-- UU Hamidy
JUDUL tulisan di atas adalah kutipan puisi penyair Malaysia Usman Awang, dengan nama pena T Tongkat Waran, yang mendapat kehormatan sebagai seniman negara. Sebagai seniman negara dia mendapat berbagai kemudahan dari negara Malaysia, terutama jaminan biaya perawatan kesehatan seumur hidup. Puisi Usman Awang, pelopor Angkatan 50 Malaysia ini memberikan apresiasi bagaimana keris lambang kekuasaan berbanding pena lambang hati nurani. Keduanya punya ketajaman, tetapi masing-masing berbeda kemampuannya.
Keris sebagai lambang kekuasaan memang telah tampil dengan tindakan yang tegas, bahkan garang lagi menakutkan. Kekuasaan lebih banyak membuat hati manusia lebih keras daripada batu. Itulah sebabnya, kekuasaan jarang dipakai untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, tapi lebih sering dipakai untuk mempertahankan kebathilan. Kekuasaan yang dipegang dengan tidak memperhatikan perintah dan larangan Allah serta Rasul-Nya, maka kekuasaan itu hanya menjadi perabot setan. Sebab, hanya dengan pedoman hidup yang sempurna dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, hati manusia menjadi lembut, sehingga tindakannya mengandung hikmah lagi bijaksana.
Perhatikanlah tajamnya keris raja dalam sejarah umat manusia. Fir�aun dengan kekuasaannya sampai memandang dirinya bagaikan tuhan, lalu tega memasukkan Masyitah serta anaknya ke dalam kancah di atas tungku api. Namrud raja Babilonia memberi perintah agar Nabi Ibrahim As dibakar. Nero raja Romawi dengan sesuka hatinya membakar kota Roma. Penguasa Yahudi Israil membantai rakyat Palestina sepanjang tahun tanpa pandang bulu. Dan yang terakhir yang paling hebat, Amerika Serikat dengan kekuasaan dan senjatanya membunuh umat Islam di Irak, Afganistan, Pakistan serta menyiksa umat Islam sesuka hatinya melalui agen di bawah ketiaknya dengan dalih teroris.
Sungguhpun begitu, bagaimanapun juga tajamnya kekuasaan, namun yang disentuhnya hanyalah badan wadak tubuh kasar manusia. Keris atau kekuasaan tidak mampu menyentuh atau menindas hati nurani. Inilah keterbatasan kekuasaan yang sekaligus menjadi kelemahannya. Kekuasaan dengan mudah luntur dan kandas ketika tak ada kekuatan fisik yang mendukungnya, bagaikan keris yang patah menjadi majal.
Kekuasaan, bagaimanapun juga ambisi hendak mempertahankannya, namun tetap berakhir ketika ajal tiba. Selepas itu apabila mendengar atau membaca namanya, orang akan menyesalinya bahkan akan mengutuknya. Berbeda dengan pengarang yang beriman, namanya harum sepanjang masa. Tulisannya yang dapat menggetarkan hati nurani membuat sang pujangga terbayang masih hidup, sebagaimana dalam daftar pustaka terhadap namanya tidak dipakai kata almarhum.
Tidak demikian halnya dengan ketajaman pena pujangga yang punya sentuhan hati nurani. Ketajamannya tidak hanya sebatas hidup pujangga atau pengarang. Pesan yang digoreskan oleh pena pujangga telah melampaui ruang dan waktu serta mampu bergema sepanjang masa. Leon Agusta membuat rangkai sajak: Betapa batu aku betapa buta aku. Sajak itu mengetuk pintu hati kita sambil memberi pesan bahwa hati yang keras bagaikan batu, membuat mata jadi buta tidak dapat membedakan kenyataan yang dilihat.
Ibrahim Sattah penyair pucuk mali-mali menulis puisi: Sebab maut bernama maut sebab saatnya sampai. Ini juga memberi apresiasi yang benar tentang maut, yakni sesuatu yang niscaya akan datang ketika ajal sampai. Kemudian Idrus Tintin penyair rajawali hutan yang amat tajam improvisasinya, menulis dengan penanya: Banjir oh air, kemarau oh air, derita oh air mata, mengapa tak mengalir? Perhatikan nilai air yang berbeda dalam banjir dan kemarau. Tetapi air mata dari mana airnya jika derita tak pernah diatasi.
Demikianlah ketajaman pena pujangga, yang jelajahnya dapat menembus kalbu dengan hati nurani yang bergetar sepanjang hayat. Tak heran raja-raja Melayu masa silam yang taat beragama Islam, tidak hanya semata menghandalkan ketajaman kerisnya, tapi juga memperhatikan ketajaman pena ulama atau pengarang. Inilah yang berlaku di Aceh, Melaka-Johor dan Riau. Raja-raja Aceh telah memperhatikan pena Hamzah Fansuri dalam ��Syair Perahu��, bahwa kehidupan manusia menuju akhirat bagaikan perahu yang menyeberang. Maka perhatikanlah perahu diri masing-masing. Raja Melaka dan Johor memperhatikan pesan Tun Sri Lanang yang menulis ��Sejarah Melayu�� yang menjadi mutiara segala cerita dan cahaya segala perumpamaan. Maknanya, segala peristiwa yang berlaku di alam ini dengan kudrat dan iradat Allah, adalah pelajaran bagi manusia yang berakal.
Lantas di Riau, para sultan dan raja digedor habis-habisan oleh para pengarang dengan Raja Ali Haji yang paling hebat memberikan peringatan. Pena Raja Ali Haji menuliskan: Seribu pedang yang terhunus dengan segores kalam jadi tersarung. Begitulah ajaibnya kekuatan kalam, dengan rangkai kata yang diridhai Allah Swt. Betapapun hebatnya kekuasaan bahkan peperangan dengan pedangnya. Tapi dengan kehendak Allah akan menjadi reda atau berakhir, dengan pena yang menyampaikan kebenaran.
Raja Ali Haji selalu memberi amaran kepada pemegang teraju di Riau, agar jangan melupakan kematian atau akhirat, sebab mengingat akhirat itu adalah pohon segala kebajikan dan kemenangan. Karena itu tak heran jika ulama pengarang yang cemerlang ini membuat ikat gurindam: Barang siapa mengenal akhirat tahulah ia dunia melarat. Inilah ikat gurindam yang punya ketajaman dan kedalaman tentang makna kehidupan. Apalah hanya arti dunia ini berbanding akhirat. Melarat di dunia hanya dalam bilangan tahun. Tapi melarat di akhirat tidak mengenal pergantian waktu. Begitu pula nikmat dunia hanyalah apa yang bagaikan setetes air dari lautan nikmat di akhirat. Dan masih ada nikmat yang tiada tara di akhirat yang tak pernah dilihat mata, didengar telinga serta tak terlintas dalam hati. Semuanya akan berpunca pada nikmat melihat wajah Allah Yang Maha Indah, suatu nikmat yang tiada batas dan tidak pernah berakhir.
UU Hamidy, Menulis sedikitnya 50 buku tentang Melayu. Budayawan Pilihan Sagang 2007 ini juga tunak menulis esai dan kritik sastra. Kini masih aktif mengajar di Universitas Islam Riau dan bermastautin di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012
JUDUL tulisan di atas adalah kutipan puisi penyair Malaysia Usman Awang, dengan nama pena T Tongkat Waran, yang mendapat kehormatan sebagai seniman negara. Sebagai seniman negara dia mendapat berbagai kemudahan dari negara Malaysia, terutama jaminan biaya perawatan kesehatan seumur hidup. Puisi Usman Awang, pelopor Angkatan 50 Malaysia ini memberikan apresiasi bagaimana keris lambang kekuasaan berbanding pena lambang hati nurani. Keduanya punya ketajaman, tetapi masing-masing berbeda kemampuannya.
Keris sebagai lambang kekuasaan memang telah tampil dengan tindakan yang tegas, bahkan garang lagi menakutkan. Kekuasaan lebih banyak membuat hati manusia lebih keras daripada batu. Itulah sebabnya, kekuasaan jarang dipakai untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, tapi lebih sering dipakai untuk mempertahankan kebathilan. Kekuasaan yang dipegang dengan tidak memperhatikan perintah dan larangan Allah serta Rasul-Nya, maka kekuasaan itu hanya menjadi perabot setan. Sebab, hanya dengan pedoman hidup yang sempurna dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, hati manusia menjadi lembut, sehingga tindakannya mengandung hikmah lagi bijaksana.
Perhatikanlah tajamnya keris raja dalam sejarah umat manusia. Fir�aun dengan kekuasaannya sampai memandang dirinya bagaikan tuhan, lalu tega memasukkan Masyitah serta anaknya ke dalam kancah di atas tungku api. Namrud raja Babilonia memberi perintah agar Nabi Ibrahim As dibakar. Nero raja Romawi dengan sesuka hatinya membakar kota Roma. Penguasa Yahudi Israil membantai rakyat Palestina sepanjang tahun tanpa pandang bulu. Dan yang terakhir yang paling hebat, Amerika Serikat dengan kekuasaan dan senjatanya membunuh umat Islam di Irak, Afganistan, Pakistan serta menyiksa umat Islam sesuka hatinya melalui agen di bawah ketiaknya dengan dalih teroris.
Sungguhpun begitu, bagaimanapun juga tajamnya kekuasaan, namun yang disentuhnya hanyalah badan wadak tubuh kasar manusia. Keris atau kekuasaan tidak mampu menyentuh atau menindas hati nurani. Inilah keterbatasan kekuasaan yang sekaligus menjadi kelemahannya. Kekuasaan dengan mudah luntur dan kandas ketika tak ada kekuatan fisik yang mendukungnya, bagaikan keris yang patah menjadi majal.
Kekuasaan, bagaimanapun juga ambisi hendak mempertahankannya, namun tetap berakhir ketika ajal tiba. Selepas itu apabila mendengar atau membaca namanya, orang akan menyesalinya bahkan akan mengutuknya. Berbeda dengan pengarang yang beriman, namanya harum sepanjang masa. Tulisannya yang dapat menggetarkan hati nurani membuat sang pujangga terbayang masih hidup, sebagaimana dalam daftar pustaka terhadap namanya tidak dipakai kata almarhum.
Tidak demikian halnya dengan ketajaman pena pujangga yang punya sentuhan hati nurani. Ketajamannya tidak hanya sebatas hidup pujangga atau pengarang. Pesan yang digoreskan oleh pena pujangga telah melampaui ruang dan waktu serta mampu bergema sepanjang masa. Leon Agusta membuat rangkai sajak: Betapa batu aku betapa buta aku. Sajak itu mengetuk pintu hati kita sambil memberi pesan bahwa hati yang keras bagaikan batu, membuat mata jadi buta tidak dapat membedakan kenyataan yang dilihat.
Ibrahim Sattah penyair pucuk mali-mali menulis puisi: Sebab maut bernama maut sebab saatnya sampai. Ini juga memberi apresiasi yang benar tentang maut, yakni sesuatu yang niscaya akan datang ketika ajal sampai. Kemudian Idrus Tintin penyair rajawali hutan yang amat tajam improvisasinya, menulis dengan penanya: Banjir oh air, kemarau oh air, derita oh air mata, mengapa tak mengalir? Perhatikan nilai air yang berbeda dalam banjir dan kemarau. Tetapi air mata dari mana airnya jika derita tak pernah diatasi.
Demikianlah ketajaman pena pujangga, yang jelajahnya dapat menembus kalbu dengan hati nurani yang bergetar sepanjang hayat. Tak heran raja-raja Melayu masa silam yang taat beragama Islam, tidak hanya semata menghandalkan ketajaman kerisnya, tapi juga memperhatikan ketajaman pena ulama atau pengarang. Inilah yang berlaku di Aceh, Melaka-Johor dan Riau. Raja-raja Aceh telah memperhatikan pena Hamzah Fansuri dalam ��Syair Perahu��, bahwa kehidupan manusia menuju akhirat bagaikan perahu yang menyeberang. Maka perhatikanlah perahu diri masing-masing. Raja Melaka dan Johor memperhatikan pesan Tun Sri Lanang yang menulis ��Sejarah Melayu�� yang menjadi mutiara segala cerita dan cahaya segala perumpamaan. Maknanya, segala peristiwa yang berlaku di alam ini dengan kudrat dan iradat Allah, adalah pelajaran bagi manusia yang berakal.
Lantas di Riau, para sultan dan raja digedor habis-habisan oleh para pengarang dengan Raja Ali Haji yang paling hebat memberikan peringatan. Pena Raja Ali Haji menuliskan: Seribu pedang yang terhunus dengan segores kalam jadi tersarung. Begitulah ajaibnya kekuatan kalam, dengan rangkai kata yang diridhai Allah Swt. Betapapun hebatnya kekuasaan bahkan peperangan dengan pedangnya. Tapi dengan kehendak Allah akan menjadi reda atau berakhir, dengan pena yang menyampaikan kebenaran.
Raja Ali Haji selalu memberi amaran kepada pemegang teraju di Riau, agar jangan melupakan kematian atau akhirat, sebab mengingat akhirat itu adalah pohon segala kebajikan dan kemenangan. Karena itu tak heran jika ulama pengarang yang cemerlang ini membuat ikat gurindam: Barang siapa mengenal akhirat tahulah ia dunia melarat. Inilah ikat gurindam yang punya ketajaman dan kedalaman tentang makna kehidupan. Apalah hanya arti dunia ini berbanding akhirat. Melarat di dunia hanya dalam bilangan tahun. Tapi melarat di akhirat tidak mengenal pergantian waktu. Begitu pula nikmat dunia hanyalah apa yang bagaikan setetes air dari lautan nikmat di akhirat. Dan masih ada nikmat yang tiada tara di akhirat yang tak pernah dilihat mata, didengar telinga serta tak terlintas dalam hati. Semuanya akan berpunca pada nikmat melihat wajah Allah Yang Maha Indah, suatu nikmat yang tiada batas dan tidak pernah berakhir.
UU Hamidy, Menulis sedikitnya 50 buku tentang Melayu. Budayawan Pilihan Sagang 2007 ini juga tunak menulis esai dan kritik sastra. Kini masih aktif mengajar di Universitas Islam Riau dan bermastautin di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Juni 2012
No comments:
Post a Comment