-- Mudji Sutrisno*
BANGSA ini lebih senang berwacana setelah kejadian (post factum) ketimbang melakukan analisis dan tindakan antisipatif.
Gejala satu, setelah kejadian banjir besar, baik di Jakarta maupun di wilayah Bengawan Solo, analisis yang canggih mengenai sebab-sebab banjir langsung tertumpah kepada kita. Sebut misalnya sistem drainase yang tidak jalan, penggundulan hutan,tadah air,atau waduk yang lebih cepat mengalami pendangkalan sehingga luapan air hujan tidak tertampung lagi.
Hutan beton bangunan yang didirikan, tidak disiplinnya masyarakat membuang sampah, dan selokan-selokan yang tidak pernah dibersihkan juga penyebab utama banjir. Semua pendapat tersebut muncul bagai ritual sesudah kejadian atau post factum. Apa artinya? Artinya, bangsa ini, terutama penanggung jawab di posisi kebijakan dan masyarakat umumnya, amat canggih berwacana dan berlogika setelah kejadian.
Mengantisipasi dan melakukan tindakan persiapan dan pencegahan banjir tiap kali hanya berupa omongan sok canggih dan laporan kertas rapi daftar kesiapan. Namun, saat peristiwa banjir datang,kertas dan omongan itu lenyap tak berjejak dan diganti lagi dengan ritus analisis canggih post factum yang makin memuakkan karena isinya adalah masuk terperosoknya ke lubang yang sama dari keledaikeledai.
Cerminan logika post factum adalah ungkapan cara berpikir ad hoc reaktif tanpa perencanaan, apalagi tanpa hitungan jauh ke depan.Bangsa ini pernah punya pendiri-pendiri bangsa dengan cara berpikir visioner jauh ke depan dari penindasan sampai pemenjaraan dan penulisan bukubuku dahsyat berharga, menjadi Indonesia yang merdeka dan berdaulat, serta mencantumkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lalu, sejak kapan bangsa ini mengalami degradasi hanya berpikir berdasar naluri sesaat dan reaksi jangka pendek seolah tidak memiliki logika berpikir abstraktif dan visioner? Jawaban pertama bisa dicari pada elitisme cara berpikir yang memisahkan pertanyaan mendasar mengenai hidup berbangsa dengan penderitaan tak terucapkan dan tak terbahasakan dari rakyat banyak.
Konsekuensi jurang ini adalah nilai peduli kontekstualisasi cara berpikir demi kesejahteraan rakyat banyak nyaris disedot habis oleh kepentingan elite di mana pun dia berada. Jurang ketidakpedulian, apalagi formalitas seolah-olah mendengarkan suara rakyat dan berpikir bersama mereka hanya merupakan ritual rayuan rakyat di saat pemilu dan di saat membutuhkan suara mereka untuk kepentingan kursi dan posisinya.
Apalagi, jurang kekayaan dan kemiskinan yang semakin lebar akibat fundamentalisme ekonomi pasar yang mematahkan dan membuat lemas rakyat banyak menghayati hak hidup ekonominya karena dipotong oleh swalayan-swalayan modern multikapital dan sistem moneter yang memutarkan uang sebagai komoditi dan tidak pernah mengembalikan proses ekonomi hak hidup sehari-hari pada tiap individu untuk mencari nafkah.
Dari uraian di atas langsung terlihat “jalan tol” logika elite untuk kepentingannya sendiri dan jurang “jalur lambat” logika rakyat biasa yang selalu jadi landasan dan hanya didengarkan saat kejadian dan sesudah kejadian, lalu diberi janjijanji dalam wujud wacana analisis logis post factum.
Namun, ketika bencana melanda lagi, tidak terjadi penanganan dan pencegahan dalam logika persiapan jarak jauh. Gejala kedua, tampilan para pemangku jabatan dan wewenang biasanya mengelak dengan membuat masuk akal wacana yang seolah logis,tapi post factummenyalahkan alam,mengambinghitamkan pihak lain, dan melemparkan tanggung jawab ketika penanggung jawab jalan tol bandara menyalahkan kantong resapan yang ditimbuni bangunan pengembang.
Lantas, pejabat setempat menyalahkan drainase yang mampat dan tidak berfungsi. Hingga akhirnya terjadi saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab.Berhadapan dengan persoalan di atas, ditantanglah tiga wilayah solusi terhadap ekspresi logika post-factum. Wilayah pertama, cara berpikir merancang dan menghitung detail sebuah kejadian dengan konsekuensinya sudah menjadi kerangka teoritik, paling tidak sudah masuk sebagai “pengetahuan” analisis SWOT dalam logika mengatasi masalah dan bencana.
Persoalannya, bagaimana agar logika SWOT ini tidak “karatan”dalam teori dan sekadar menjadi pengetahuan, tapi masuk praksis implementasi yang butuh pengontrolan pelaksanaannya. Di situ penanggung jawab ada dalam pelaksana lapangan, lengkap dengan laporannya. Wilayah kedua, diperlukan kerendahan hati untuk mau live in, terlibat dan hidup bersama orang-orang kecil dan merumuskan permasalahan, suara,dan keterbatasan mereka,yang tidak akan tampak hanya kalau dikunjungi saat upacara dan cari muka kampanye saja.
Untuk itu, banyak kontribusi para LSM pembela mereka yang bisa diajak kerja sama untuk menjembatani jurang antara elite dengan rakyat. Apalagi, perguruan tinggi menyediakan kerangka penelitian dan perumusan solusi dengan perhitungan ilmiah. Dalam sebuah kerja sama yang sebenarnya sudah banyak dilakukan, wilayah dua tanggung jawab bersama ini akan mewujudkan kepedulian meningkatkan yang kecil dari keterpurukannya menjadi lebih bermartabat.
Musuh dari wilayah dua ini adalah logika proyek dengan pemotongan hampir 30% untuk kantong-kantongnya sendiri. Wilayah ketiga, dibutuhkan keberanian menapaki langkah penghimpunan informasi. Selanjutnya, sosialisasi visi dan dialog terbuka konflik-konflik kepentingan antara rakyat dengan elite yang tidak boleh ditutupi atau dilindungkan pada pelaksanaan kepastian hukum yang selalu gusur dulu dan jatuhlah korban yang sudah menghuni 10–20 tahun di situ.
Pertanyaan logisnya, “Kok baru sekarang pemberlakuan hukum dilaksanakan?” Bila mengacu pada tipologi kebudayaan umumnya di nusantara ini yang berciri patron-clien dan berciri pusat daerah, yakni priyayi-abdi, serta yang di atas dan yang di bawah, maka jalan budaya demokratis terbuka secara politis yang masih transisional ini harus terus dipercepat dan dilangkahkan serentak dengan demokrasi ekonomi serta demokrasi sosial budaya.
Artinya, cara berperilaku logika safari elite yang sok tahu, merasa tahu, serta paling tahu harus didobrak untuk menjadi pembelajaran bersama-sama tahu menghadapi realitas bencana dan kejadian malapetaka sebagai fakta.
Untuk itu, pertanyaan yang menjadi gugatan sumbangan dari pemberantasan cara pikir post-factum adalah harus munculnya kontribusi profesional dan kualitatif dari cendekiawan, praktisi, rakyat, ekonom, ekolog, birokrat seturut wilayah tanggung jawab profesionalnya dan tanggung jawab nurani kepedulian pada sesama manusia warga bangsa.
* Mudji Sutrisno, Budayawan
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 2 Maret 2008
No comments:
Post a Comment