Saturday, March 22, 2008

Sastra: Melarung Emosi Lewat Puisi Lirik

PENYANYI membuai pendengar lewat lagu yang dilantunkannya. Sedangkan penyair membuai penonton lewat untaian kata dalam puisi hasil karyanya. Seperti halnya musik yang memiliki beberapa genre, puisi pun memiliki suatu genre yang disebut puisi lirik.

Penyair, Sapardi Djoko Damono (kiri) bersama pengamat sastra, Kris Budiman (kanan) memberikan paparan pada diskusi sastra "Imperium Puisi Liris Indonesia" di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (19/3). (SP/Ignatius Liliek)

Puisi lirik merupakan sajak yang mengungkapkan evolusi pemikiran dan sastra yang kompleks. Pada puisi lirik, elemen musik dimasukkan. Cara ini dimaksudkan untuk menyampaikan nilai-nilai emosional secara khas. Ini karena evolusi perasaan muncul melalui bunyi. Seperti dikatakan pujangga Indonesia Sapardi Djoko Damono dalam diskusi "Imperium Puisi Liris Indonesia" di Jakarta baru-baru ini.

"Puisi lirik merupakan suatu genre yang mungkin penting sekali tetapi tidak populer. Ketika berbicara tentang puisi, itu berbicara tentang bunyi (rima, irama-Red). Sebenarnya puisi lirik itu sesuatu yang menguasai perasaan. Namun, yang diungkapkan bukan hanya perasaan tetapi pada proses berpikir dan merasa. Proses tersebut kemudian yang ditangkap puisi lirik itu," katanya kepada SP.

Menurut Sapardi, yang menerima penghargaan SEA Write Award pada 1986, proses berpikir dan merasa memunculkan makna, atmosfer, perasaan, suasana yang tergantung pada pembaca syair tersebut.

Lirik, kata pendiri Yayasan Lontar itu, berasal dari kata lira yang adalah alat musik sejenis harpa berukuran kecil. Sama seperti alat musik tersebut, puisi lirik dibuat dengan tujuan untuk "dimainkan" dan didengar. Pada zaman nenek moyang, tulisan yang ditulis belum dapat disebut puisi kalau belum dinyanyikan. Maka, meskipun tertulis, ketika berbicara tentang puisi berarti berbicara tentang bunyi.

Periode

Puisi lirik sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Ciri menonjol dari genre tersebut berupa ungkapan perasaan yang mendayagunakan melodi kata untuk membangkitkan suasana.

Puisi lirik melewati beberapa periode, yaitu periode klasik di masa ini puisi lirik dikembangkan oleh musisi-penyanyi Sappho, Pindar, Anacreon, dan Alceus di zaman Yunani kuno. Di Tiongkok dikembangkan oleh Qu Yuan dan Song Yu.

Di abad pertengahan, di Persia muncul Ghazal, Omar Khayyam, dan lain sebagainya. Di Eropa, tokoh utama puisi lirik yaitu penyair Prancis Trouveres dan Chretien de Troyes. Di Jerman, Minnesang. Pada abad ke-17, puisi lirik dikembangkan oleh penyair seperti Horace, di Inggris muncul John Donne.

Pada abad ke-18, masih ada penyair puisi lirik yang bertahan seperti Oliver Goldsmith dan Thomas Gray. Di Jerman muncul JW Goethe dan Schiller. Di Jepang muncul lirik Kobayashi Issa. Pada abad ke-19, di Inggris bangkit soneta tradisional misalnya karya William Wordsworth, John Keats. Periode abad ke-20 diwarnai secara mencolok oleh ungkapan perasaan penyair terutama penyair Amerika seperti Ezra Pound, TS Elliot dan Carlos Williams.

Puisi lirik yang mendunia, merasuki tradisi puisi modern Indonesia sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Toto Sudarto Bachtiar, dan Sitor Situmorang. Jejak para penyair modern itu kemudian diikuti dan dikembangkan Goenawan Mohamad, Rendra, Taufiq Ismail, Abdul Hadi WM, dan Sapardi Djoko Damono.

Menurut Kris Budiman, penulis yang juga hadir dalam diskusi, dominasi genre puisi lirik di dalam konfigurasi wacana puisi Indonesia yang lebih bersifat hegemonis, praktik-praktik puisi lirik kemudian melahirkan semacam ideologi sastra tertentu disebut lirisisme.

Lirisisme, kata penulis yang kerap menulis tentang sastra, gender, dan media itu, merupakan paham atau ideologi estetis yang mengedepankan dua ciri pembeda, yakni penekanan pada ekspresi perasaan dan emosi personal secara intens, serta kualitas musikal tertentu.

Puisi Indonesia, menurut Kris, sangat diwarnai puisi lirik, mulai dari generasi pionir seperti Mohammad Yamin dan Rustam Effendi lewat soneta-soneta seperti Bukan Beta Bijak Berperi. Ada juga penyair-penyair terkini seperti Zen Hae atau Mashuri. [AMT/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 22 Maret 2008

No comments: