-- Afthonul Afif Mahasiswa*
PERNAH pada suatu masa, pada tahun 50-an sampai awal tahun 60-an wacana etnisitas di ambang kematian karena dianggap kedaluwarsa dalam kajian ilmu-ilmu sosial. Etnisitas disikapi sebagai gejala pramodern yang tidak sejalan dengan pembangunan ilmu dan teknologi sehingga lambat laun akan lenyap dari katalog kajian ilmu sosial.
THOMDEAN /Kompas Images
Dalam The Ethnic Phenomenon (1981), Pierre van den Berghe dengan cermat menggambarkan bagaimana sebagian besar ilmuwan sosial waktu itu begitu pesimistis menyikapi etnisitas.
Sebagai gejala masyarakat pramodern, menurut Berghe, etnisitas tak lebih dari sekadar limbah partikularisme yang tidak cocok dengan kecenderungan masyarakat industri. Suatu masyarakat yang menjunjung tinggi prestasi, universalisme, dan nasionalisme.
Para teoretikus pembangunan atau modernisasi begitu yakin, dalam masyarakat industri—dengan pembagian kerja yang makin rumit—masalah-masalah etnisitas secara bertahap akan tenggelam dan kebudayaan modern menjadi satu-satunya kemungkinan dari evolusi panjang peradaban umat manusia.
Secara teoretik, modernisasi memang merupakan keniscayaan sejarah yang sulit disangkal, namun secara empirik selalu saja ada deviasi-deviasi yang memaksa kita untuk menerima bahwa modernisasi tidak selamanya berwajah tunggal. Ahmed Gurnah (Alan Scott (ed.), The Limits of Globalization, 1997: 120), misalnya, melihat globalisasi budaya tidak sesederhana sebagai sebuah homogenisasi budaya sebagaimana diyakini oleh para teoretikus pembangunan. Tetapi di dalamnya terdapat proses seleksi, pertukaran, dan pengaruh yang rumit antarbudaya.
Meruyaknya etnisitas
Futurolog modernis seperti Alvin Toffler sendiri jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa globalisasi kebudayaan tidak serta-merta membawa wajah dunia dalam satu rupa, tetapi juga telah memicu munculnya resistensi budaya lokal yang notabene berbasis etnik.
Pada abad ke-21, lanjut Toffler, masalah etnisitas akan kembali mengemuka karena dipicu oleh kegagalan negara nasional memfasilitasi dialog antar-etnik dan mewujudkan kehidupan politik-ekonomi yang berkeadilan.
Ramalan Toffler sepertinya bukanlah isapan jempol semata sebab gerakan-gerakan sosial berbasis etnis dan masalah-masalah sosial yang berpangkal pada etnisitas berkecambah lagi hampir di seluruh penjuru dunia. Keberhasilan partai bernuansa etnik, seperti One Nation Party pimpinan Pauline Hanson yang meraih sepuluh kursi di parlemen Negara Bagian Queensland dan tiga kursi di Senat Federal Australia pada tahun 1990-an, adalah contoh yang cukup fenomenal.
Andai saja masalah etnisitas dari awal tidak dianggap sebagai anak haram bagi ilmu sosial, barangkali para ilmuwan sosial tidak akan gagap dalam menjelaskan dan memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial kontemporer. Karena disukai atau tidak, seperti ditulis Koentjaraningrat (1993:3), dari 175 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hanya 12 negara yang penduduknya relatif homogen. Karena itu, pengabaian masalah etnisitas dapat menjadi bom waktu yang setiap saat dapat berkembang menjadi gejolak sosial-politik yang serius.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, kecerobohan penguasa Orde Baru dalam mengelola masalah etnisitas harus dibayar mahal dengan merebaknya konflik antar-etnis pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an. Konflik etnis di Ambon, Sampit, Sambas, dan tragedi 1998 yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan etnis Tionghoa adalah contoh nyata betapa keragaman etnis di Indonesia belum bisa menjadi berkah sosial (social capital), namun justru menjadi sumber keresahan politik yang bersifat laten.
Terobosan teoretik
Dihadapkan pada pluralisme kebudayaan yang menguat belakangan ini, para ilmuwan sosial semestinya mampu menawarkan terobosan teoretik yang dapat menjelaskan dinamika etnisitas secara lebih komprehensif. Tesis lama yang meyakini munculnya identitas kemanusiaan universal akibat modernisasi kebudayaan, misalnya, harus segera direvisi.
Karena dinamika masalah etnisitas pun sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekadar penjelasan tentang asal-usul ras manusia. Karena ternyata ia juga terkait dengan sumber-sumber identitas lainnya seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik. Ditambah lagi dengan munculnya prasangka stereotipik yang cukup ”mencemaskan” seperti penyebutan orang China adalah ”pedagang”, orang Batak itu ”Kristen”, orang Padang ”perantau”, orang Bugis ”nelayan”, dan sebagainya.
Prasangka semacam ini kerap kali menjadi sumber terjadinya konflik antar-etnik di negeri ini. Maka sudah seharusnya setiap strategi penanggulangan konflik berbasis etnisitas mensyaratkan dialog intensif. Di mana gambaran tentang identitas etnis lain tak lagi berdasar prasangka, namun lantaran pengenalan dan pemahaman.
Dalam skala makro, dialog antarbudaya dianggap sebagai sebuah cultural complex: rangkaian proses yang memotivasi setiap orang untuk menyaring, menyusun, memisahkan, memilih, dan mengaktifkan tanda-tanda kultural supaya pertemuan kebudayaan yang berbeda lebih produktif dan bermakna (Gurnah, 1997:123). Melalui pertemuan dan pertukaran budaya, diharapkan akan berkembang makna-makna kultural baru, yang dapat menciptakan kartografi makna kultural yang kompleks. Dan, pada setiap titik pertemuan ini, terjadi pula reposisi makna, nilai, dan identitas.
Dan semua itu tak terjadi secara instan, semacam budaya kloning. Karena cultural complex sebenarnya bukanlah sebuah idealisasi kondisi, melainkan proses panjang untuk mencari kemungkinan-kemungkinan pemahaman bagi tetap tegaknya toleransi.
* Afthonul Afif Mahasiswa, Psikologi Pascasarjana UGM, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008
No comments:
Post a Comment