Friday, March 28, 2008

Analisis: Minat Baca Indonesia, Belum Menjadi Sumber Informasi

DALAM Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Pasal 4 ayat 5, disebutkan bahwa salah satu cara penyelenggaraan pendidikan adalah dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Karena begitu pentingnya membaca, leluhur bangsa Indonesia menciptakan ungkapan 'membaca adalah kunci ilmu', sedangkan 'gudangnya ilmu adalah buku'.

Lalu bagaimana kondisi dunia baca di Indonesia? Data yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2003 tentu dapat dijadikan gambaran bagi kita bagaimana minat baca bangsa Indonesia. Data itu menggambarkan bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran pada minggu lalu hanya 55,11%. Sementara itu, yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%, buku pelajaran sekolah 44,28%, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07%.

Data BPS lainnya juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum menjadikan baca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton televisi dan atau mendengarkan radio. Malahan kecenderungan cara mendapatkan informasi lewat membaca stagnan sejak 1993. Hanya naik sekitar 0,2%. Jumlah itu jauh jika dibandingkan dengan menonton televisi yang kenaikan persentasenya mencapai 21,1%.

Data pada 2006 menunjukkan bahwa orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5% dari total penduduk. Sementara itu, mendapatkan informasi dengan menonton televisi sebanyak 85,9% dan mendengarkan radio sebesar 40,3%.

Angka-angka itu menggambarkan bahwa minat penduduk Indonesia masih rendah. Peningkatan minat baca di Indonesia dapat kita rangsang dari anak-anak. Namun saat ini pun kondisi kemampuan membaca (reading literacy) anak Indonesia masih rendah. Tidak perlu dibandingkan dengan negara yang sudah maju, dengan sesama negara berkembang lainnya pun kemampuan membaca anak-anak Indonesia masih rendah.

Data lain juga menunjukkan hal yang sama. Pada 1992, International Association for Evaluation of Educational (IEA) melakukan studi tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar kelas IV 30 negara di dunia. Kesimpulan dari studi tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-29! Hanya setingkat di atas peringkat terakhir, Venezuela.

Lalu, World Bank pada laporan pendidikan Education in Indonesia From Cricis to Recovery menyebutkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI sekolah dasar di Indonesia masih di bawah negara Asia lainnya. Laporan tersebut mengutip hasil Vincent Greannary pada 1998 yang menunjukkan Indonesia hanya mampu meraih nilai 51,7, sedangkan negara Asia lainnya yang juga menjadi objek studi, yaitu Filipina, memperoleh nilai 52,6; Thailand dengan nilai 65,1; Singapura dengan nilai 74,0, dan Hong Kong memperoleh nilai 75,5

Buruknya kemampuan membaca anak-anak Indonesia berdampak pada penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada 2003 terhadap para siswa kelas II SLTP 50 negara di dunia menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu duduk di peringkat ke-34 dalam kemampuan bidang matematika. Siswa Indonesia hanya diberi ilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional, 467. Sementara itu, hasil tes bidang ilmu pengetahuan hanya mampu menduduki peringkat ke-36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasional, 474.

Keberadaan perpustakaan dan buku

Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah adalah sarana dan prasarana khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang belum mendapat prioritas. Di sisi lain, kegiatan membaca membutuhkan buku-buku yang memadai dan bermutu serta ditunjang eksistensi perpustakaan.

Perpustakaan sarana dan sumber belajar yang efektif untuk menambah pengetahuan melalui beraneka bacaan. Berbeda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari secara klasikal di sekolah, perpustakaan menyediakan berbagai bahan pustaka yang secara individual dapat digumuli peminatnya masing-masing. Ketersediaan beraneka bahan pustaka memungkinkan tiap orang memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya, dan kalau warga masyarakat itu menambah pengetahuannya melalui pustaka pilihannya, akhirnya merata pula peningkatan taraf kecerdasan masyarakat itu. Kalau kita sepakat bahwa perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat ditentukan meningkatnya taraf kecerdasan warganya, kehadiran perpustakaan dalam suatu lingkungan kemasyarakatan niscaya turut berpengaruh terhadap teratasinya kondisi ketertinggalan masyarakat yang bersangkutan.

Perpustakaan juga harus bisa diandalkan untuk menyediakan buku-buku bermutu. Buku-buku bermutu yang menyangkut isi, bahasa, pengarang, lay-out atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat 'merangsang berahi membaca' orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat di mana-mana serta harganya dapat dijangkau semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat, kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya akan tercipta sebuah kondisi 'masyarakat konsumen membaca' yang akan mengonsumsi buku-buku setiap hari sebagai kebutuhan pokok dalam hidup keseharian.

Namun jumlah perpustakaan di Indonesia masih amat kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 220 juta jiwa. Alfons Taryadi dalam bukunya Buku dalam Indonesia Baru terbitan Yayasan Obor Indonesia tahun 1999 menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat satu perpustakaan nasional, 117 ribu perpustakaan sekolah dengan total koleksi 106 juta buku, 798 perpustakaan universitas, dan 326 perpustakaan khusus. Sementara itu, perpustakaan yang disediakan untuk masyarakat umum hanya 2.583 perpustakaan. Bila dirasiokan, perpustakaan umum yang ada harus sanggup untuk melayani 85 ribu penduduk.

Kondisi perpustakaan di hampir semua sekolah masih belum memenuhi standar. Perpustakaan belum sepenuhnya berfungsi di sana. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal perpustakaan sekolah merupakan sumber membaca dan sumber belajar yang sangat vital bagi muridnya.

Perluasan jangkauan layanan perpustakaan baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar luas, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.

Saat ini, IKAPI bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI sedang menyusun rancangan besar minat baca dan menuju budaya baca. IKAPI juga berencana menggulirkan satu sistem yang dinamakan perpustakaan bergilir. "Perpustakaan bergilir adalah satu konsep bahwa judul buku di satu kelurahan itu berbeda untuk setiap RT (rukun tetangga). Jadi setiap dua bulan akan berputar ke RT lain dengan judul yang lain,” ujar Setia Dharma Madjid, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).

Pertumbuhan industri percetakan di Indonesia per tahun nampak berkembang. Saat ini, terdapat sebanyak 7.760 industri cetak. Kondisi ini jika dibandingkan dengan negara lain masih tertinggal. China mempunyai sedikitnya 90 ribu industri cetak, sedangkan di India sebanyak 45 ribu industri.

Sementara itu, ketersedian buku-buku di Indonesia juga sangat terbatas. China dengan penduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140 ribu judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15 ribu judul buku baru per tahun, Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10 ribu judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa penduduk hanya mampu menerbitkan 10 ribu judul buku baru per tahunnya.

Kepala Pusat Grafika Indonesia (Ka Pusgrafin) Depdiknas Pudjo Sumedi AS mengemukakan, 10 ribu terbitan buku itu didominasi buku umum, yakni sebanyak 3.200 judul atau 32%, sedangkan buku pelajaran sebanyak 2.500 judul atau 25%. Sementara itu, buku anak atau remaja sebanyak 1.900 judul (19%), Agama 1.800 judul (18%), dan perguruan tinggi 800 judul (8%).

Tingkat pembeliannya pun seret. Sebagai contoh di Malaysia, untuk kategori buku nonfiksi, misalnya, pengalaman penerbit di sana akan menghabiskan waktu 6-12 bulan sekali cetak dengan jumlah 2.000 eksemplar. Bandingkan dengan Indonesia yang menghabiskan waktu hingga tiga tahun, padahal populasi penduduk di Malaysia hanya 12% dari penduduk Indonesia. Itulah gambaran dunia baca kita. Masih perlu kerja keras dari semua pihak jika ingin buku untuk perubahan.

(Dudi Herlianto, Litbang Media Group)

Sumber: Media Indonesia, Jumat, 28 Maret 2008

No comments: