indonesia. Bahasa Melayu Riau-Johor, dari Sumatera, adalah bahasa yang dicomot, dimurnikan dari pertautan budayanya, dijejali logika tata-bahasa Belanda dan diangkat sebagai bahasa Melayu Tinggi, oleh Belanda. Amin Sweeney mencatat, karya-karya Munsyi sangat digemari pihak penjajah karena sikapnya yang pro-Eropa, tepatnya pro-Inggris. Ini dianggap celah menarik oleh Belanda. Dalam teks ‘’Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan’’, yang diterbitkan dalam bahasa Belanda dan menyiratkan pujian Munsyi pada pihak Inggris, setiap lema ‘’Inggris’’ diganti menjadi ‘’Orang Putih’’, yang membuat seakan-akan Belanda juga kebagian jatah kue pujian dari Munsyi.
HC Klinkert, cendekiawan asal Belanda, seorang pejuang bahasa Melayu Tinggi, adalah salah satu pengagum karya Munsyi, yang dianggapnya memuat bahasa Melayu yang paling murni. Lucunya, gaya bahasa Melayu Munsyi, seperti yang diutarakan Sweeney, sungguh beda dengan bahasa Melayu Riau-Johor yang dibanggakan pihak Belanda sebagai bahasa Melayu Tinggi itu. Ini untuk mengatakan bahwa sebenarnya Munsyi menggunakan bahasa Melayu Pasar, bahasa yang menjadi kebalikan dari Melayu Tinggi.
Lalu, apa hubungan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang berbahasa Melayu itu, dengan Bahasa Indonesia dan mengapa ia dianggap sebagai tokoh (pakar) bahasa? Seperti yang sudah sering kita ketahui, akar dari bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu menemukan keresmiannya sebagai bahasa nasional Republik Indonesia lewat Kongres Pemuda II, yang berbuah Sumpah Pemuda. Meski tak punya gelar doktor di bidang ilmu linguistik, Munsyi, sebagai pengguna giat bahasa Melayu, telah mempertontonkan kapasitas bahasa Melayu lewat kekayaan kosa-katanya yang melimpah yang tertuang lewat karya sastra yang ditulisnya. Perlu diingat, sastra salah satu ruang pembelajaran bahasa yang sangat mendasar.
Ia juga adalah orang yang dicari para misionaris untuk memperbaiki terjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu. Lewat nalar inilah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dianggap sebagai tokoh bahasa. Munsyi memang tak pernah menuliskan teori tentang tata-bahasa Melayu, kamus bahasa Melayu atau fonetik bahasa Melayu, dll. dsb. Tapi, tak terbantahkan bahwa keliaran bahasa taklah terkurung pada lingkup kajian yang teoretis dan normatif. Orang yang menaruh perhatian besar pada gerak-laju bahasa dan gejala berbahasa adalah orang yang menyiratkan kepakaran di bidang ini. Maka, seorang Munsyi layak untuk dianggap sebagai tokoh bahasa.
Nama Munsyi di Indonesia bahkan dijadikan istilah khusus yang dipakai oleh Kompas, lewat “Kolom Bahasa”-nya, sebagai lema yang muradif (bersinonim) dengan makna ‘pakar bahasa’, yang tak mesti memiliki gelar akademis linguistik-ahli linguistik mungkin lebih suka disebut sebagai linguis.(fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 3 Juni 2012
Sebenarnya, Munsyi mungkin lebih tepat disebut sebagai sastrawan alih-alih ahli bahasa. Ia menulis banyak karya realis-didaktis. Dua dari yang terkenal adalah ‘’Hikayat Abdullah’’ dan ‘’Hikayat Panca Tanderan’’. Namun, karena kayanya kosa-kata Melayu yang dikuasainya, ia (dan karyanya) sering dijadikan tempat menimba pengetahuan bagi para peneliti bahasa Melayu dari Barat (Inggris dan Belanda). Bahkan, di masa pemerintahan Raffles, tepatnya 1814, William Milne dari London Missionary Society, meminta Munsyi untuk memeriksa ketepatan penerjemahan Injil versi Leijdecker - Injil yang ditulis dengan bahasa Melayu Tinggi pada 1733.
Menariknya, meski Melaka merupakan wilayah jajahan Inggris, kebanyakan cendekiawan yang tertarik untuk meneliti karya-karya Munsyi adalah orang Belanda. Ini masuk akal. Saat itu, Belanda sedang giat-giatnya menggagahi bahasa Melayu untuk dipakai sebagai bahasa administrasi di wilayah jajahannya, Indonesia. Bahasa Melayu Riau-Johor, dari Sumatera, adalah bahasa yang dicomot, dimurnikan dari pertautan budayanya, dijejali logika tata-bahasa Belanda dan diangkat sebagai bahasa Melayu Tinggi, oleh Belanda. Amin Sweeney mencatat, karya-karya Munsyi sangat digemari pihak penjajah karena sikapnya yang pro-Eropa, tepatnya pro-Inggris. Ini dianggap celah menarik oleh Belanda. Dalam teks ‘’Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan’’, yang diterbitkan dalam bahasa Belanda dan menyiratkan pujian Munsyi pada pihak Inggris, setiap lema ‘’Inggris’’ diganti menjadi ‘’Orang Putih’’, yang membuat seakan-akan Belanda juga kebagian jatah kue pujian dari Munsyi.
HC Klinkert, cendekiawan asal Belanda, seorang pejuang bahasa Melayu Tinggi, adalah salah satu pengagum karya Munsyi, yang dianggapnya memuat bahasa Melayu yang paling murni. Lucunya, gaya bahasa Melayu Munsyi, seperti yang diutarakan Sweeney, sungguh beda dengan bahasa Melayu Riau-Johor yang dibanggakan pihak Belanda sebagai bahasa Melayu Tinggi itu. Ini untuk mengatakan bahwa sebenarnya Munsyi menggunakan bahasa Melayu Pasar, bahasa yang menjadi kebalikan dari Melayu Tinggi.
Lalu, apa hubungan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang berbahasa Melayu itu, dengan Bahasa Indonesia dan mengapa ia dianggap sebagai tokoh (pakar) bahasa? Seperti yang sudah sering kita ketahui, akar dari bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu menemukan keresmiannya sebagai bahasa nasional Republik Indonesia lewat Kongres Pemuda II, yang berbuah Sumpah Pemuda. Meski tak punya gelar doktor di bidang ilmu linguistik, Munsyi, sebagai pengguna giat bahasa Melayu, telah mempertontonkan kapasitas bahasa Melayu lewat kekayaan kosa-katanya yang melimpah yang tertuang lewat karya sastra yang ditulisnya. Perlu diingat, sastra salah satu ruang pembelajaran bahasa yang sangat mendasar.
Ia juga adalah orang yang dicari para misionaris untuk memperbaiki terjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu. Lewat nalar inilah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dianggap sebagai tokoh bahasa. Munsyi memang tak pernah menuliskan teori tentang tata-bahasa Melayu, kamus bahasa Melayu atau fonetik bahasa Melayu, dll. dsb. Tapi, tak terbantahkan bahwa keliaran bahasa taklah terkurung pada lingkup kajian yang teoretis dan normatif. Orang yang menaruh perhatian besar pada gerak-laju bahasa dan gejala berbahasa adalah orang yang menyiratkan kepakaran di bidang ini. Maka, seorang Munsyi layak untuk dianggap sebagai tokoh bahasa.
Nama Munsyi di Indonesia bahkan dijadikan istilah khusus yang dipakai oleh Kompas, lewat “Kolom Bahasa”-nya, sebagai lema yang muradif (bersinonim) dengan makna ‘pakar bahasa’, yang tak mesti memiliki gelar akademis linguistik-ahli linguistik mungkin lebih suka disebut sebagai linguis.(fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 3 Juni 2012
No comments:
Post a Comment