Saturday, March 29, 2008

Opini: Warisan Tan Malaka

-- Yandry Kurniawan Kasim*

KUNJUNGAN Harry A Poeze ke Indonesia disambut bak bangsawan oleh para pengagum Tan Malaka. Poeze berhasil menghadirkan sosok Tan Malaka di Indonesia, bahkan dunia internasional dengan utuh, lengkap, dengan berbagai romansa yang mengiringi alur kehidupannya.

Melalui berbagai karya Poeze, khalayak mengenal sosok Tan Malaka yang misterius dan/atau kegemilangan gagasan yang seolah bersemburan dari tubuh kurus, kecil, dan sakit-sakitan. Bagi kita, pengetahuan tentang Tan Malaka justru dibentangkan oleh seorang Belanda, bangsa yang dilawan dan berusaha diusir selama hidup Tan Malaka. Sebuah ironi, tetapi begitu humanis.

Gagasan Tan Malaka


Penghargaan tanpa batas harus diberikan kepada berbagai gagasan Tan Malaka. Namun, tanpa mengurangi arti keluhuran buah pikirnya, gagasan-gagasan itu dapat dipahami dan dimaknai secara lebih proporsional pada dua tataran, filosofis dan strategis.

Pada tataran filosofis, gagasan Tan Malaka begitu progresif dan visioner, melampaui zamannya. Ini ditunjukkan minimal oleh dua karya Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) ditulis di Kanton tahun 1925, dan Madilog (Materialisme, Logika, Dialektika) ditulis tahun 1942-1943.

Melalui karya pertama, tak berlebihan jika Moh Yamin menyebut Tan Malaka sebagai ”Bapak Republik Indonesia”. Di sini Tan Malaka tidak hanya mencanangkan Indonesia merdeka, tetapi sekaligus menetapkan Indonesia merdeka itu kelak akan berbentuk republik.

Menuju Republik Indonesia ditulis delapan tahun lebih awal dari Ke Arah Indonesia Merdeka yang ditulis Moh Hatta tahun 1932 dan sembilan tahun lebih awal dari Mentjapai Indonesia Merdeka yang ditulis Soekarno tahun 1933.

Sementara Madilog berawal dari kegelisahan Tan Malaka dalam memahami nasib bangsanya sebagai resultan feodalisme, kolonialiasme, dan kepercayaan terhadap takhayul yang bercampur ilmu akhirat yang tanggung.

Madilog memberi jalan keluar dengan mengenalkan dialektika-materialisme dalam tradisi keilmuan Barat, dengan menonjolkan penguatan logika sebagai tahap awal. Pada dasarnya, Madilog berupaya menawarkan satu kerangka pikir modern sebagai alat pembongkar (dekonstruksi dan rekonstruksi) bongkahan keterbelakangan intelektual masyarakat Indonesia pada masa itu.

Pada tataran strategis, gagasan Tan Malaka begitu radikal, nonkooperatif, bahkan konfrontatif dengan highest call yang begitu tinggi, seperti dituangkan dalam Minimum Program yang dicanangkannya tahun 1946. Gagasan pada tataran ini dapat ditelaah dari dua sisi pandang.

Pertama, tuntutan radikal, nonkooperatif, dan konfrontatif akan berguna dalam membakar semangat persatuan dan perjuangan kaum muda dalam mempertahankan republik yang masih bayi.

Kedua, dari sisi pragmatisme penyelenggaraan negara yang baru lahir beserta seluruh keterbatasan sumber daya dan faksionalisme yang begitu tajam, Minimum Program menafikan realitas sifat hubungan antarnegara dalam sistem internasional.

Dengan semangat kebijakan yang radikal, nonkooperatif, dan konfrontatif, sulit untuk membayangkan Indonesia akan mendapat dukungan internasional, terutama dari negara adidaya ketika itu untuk bertahan.

Secara empiris, sejarah memperlihatkan tidak ada negara setelah Perang Dunia II yang dapat berdiri sendiri tanpa bantuan internasional (khususnya Amerika Serikat), baik negara pemenang maupun kalah perang di Eropa maupun Pasifik. Kebijakan-kebijakan politik (terutama politik luar negeri dalam bernegosiasi dengan aktor eksternal) yang dipaksakan Tan Malaka saat itu sangat membatasi (kalau tidak menghilangkan) ruang gerak serta alternatif pendekatan dan pilihan solusi.

Warisan Tan Malaka


Terlepas dari semua kegemilangan maupun kontroversinya, gagasan Tan Malaka adalah pemikiran orisinal anak bangsa yang ditujukan untuk kemajuan peradaban bangsanya dan mendapat tempat yang mendunia. Keseluruhan gagasan Tan Malaka harus diapresiasi sebagai sebuah kesempurnaan olah budi sehingga harus dilestarikan dalam taman sari khazanah intelektual bangsa Indonesia.

Dalam konteks kekinian, ada dua pilihan moderat untuk melestarikan warisan Tan Malaka.

Pertama, memopulerkannya sebagai kajian akademik, khususnya di perguruan-perguruan tinggi. Gagasan Tan Malaka akan memperkaya ilmu sosial dan politik yang telah berkembang di Indonesia.

Kedua, menjadikannya sebagai rujukan dalam setiap bentuk moral enterpreneur dalam setiap gerakan civil society berdampingan secara harmonis dengan paham-paham humanisme lainnya.

Gagasan Tan Malaka pada tataran filosofis tak tergantikan meski pada tataran strategis perlu perdebatan lebih dalam, apalagi jika disandingkan dengan dinamika Indonesia modern saat ini. Namun, di atas semua itu, gagasan (bahkan ajaran) Tan Malaka harus tetap lestari dan berkontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keunggulan olah budi itu jangan hanya berakhir menjadi fosil sejarah di balik pigura dalam ruang hampa dan tidak tersentuh gerak peradaban, yang akhirnya hanya dipatut-patut oleh generasi penerus sepanjang zaman.

Setelah 57 tahun sejak kematiannya, setelah lebih dari setengah abad, misteri kematian Tan Malaka baru terungkap. Syahdan seorang bijak pernah berkata, ”revolusi memakan anak kandungnya sendiri”, maka Tan Malaka adalah anak kandung yang menjadi korban revolusi perjuangan. Ia menjadi korban meski seluruh hidup dan kehidupannya telah didedikasikan untuk negara merdeka 100 persen yang dicita-citakannya.

* Yandry Kurniawan Kasim , Peneliti Pusat Kajian Global Civil Society-Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008

No comments: