-- Shiho Sawai*
DI Indonesia, belakangan muncul juga komunitas yang berbasis gerakan literasi, seperti Rumah Dunia, 1001 Buku dan Indonesia Membaca. Komunitas sejenis ini dimotori oleh individu yang memiliki kepedulian tentang kurangnya akses buku bagi kalangan tertentu. Mereka membangun rumah bacaan di masyarakat lokal, atau mencari donasi buku untuk disalurkan kepada rumah bacaan di berbagai daerah.
Komunitas pemasaran penerbit dan komunitas gerakan literasi itu penting, karena telah memperluas dimensi wacana komunitas sastra. Keenam jenis komunitas sastra di atas jelas merangkul orientasi ideologis yang bebeda-beda. Misalnya, sejak penerbitan menjadi industri yang menguntungkan, banyak pribadi dan komunitas sastra mampu memutar dana dari hasil penjualan buku untuk membiayai kegiatan yang lain.
Hal itu memunculkan kepentingan bagi komunitas sastra untuk menerbitkan buku yang laku, yang melahirkan ideologi memprioritaskan laba di luar mutu dan estetika dalam sastra, seperti terlihat dengan kemunculan SMSlit, teenlit dan chiclit yang laku keras di pasar kalangan muda. Ini juga menciptakan ideologi bahwa sastra adalah komoditas untuk mengekspresikan gaya hidup.
Kedua ideologi tersebut mendukung makna buku sebagai benda, dan mempopulerkan kegiatan orang membeli, membawa, membaca buku, serta mengikuti komunitas sastra sebagai gaya hidup.
Perluasan dan perbanyakan sarana sastra itu memperlemah kekuasan redaksi atau kritik sastra sebagai "paus sastra" yang selama ini dianggap mutlak untuk menilai sastra. Keadaan ini memunculkan ideologi egalitarianisme dan anti-elitisme dalam sastra. Namun, ideologi yang menjunjung kebebasan ekspresi juga melahirkan rasa waspada terhadap kebebasan itu sendiri.
Sekarang, hilangnya sesuatu yang harus ditakuti, entah itu paus sastra atau lembaga sensor negara, menyebabkan masyarakat kemudian menciptakan batas kebebasan sendiri, dengan menggunakan ideologi seperti anti-liberalisme atau anti-eksploitasi seksualitas dalam sastra.
Namun, banyak aksi pemberdayaan masyarakat melalui buku muncul karena ideologi bahwa buku adalah alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Ini berarti bahwa aktivitas sastra mampu menghadapi masalah nyata di masyarakat, dengan mengkaitkan persoalan buku dengan kepedulian masyakat terhadap kalangan yang tidak mampu.
Relasi ideologi
Variasi ideologi di atas saling terkait dalam relasi yang berbeda-beda. Peningkatan kebebasan ekspresi dan jenis aktivitas komunitas sastra menciptakan ideologi seperti anti-imperialisme ataupun pro dan kontra eksplorasi seksualitas sebagai satu variasi dari ekspresi wacana sastra. Namun, ini adalah sebuah antitesis dari kebebasan ekspresi itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi muncul dari implikasi realita sosial yang berbeda dan saling bertentangan.
Sedangkan, ideologi aktivisme sastra untuk pemberdayaan juga muncul sebagai satu varian dari perkembangan wacana sastra mutakhir. Ideologi ini didukung oleh inovasi teknologi informasi, sebab komunitas ini tidak bisa beroperasi tanpa alat komunikasi elektronik untuk menyalurkan buku ke berbagai wilayah.
Di samping itu, ideologi tersebut juga membagi sikap dengan ideologi anti-liberalisme dalam pendekatan yang mengaitkan sastra dengan keadilan sosial. Lebih jauh, ideologi ini berpotensi bekerjasama dengan ideologi komersialisasi industri buku, dalam persoalan mengatasi masalah jaringan distribusi buku.
Gambaran tersebut memperlihatkan pluralitas ideologi dan relasi di antaranya yang kadang saling melengkapi dan bekerjasama, atau bersebelahan.
Keberadaan ideologi seperti itu persis seperti pembahasan Foucault yang menganggap ideologi seperti "sarang laba-laba", tersebar ke seluruh masyarakat dengan jaringan yang kadang ke satu arah, kadang ke berarahan. Juga, ini bisa dikaitkan dengan konsep post-Marxis, yang menggarisbawahi keberadaan manusia yang memerlukan ideologi untuk menemukan sosok diri (Self) atau yang lain (the Other) dalam pandangan dunianya.
Fungsi ideologi tersebut bisa menjadi pandangan alternatif dibandingkan dengan konsep ideologi Marxis klasik yang membatasi pemahaman ideologi dalam relasi dialektik seperti konflik antar-kelas ataupun antara kapitalisme dan komunisme.
Jika kita menggunakan konsep ideologi post-Marxis ini, perilaku manusia yang "bergabung" ke (ideologi) komunitas sastra secara temporer untuk tujuan masing-masing tampak sebagai hal yang wajar. Kemudian, komunitas bisa menjadi suatu ruang fleksibel sebagai sumber ideologi yang plural, untuk menemukan beragam ideologi dalam dialog.
Demikian, daripada terjebak pada mitos bahwa ideologi komunitas adalah kaku dan harus dipilih satu di antara yang lain, kita harusnya bisa menerima perbedaan ideologi di dalam/antara komunitas sebagai sumber kekayaan wacana sastra.
Kesimpulan
Tulisan ini mengulas bagaimana keragaman ideologi di komunitas sastra pada pasca-Orde Baru dilahirkan melalui interaksi dengan kondisi sosialnya, dan masing-masing ideologi mempunyai aspek yang terbuka terhadap interpretasi yang berbeda-beda.
Di samping itu, telah diobservasi bahwa keanekaragaman ideologi itu didukung oleh karakter komunitas sastra yang merangkul ambiguitas dalam batas ideologi dan keanggotaannya. Ambiguitas ini membuat sarana komunitas sebagai peluang untuk menyiasati berbagai dimensi ideologi untuk tujuan yang berbeda.
Di sini, kolektivitas komunitas tampil sebagai sarana untuk berpolitik secara personal, dalam artian setiap pelakunya selalu mengidentifikasikan diri melalui relasi dengan komunitas ataupun berbagai pihak lain.
Fokus kepada sifat politis di tingkat personal itu masih belum dieksplorasi banyak dalam pembahasan ideologi komunitas sastra, karena politik ideologi yang kaku di antara kelompok yang bermusuhan yang selama ini dirujuk dalam pembahasan ideologi komunitas sastra, seperti terlihat dalam konflik di antara kelompok Lekra dan non-Lekra pada zaman Orde Lama.
Tentu, hal itu juga suatu pola berpolitik komunitas sastra melalui ideologi, namun zaman telah berubah dan paradigma pembahasan ideologi pun mulai bergeser, sehingga sifat berpolitik kaku tersebut bukan satu-satunya sumber penggunaan ideologi.
Maka, lingkup penyelidikian tentang sifat politis itu seharusnya mulai bergeser dari sisi makro ke mikro-sosial, dengan memperhatikan proses dan konteks pelaku sastra dalam mendapatkan identitas melalui ideologi yang terdapat secara relasional dengan berbagai pihak yang lain.
Secara singkat, tulisan ini berusaha memperlihatkan bahwa istilah "komunitas sastra" adalah sebuah ideologi tersendiri, dengan mengandung prasangka seperti komunitas memiliki solidaritas yang monolitis dan statis. Padahal, komunitas sastra adalah entitas yang bisa merangkul solidaritas yang longgar oleh beragam individu, yang keanekaragaman dimensinya akan memperbanyak sudut pembahasan dan memperkaya wacana ideologi sastra ke berbagai arah.
Begitulah harapan tulisan ini terhadap perkembangan pembahasan tentang ideologi komunitas sastra ke masa depan. Semoga kita bisa membuat pembahasan ideologi sebagai hal yang lebih nyata, lebih komunikatif dan lebih dekat dengan persoalan kehidupan kita sehari-hari.
* Shiho Sawai, Tokyo University of Foreign Studies
Sumber: Republika, Minggu, 16 Maret 2008
No comments:
Post a Comment