Saturday, March 15, 2008

Opini: Pak Sartono dan Asketisme Intelektual

-- Dewi Puspitasari*

BIOGRAFI sejarawan Prof Dr Aloysius Sartono Kartodirdjo, Jumat (14/3), diluncurkan di Yogyakarta.

Buku berjudul Membuka Pintu Bagi Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirdjo itu ditulis oleh sejarawan muda, M Nursam. Buku itu tidak hanya menggambarkan pergumulan intelektual dan sikap hidup asketis, tetapi juga sumber inspirasi dan teladan dalam membangun peradaban bangsa tanpa melupakan sejarah. Melupakan sejarah berarti menutup pintu bagi masa depan.

Asketisme intelektual

Asketisme menjadi pilihan dan hidup Sartono. Bagi Sartono, orang yang menjalani asketisme ialah mereka yang melakukan latihan untuk menjadi ”orang olah jiwa” moral dan religius. Artinya, semua usaha itu untuk menghilangkan keinginan atau nafsu jasmaniah. Ia sadar, tiap pilihan hidup memiliki risiko. Namun, ia telah membuktikan, dengan kerja keras, kreativitas, kejujuran, disertai kedisiplinan tinggi, seseorang bisa berhasil dan berkarya di bawah cahaya asketisme.

Di tengah gemuruh pembangunan dan dampaknya—pragmatisme, materialistik, hedonis, dan serba mendewakan materi— Sartono kukuh pada pilihannya sebagai intelektual, tidak tergerak sedikit pun untuk terjun ke dunia birokrasi dan politik praktis, meski memiliki kesempatan besar.

Pengaruh dan bentukan dari nilai-nilai kejawen, yang merupakan struktur sosial budaya dan nilai-nilai Kristiani di mana Sartono dibentuk, melekat dan membentuk pandangan hidupnya sebagai manusia Jawa. Hal itu menempatkan hidup prihatin sebagai bagian watak budaya dan kelak berperan besar dalam pergumulan intelektualnya.

Sikap asketis Sartono bertolak belakang dengan kenyataan bangsa ini, apalagi jika melihat perilaku pejabat dan elite politik negeri ini.

Pergumulan Sartono

Dunia wayang amat dekat dengan kehidupan Sartono sebagai orang Jawa dan ada dalam atmosfer budaya abangan. Dunia wayang membentuk perasaan moral dan kesadaran estetiknya sebagai anak Jawa.

Sebelum memasuki pendidikan formal, Sartono mendapat pendidikan informal dalam keluarga dan lingkungannya. Ayahnya, Tjitrosarojo, berperan besar dalam pergulatan awal pendidikan Sartono. Dalam ruang budaya Jawa itulah Sartono menjalani sosialisasi pada tahap awal kehidupan. Selain sebagai pegawai, Tjitrosarojo juga mempunyai apresiasi besar terhadap sejarah dan sastra Jawa. Nilai-nilai itu berpengaruh terhadap pandangan dan tindakan yang menjadi acuan dalam mendidik anak-anaknya.

Meski pendidikan formal memperkenalkan Sartono kepada budaya Barat, ia tak melupakan budaya Jawa. Ia mulai dari HIS, MULO, dan HIK. Perpindahannya ke HIK merupakan titik kisar pertama dalam perjalanan hidupnya. Di HIK, Muntilan (1936-1941), ia menampilkan sosok Sartono Kartodirdjo yang berbeda dengan sebelumnya. Sartono ingin membaktikan hidupnya untuk Tuhan, menjadi bruder, tetapi gagal. Itulah awal pergumulan batin Sartono. Mengingat kondisi ekonomi orangtuanya, Sartono memilih menjadi ”guru”, profesi yang digeluti hingga akhir hayatnya.

Semangat Sartono dalam studi begitu tinggi. Ia seakan tak peduli dengan berbagai interupsi. Sakit tak mematahkan semangatnya untuk memburu ”harta karun” ilmu pengetahuan meski dengan segala keterbatasannya. Ia telah membuktikan mampu melewatinya dengan baik.

Kerja keras

Sartono menggeluti sejarah dari jurusan sejarah Universitas Indonesia, Universitas Yale di AS, hingga Universitas Amsterdam. Itulah hidup penuh kerja keras, ketekunan, ketelitian, ketuntasan, dan kesempurnaan. Ia membalutnya dengan kedisiplinan dan keprihatinan hingga akhirnya membentuknya menjadi ”begawan sejarah Indonesia”.

Sartono telah membuka pintu dan arah bagi historiografi Indonesia. Dalam disertasinya, The Peasants Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia, ia menggambarkan, petani atau wong cilik juga bisa menjadi aktor utama sejarah. Dalam sejarah kolonial wong cilik hanya dipandang sebelah mata. Sartono adalah sejarawan yang ”memihak” wong cilik, yang juga aktor penting dalam sejarah.

Remmelink, kolega Sartono, mengatakan, bagi dunia sejarawan Indonesia, peran Sartono tak ternilai tingginya. Tulisan-tulisannya ”obyektif dan ilmiah”. Ia melihat apa yang telah dihasilkan Sartono tidak ada hubungannya dengan metode penelitian atau pendekatan ilmiah. Namun, semuanya berakar pada karakter dan sifat Sartono. Tampaknya, karakter itu tidak terlepas dari sikap hidup asketisnya.

Walaupun nilai-nilai Kristiani ikut membentuk pribadinya, Sartono tidak pernah tersekat-sekat dalam masalah rasial/keagamaan. Bagi Sartono, agama adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Sikap itulah yang menjadi nilai sosialnya dalam bergumul di dunia intelektual yang plural.

Dalam pergumulan intelektualnya, Sartono menghasilkan banyak karya amat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan sejarah dan sosial di Indonesia. Tentu pergumulan itu bukan tanpa hambatan. William F Frederick, kolega Sartono di Universitas Yale, berkata, ”Ketika di Yale, dengan keterbatasan fasilitas, Sartono tidak pernah mengeluh untuk menghasilkan tulisannya meski di ruang sempit ditemani mesin ketik manual.”

Multiperspektif

Usia bukan halangan bagi Sartono untuk terus bergumul dengan tulisan-tulisannya, meski sejak 1957 harus bekerja dengan sebelah mata. Karya-karya besar terus lahir. Pada usianya yang ke-80 (2001), ia masih menerbitkan buku, Indonesian Historiography. Tentu semua itu berkat dorongan keluarga, terutama istrinya, Sri Kadaryati.

Sartono juga tidak tersekat dalam sebuah disiplin ilmu. Ia tidak hanya bergulat dengan ilmu sejarah disiplin utamanya, tetapi juga melibatkan diri dengan aneka persoalan kebangsaan dan kemanusiaan. Maka, karya-karyanya dilakukan dengan pendekatan multiperspektif. Itu semua terbukti saat menjadi Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (1973—1981), karyanya amat beragam, seperti aneka persoalan pembangunan, demokrasi, kemiskinan, konflik bersenjata, dan masalah kemanusiaan lainnya.

Sartono adalah cendekiawan Indonesia! Karakteristik cendekiawan melekat dalam pribadinya. Ia amat ekspresif, vokal menyuarakan aneka pemikirannya, kritis, mengidentifikasi masalah dalam konteks sosial-budaya, melakukan analisis tajam, membuat perumusan kesimpulan, dan menyusun program masa depan berdasarkan perspektif historis yang komprehensif.

* Dewi Puspitasari, Rimbawati; Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Maret 2008

No comments: