-- Hardi Hamzah*
ROMANTISME kebudayaan massa, kiranya masih bersikukuh pada lahan ide dan diskursus yang tidak implementatif.
Dua ribu delapan sebagai tahun tikus, kenyataannya musti menggererek pula di proses kebudayaan. Binatang yang biasa mengerat ini, hanya membuat gigitan spontan kemudian perlahan mengunyahnya, meski tikus perlambang dari kerakusan yang menahan diri.
Pusaran budaya dunia, kenyataannya demikian pula, maka ketika ribut ribut soal Golden Globe (semacam Piala Citra dari PWI) di Inggris, sesungguhnya kebudayaan masa yang telah merampok kebudayan sebagai suatu kemurnian.
Demikian pula ketika festival di Cile tentang akulturasi kultur Amerika Latin, Meksiko, dan Brazil lebih banyak menampilkan tanggo dan samba yang western alias bernafas kebudayaan massa.
Demikianlah, kebudayaan massa tidak terbendung. Sosok di belahan Eropa Utara, telah menjadikan kaum nudis punya maskot sendiri dari kemenangan perjuangan Eropa Utara. Dunia ketimuran juga memainkan peran ini. Siklusnya berputar pada pencurian kebudayaan oleh Malaysia, dan pencotekan lukisan di Asia Tengah (Kazakstan). Inilah suatu fenomena.
Lalu, apakah sebenarnya kebudayaan massa itu, apakah kebudayaan yang telah inheren, bahkan setidaknya telah "nikah siri" dengan proses- proses mental manusia, sehingga gugusannya bermain pada tingkatan kekuatan glamor, drug, dan berbagai dimensi maksiat lewat dunia maya dan dunia realitas?
Prinsipnya, kebudayaan massa identik disfungsional bagi idiom etik, moralitas agama dan aspek spiritual animisme lainnya. Kebudayaan massa mengeluarkan anyir yang baunya tak tertahankan. Padahal, dalam semangatnya, terutama yang ditulis oleh sejarawan politik George Mc Turnan Kahin dalam bukunya Revolution and Political Movement (1947), jelas dieksplanasikan, kebudayaan massa sebagai suatu ideal tipikal penataan strata dan pranata sosial masyarakat.
Kalau komunitas itu beragama melewati kebudayaan massa, ujar Kahin, akan terjadi perjuangan yang ketat dalam kehidupan. Persoalannya, barangkali tidak pada strata sosial yang benar, ini selalu terjadi di dunia ketiga. Kebudayaan massa dan religiositas berkutat di sarang penyamun kenyamnan dan kenikmatan sejenak. Kebudayaan massa, kini "kembar siam" dengan berbagai variabel pekat (penyakit masyarakat). Patologi adalah telah mentransformasikan politik kebudayaan menjadi muara dari seluruh variabel di luarnya, sehingga kalau kita bicara ekonomi, kata konsumtif yang ketemu, bicara politik identik kerakusan kekuasaan, bicara sosial identik kejahatan dengan berbagai dimensinya, dan ketika kita harus sungguh-sungguh bicara kebudayaan, yang ketemu sinetron, film seks, plastik seremoni tradisi, dan aspek-aspek ikutannya.
Dalam dinamika itu, kebudayaan massa berpilar pada siklus antara das sien dan das sollen. Kita tidak meninggalkan sesuatu yang tidak terjual. Kebudayaan massa, lalu buru-buru kita ingin "nikahkan" dengan semangat keagamaan. Inilah proses yang tidak pernah ketemu. Sebagai guru ngaji masak kita akan paksa berkawan dengan pencampur minuman keras (bartender). Artinya, kita selalu ingin mendesakkan sesuatu yang frontal di luar akar kebudayaan yang penuh perubahan. Ini, sesungguhnya "kejahatan kemanusiaan".
Kebudayaan massa sebagai "anak kandung" globalisasi yang menikah dengan kapitalisme dan liberalisme, mendasarkan dirinya pada human material, di mana kebudayaan ini memperkosa dan merampok serta meremas-remas puting kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional, sehingga anak-anak muda, mudah sekali orgasme dalam geliat kebudayaan ala teenager ini. Di sinilah sebenarnya, kecelakaan muncul dan bersandar pada wilayah paling hakiki dari perilaku generasi muda.
Kebudayaan massa menekuk-nekuk kerohanian, jati diri, dan berbagai aspek lainnya yang pada gilirannya mencerabut seluruh nilai-nilai. kehormatan kita. Kebudayaan massa, kalaulah kemudian ingin dipaksakan menikah dengan cagar budaya di ruang (wilayah) kebudayaan Timur, ia tak pelak hanya akan melahirkan "anak haram" tanpa wajah. Karena itu, anak ini sampai tua akan terus memakai topeng.
Paradigma apa yang dapat menjelaskan, bahwa kebudayaan massa bisa lebih terhormat di mata generasi yang selalu berperang dengan nafsu? Pada galibnya, ruang anasir kebudayaan massa lahir karena diberi asupan gizi yang cukup dari media massa, terutama ekslarasi teknologi informasi yang sedemikian pesat. Dengan asupan gizi berstandar instan, acapkali pula kebudayaan massa melakukan hubungan badan dengan reaksi reaksi psikologis irasionalnya kaum muda.
Dalam kaitan tersebut, kebudayaan massa dengan leluasa memamerkan tubuhnya di atas pentas kehidupan. Di atas tubuh kebudayaan massa, termuat banyak aksesori, seperti pearcing, tindik, rok mini, goyang Inul, dan seabrek lagi perilaku transseksual lainnya. Kebudayaan massa kemudian mengayuh biduk kebudayaan popo dan komersialisasi gaya hidup di tengah sungai dan lautan generasi muda. Samuderanya begitu besar, menggelembungkan semangat konsumerisme, elitisme, dan new midle class (kelas menengah baru) yang rentan inteligensi, ia terus mengayuh biduk dengan penumpang bervarian.
Kendati biduk tak pernah sampai ketepian, namun biduk kebudayaan massa, mampu menstimulasi instuisi generasi muda untuk sulit turun dari biduk itu untuk menjadi generasi yang sebenarnya. Barangkali Gramscy yang mampu mempetakan kebudayaan massa ke stratifikasi sosial secara faktual, sehingga dapat diidentifikasi mengapa kebudayaan (instan) massa ini dapat meraih tempat tersendiri di kalangan kaum muda dan kalangan jetset lainnya.
Penjelasan Gramscy, sekaligus memberikan solusi bagi kita yang berfondasi moralitas agama. Gramscy melihat kebudayan massa mudah berproses dan ditangkap di negara berkembang karena ketika akulturasi antara Utara (maksudnya negara maju) dan Selatan (negara dunia ketiga, negara-negara di Utara dengan serta merta mengambil pilar-pilar religiositas generasi muda, karena pranata generasi di Selatan rentan, di mana proses proses akulturasi selalu ditumpangi oleh miras, narkoba, pesona surga lewat aksesori seks bebas dan lainnya. Akibatnya, kebudayaan massa tidak hanya berada di titik akulturasi, tetapi justru mengambil sebagian dari roh dan kesenyawaan global.
Alternatifnya, kebudayaan massa di Indonesia tidak memiliki pilihan dalam akselerasinya. Dengan demikian, model-model sederhana yang signifikan untuk menguatkan generasi masa depan sesungguhnya harus berstandar pada dua nilai das sollen dan das sien meski ini memang tidak mudah.
* Hardi Hamzah, Peneliti Madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Sciences (INSCISS)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Maret 2008
No comments:
Post a Comment