-- Dantje S Moeis
PEMBACAAN karya seni seakan kini merupakan suatu keharusan, bahkan merambah hampir ke seantero wilayah publik dengan pemaknaan suka-suka, berkadar atau yang tak berkadar sama-sekali. Yang lebih mengenaskan, bila pembacaan dan pemaknaan dilandasi pada faktor fanatisme beku, kebencian atau sebaliknya pemujaan yang membabi-buta. Menjadi persoalan tersendiri memang, yang ‘agak’ mudah-mudah susah, pada ruang seni apa saja, terutama dalam wilayah seni yang tak biasa, atau kerap disebut kontemporer atau kadangkala disebut juga seni postmodernisme. Ruang pemaknaan pada proses kreasi berlangsung hanya ditentukan oleh kreator dan kemudian setelah karya selesai dilempar ke ruang publik, tak lagi merupakan wilayah absolut miliknya, sebagai titik sentral dan menentukan makna tunggal bagi pembacaan karya seni.
Telaah tentang posisi seniman dalam kaitannya dengan masalah pemaknaan karya, si seniman seakan tak lagi boleh membayang-bayangi karyanya, melainkan tersuruk ke belakang, mudur dari ruang publik usai berkarya atau mencipta seni. Maka tampillah si pemerhati dan pemakna menjadi pencipta kedua. Kreasi pun mengalami re-kreasi. Inilah situasi yang disebut sebagai the death of the author, kematian sang pencipta kata Roland Barthes (filsuf, kritikus sastra, penganalisa kebudayaan asal Prancis), di mana ‘teks’ tak berhenti setelah diciptakan. ‘Teks’ kemudian berpeluang mengalami ‘re-kreasi’ kembali, namun bukan lagi oleh si pencipta melainkan si pengamat, atau apresian, menurut Jacques Derrida (lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930, meninggal di Paris, 8 Oktober 2004 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf Prancis yang dianggap sebagai pengusung tema dekonstruksi dalam filsafat postmodern. Teks tak harus tunduk pada satu makna saja, ia bisa di-‘dekonstruksi’ dalam hal ini teks dibiarkan ‘terbuka’ sehingga punya makna yang berubah-ubah.
Pendapat Roland Barthes jadi sebuah kebenaran yang tak terbantah saat ini memang. Namun pendapat itu dijelaskannya dengan berbagai keharusan bahwa ‘re-kreasi’ teks (text in art) pada karya seni, harus didasari oleh pendapat orang-orang patut dan berkemampuan (pengamat atau apresian), baik yang berpendidikan formal maupun yang tunak dan berpengalaman (praktisi/otodidak). Amat celakalah karya seni bila digagas, diproses, diciptakan oleh seniman yang kemudian direspon masyarakat yang mengacu pada pemaknaan dari hasil pembacaan sejak awal berproses hingga ke karya tercipta, yang kacau seperti beberapa kasus yang tercatat.
Hampir selusin karya seni rupa jadi korban sekelompok kaum vandalisme berbasis ideologi Nazi. Karya-karya yang dianggap Nazi sebagai bentuk ‘’kemerosotan’’ telah dimusnahkan, ditemukan. Patung terakota dan perunggu ini ditemukan saat pembangunan sebuah subway baru di kota Berlin. Tak hanya menemukan patung-patung, para pekerja juga menemukan 15 ribu benda-benda bersejarah yang ‘’dikutuk’’ rezim Hitler karena mengandung unsur-unsur serta tema anti-nasionalis atau mengkritik ideologi Nazi. Sepuluh dari potongan-potongan dipamerkan di Museum Neues, Berlin. Satu kepala laki-laki dari terakota terlalu rapuh untuk ditampilkan.
Otto Freundlich, yang memajang salah satu patung terakota itu pada 1925 dibunuh di kamp konsentrasi Lublin-Maidanek tahun 1943. Naum Slutzky, anggota dari sekolah Bauhaus, melarikan diri ke Inggris pada 1933, di mana dia mengajar seni dan tinggal sampai kematiannya pada 1965. Karyanya “Female Bust”, pada mulanya merupakan perunggu berkilauan. Wali Kota Berlin, Klaus Wowereit mengatakan, temuan patung-patung adalah ‘’keajaiban kecil’’ agar generasi muda Jerman tahu banyak tentang “masa gelap sebuah negeri’’. Sebuah ‘keajaiban kecil’ yang paling tidak, masih memberi kesempatan bagi para ‘peziarah sejarah’ masa kini dan masa depan untuk membaca, memaknai teks (text in art) dari karya-karya seniman masa lalu.
Akhir-akhir ini, di Indonesia, kejadian serupa --walau tak semua karya seni-- bernasib sama seperti pemusnahan ala Nazi, ala rezim setelah Saddam Husein dan lain-lain. Kebebasan setiap individu memaknai teks dari sebuah karya seni makin jelas tampak dan rata-rata gejolak yang timbul akibat ruang pemaknaan yang makin lebar, berpunca pada kealpaan.
Para penggagas atau seniman bermodalkan suka-suka hatinya saja membuat patung (karya-seni), yang penempatannya kemudian berada pada wilayah publik, menggunakan dana publik dan lain sebagainya yang berbau publik. Para penggagas, seniman yang karyanya berada pada wilayah publik, harusnya atau wajib melakukan riset yang ditinjau dari berbagai aspek serta melibatkan orang-orang paham dari berbagai disiplin bidang, agar di kemudian hari tak terjadi pemaknaan yang hiruk-pikuk dan bermuara pada ‘pengorbanan’.
Peristiwa rubuhnya patung Tiga Mojang di Perumahan Harapan Indah Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, patung yang merepresentasikan kebudayaan Sunda itu justru ditolak masyarakat Bekasi. ‘’Penggagas dan Nyoman Nuarta si pembuat patung tak melakukan riset mendalam sebelum membuat patung Tiga Mojang,’’ ujar Ali Anwar, sejawaran dan budayawan Bekasi. Bahwa Bekasi punya kebudayaan sendiri, tak bisa disamakan dengan Sunda meski masih satu Provinsi Jawa Barat. ‘’Patung itu tidak salah, yang salah adalah menempatkannya di Bekasi,’’ kata Ali Anwar.
Patung Tiga Mojang karya Nyoman Nuarta setinggi 17 meter itu sebenarnya dibuat sebagai simbol eksotisme Jawa Barat. Di mana ada tiga Mojang Priangan yang mengenakan pakaian adat Sunda dan menonjolkan sisi eksotisme serta keelokan tatar Pasundan. Sayang, patung ini dapat penolakan kuat dari masyarakat Bekasi.
Patung Sultan Hasanuddin, lagi-lagi karya pematung Nyoman Nuarta di bandara internasional Sultan Hasanuddin Makassar juga ditolak dengan komentar beragam. Patung salah buat. Patung raksasa yang tak mirip Sultan Hasanuddin itu tak ubahnya boneka India dalam lagu lawas Elya Kadam yang dikatakan sebagai hadiah ulang tahun. “Boleh dipandang tak boleh dipegang” dan berbagai pemaknaan lain hasil pembacaan teks dari sosok karya tersebut.
Di Riau (Pekanbaru) pun demikian. Cukup banyak karya-karya seni (patung/sculpture) yang dapat pemaknaan hiruk-pikuk yang syukur, taklah bermuara pada sikap vandalisme. n
Dantje S Moeis, redaktur majalah budaya Sagang, pekerja seni, dosen pada Sekolah Tinggi Seni Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 3 Juni 2012
PEMBACAAN karya seni seakan kini merupakan suatu keharusan, bahkan merambah hampir ke seantero wilayah publik dengan pemaknaan suka-suka, berkadar atau yang tak berkadar sama-sekali. Yang lebih mengenaskan, bila pembacaan dan pemaknaan dilandasi pada faktor fanatisme beku, kebencian atau sebaliknya pemujaan yang membabi-buta. Menjadi persoalan tersendiri memang, yang ‘agak’ mudah-mudah susah, pada ruang seni apa saja, terutama dalam wilayah seni yang tak biasa, atau kerap disebut kontemporer atau kadangkala disebut juga seni postmodernisme. Ruang pemaknaan pada proses kreasi berlangsung hanya ditentukan oleh kreator dan kemudian setelah karya selesai dilempar ke ruang publik, tak lagi merupakan wilayah absolut miliknya, sebagai titik sentral dan menentukan makna tunggal bagi pembacaan karya seni.
Telaah tentang posisi seniman dalam kaitannya dengan masalah pemaknaan karya, si seniman seakan tak lagi boleh membayang-bayangi karyanya, melainkan tersuruk ke belakang, mudur dari ruang publik usai berkarya atau mencipta seni. Maka tampillah si pemerhati dan pemakna menjadi pencipta kedua. Kreasi pun mengalami re-kreasi. Inilah situasi yang disebut sebagai the death of the author, kematian sang pencipta kata Roland Barthes (filsuf, kritikus sastra, penganalisa kebudayaan asal Prancis), di mana ‘teks’ tak berhenti setelah diciptakan. ‘Teks’ kemudian berpeluang mengalami ‘re-kreasi’ kembali, namun bukan lagi oleh si pencipta melainkan si pengamat, atau apresian, menurut Jacques Derrida (lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930, meninggal di Paris, 8 Oktober 2004 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf Prancis yang dianggap sebagai pengusung tema dekonstruksi dalam filsafat postmodern. Teks tak harus tunduk pada satu makna saja, ia bisa di-‘dekonstruksi’ dalam hal ini teks dibiarkan ‘terbuka’ sehingga punya makna yang berubah-ubah.
Pendapat Roland Barthes jadi sebuah kebenaran yang tak terbantah saat ini memang. Namun pendapat itu dijelaskannya dengan berbagai keharusan bahwa ‘re-kreasi’ teks (text in art) pada karya seni, harus didasari oleh pendapat orang-orang patut dan berkemampuan (pengamat atau apresian), baik yang berpendidikan formal maupun yang tunak dan berpengalaman (praktisi/otodidak). Amat celakalah karya seni bila digagas, diproses, diciptakan oleh seniman yang kemudian direspon masyarakat yang mengacu pada pemaknaan dari hasil pembacaan sejak awal berproses hingga ke karya tercipta, yang kacau seperti beberapa kasus yang tercatat.
Hampir selusin karya seni rupa jadi korban sekelompok kaum vandalisme berbasis ideologi Nazi. Karya-karya yang dianggap Nazi sebagai bentuk ‘’kemerosotan’’ telah dimusnahkan, ditemukan. Patung terakota dan perunggu ini ditemukan saat pembangunan sebuah subway baru di kota Berlin. Tak hanya menemukan patung-patung, para pekerja juga menemukan 15 ribu benda-benda bersejarah yang ‘’dikutuk’’ rezim Hitler karena mengandung unsur-unsur serta tema anti-nasionalis atau mengkritik ideologi Nazi. Sepuluh dari potongan-potongan dipamerkan di Museum Neues, Berlin. Satu kepala laki-laki dari terakota terlalu rapuh untuk ditampilkan.
Otto Freundlich, yang memajang salah satu patung terakota itu pada 1925 dibunuh di kamp konsentrasi Lublin-Maidanek tahun 1943. Naum Slutzky, anggota dari sekolah Bauhaus, melarikan diri ke Inggris pada 1933, di mana dia mengajar seni dan tinggal sampai kematiannya pada 1965. Karyanya “Female Bust”, pada mulanya merupakan perunggu berkilauan. Wali Kota Berlin, Klaus Wowereit mengatakan, temuan patung-patung adalah ‘’keajaiban kecil’’ agar generasi muda Jerman tahu banyak tentang “masa gelap sebuah negeri’’. Sebuah ‘keajaiban kecil’ yang paling tidak, masih memberi kesempatan bagi para ‘peziarah sejarah’ masa kini dan masa depan untuk membaca, memaknai teks (text in art) dari karya-karya seniman masa lalu.
Akhir-akhir ini, di Indonesia, kejadian serupa --walau tak semua karya seni-- bernasib sama seperti pemusnahan ala Nazi, ala rezim setelah Saddam Husein dan lain-lain. Kebebasan setiap individu memaknai teks dari sebuah karya seni makin jelas tampak dan rata-rata gejolak yang timbul akibat ruang pemaknaan yang makin lebar, berpunca pada kealpaan.
Para penggagas atau seniman bermodalkan suka-suka hatinya saja membuat patung (karya-seni), yang penempatannya kemudian berada pada wilayah publik, menggunakan dana publik dan lain sebagainya yang berbau publik. Para penggagas, seniman yang karyanya berada pada wilayah publik, harusnya atau wajib melakukan riset yang ditinjau dari berbagai aspek serta melibatkan orang-orang paham dari berbagai disiplin bidang, agar di kemudian hari tak terjadi pemaknaan yang hiruk-pikuk dan bermuara pada ‘pengorbanan’.
Peristiwa rubuhnya patung Tiga Mojang di Perumahan Harapan Indah Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, patung yang merepresentasikan kebudayaan Sunda itu justru ditolak masyarakat Bekasi. ‘’Penggagas dan Nyoman Nuarta si pembuat patung tak melakukan riset mendalam sebelum membuat patung Tiga Mojang,’’ ujar Ali Anwar, sejawaran dan budayawan Bekasi. Bahwa Bekasi punya kebudayaan sendiri, tak bisa disamakan dengan Sunda meski masih satu Provinsi Jawa Barat. ‘’Patung itu tidak salah, yang salah adalah menempatkannya di Bekasi,’’ kata Ali Anwar.
Patung Tiga Mojang karya Nyoman Nuarta setinggi 17 meter itu sebenarnya dibuat sebagai simbol eksotisme Jawa Barat. Di mana ada tiga Mojang Priangan yang mengenakan pakaian adat Sunda dan menonjolkan sisi eksotisme serta keelokan tatar Pasundan. Sayang, patung ini dapat penolakan kuat dari masyarakat Bekasi.
Patung Sultan Hasanuddin, lagi-lagi karya pematung Nyoman Nuarta di bandara internasional Sultan Hasanuddin Makassar juga ditolak dengan komentar beragam. Patung salah buat. Patung raksasa yang tak mirip Sultan Hasanuddin itu tak ubahnya boneka India dalam lagu lawas Elya Kadam yang dikatakan sebagai hadiah ulang tahun. “Boleh dipandang tak boleh dipegang” dan berbagai pemaknaan lain hasil pembacaan teks dari sosok karya tersebut.
Di Riau (Pekanbaru) pun demikian. Cukup banyak karya-karya seni (patung/sculpture) yang dapat pemaknaan hiruk-pikuk yang syukur, taklah bermuara pada sikap vandalisme. n
Dantje S Moeis, redaktur majalah budaya Sagang, pekerja seni, dosen pada Sekolah Tinggi Seni Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 3 Juni 2012
No comments:
Post a Comment