-- Anung Wendyartaka*
ADA dua perbedaan mencolok yang dirasakan perempuan novelis Nh Dini sewaktu memperingati hari ulang windu (8 tahunan) terakhir, yakni saat peringatan 8 windu atau 64 tahun dan 9 windu atau 72 tahun yang jatuh pada tanggal 29 Februari 2008 lalu. Perasaan takut, kaget menghadapi masa tua, tidak dirasakan Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, nama lengkap Nh Dini, di usianya saat ini. Perasaan itu justru muncul pada saat peringatan ulang tahun ke-64 pada tahun 2000 lalu.
"Sekarang saya 72 tahun, kok merasa lebih tenang. Yo wis-lah kalau tambah setahun yo ra po-po (ya tidak apa-apa),” ujar Dini. Perasaan lebih tenang dengan bertambahnya umur ini sudah ia sadari sejak memasuki usia 70 tahun.
”Yang kaget, justru sewaktu ulang windu sebelum ini, saat umur 64 tahun. Kaget saya! Rupanya saya sudah tua, tapi saya kok tidak merasa tua,” kata Dini menambahkan. Kala itu ada perasaan bersalah dan penyesalan dalam dirinya terhadap semua yang pernah ia lakukan sebelumnya. Bahkan untuk menebus kesalahan yang pernah ia jalani itu terbersit di pikirannya untuk bisa kembali ke zaman dulu dan mengulang semua hal yang pernah terjadi dengan hal-hal yang menurutnya lebih baik.
Rasa penyesalan dan bersalah tersebut telah berlalu justru dengan bergulirnya waktu. ”Ya sudah, dilakoni saja. Jadi, tidak ada perasaan sedih, ndak ada perasaan merasa tua menuju 80 tahun. Saya enggak merasa bahwa ini suatu beban, jalani saja satu langkah lagi ke depan,” papar Dini. Menurut Dini, situasi mirip seperti ini tergambar dalam bukunya terakhir yang diluncurkan bersamaan dengan peringatan 9 windu yang berjudul Argenteuil, Hidup Memisahkan Diri.
”Ibu saya pernah membisikkan kata-kata yang membikinku sekali lagi ’pasrah’ sewaktu ada perasaan penyesalan yang mendalam dan menggugat keputusan Yang Kuasa karena sahabatku Anis meninggal: éling Ndhuk, éling! Apakah kita ini! Hanya manusia yang masing-masing diberi jatah dan ragam kehidupan menurut kuasa-Nya. Dia sudah memperhitungkan semua lakon dan usia setiap makhluk bagaikan penulis skenario andal,” kata Dini. Mendengar bisikan ibunya itu Dini akhirnya merasa harus menuruti garis hidupnya sendiri.
Bertambahnya usia ternyata tidak menyurutkan Dini untuk terus menulis dan menulis. Buku terakhirnya Argenteuil, Hidup Memisahkan Diri yang kembali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama merupakan kelanjutan dari rangkaian buku seri Cerita Kenangan sebelumnya. ”Jadi, ini bukan novel. Saya buat serangkaian seri kenangan yang pura-puranya tokoh utamanya saya,” jelas Dini. Ia juga menolak kalau Seri Kenangan disebut sebuah riwayat hidup atau otobiografi. Menurut Dini, Cerita Kenangan tidak bercerita melulu mengenai dirinya, melainkan juga tentang kejadian dan manusia-manusia di lingkungannya selama ia hidup yang mengandung arti suvenir atau kenangan.
Karya pertama seri Cerita Kenangan berjudul Sebuah Lorong di Kotaku (1986). Buku ini ditulis Dini sewaktu bekerja sebagai perawat Tuan Willm di kota Argenteuil, Perancis. Isinya bercerita mengenai berbagai peristiwa dalam perjalanan hidup Dini dan keluarganya di kawasan atau lingkungan di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Sebuah rumah di gang kecil yang pada kedua sisinya dialiri selokan dalam di pojok Kampung Sekayu di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Berikutnya menyusul buku cerita kenangan lain seperti, Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1987), Kuncup Berseri (1996), hingga yang terbit tahun 2007 berjudul La Grande Borne. Buku seri Cerita Kenangan yang sudah diterbitkan hingga saat ini seluruhnya berjumlah 11 buku, termasuk yang baru diterbitkan tahun ini Argenteuil, Hidup Memisahkan Diri (2008).
Argenteuil mengisahkan kehidupan Dini saat pertama kalinya hidup memisahkan diri lepas dari suaminya, Yves Coffin, seorang diplomat Perancis. ”Nah, ini merupakan periode hidup menyendiri lagi dalam berumah tangga,” kata Dini. Berbeda dengan karya sebelumnya, La Grande Borne, yang isinya penuh dengan kepedihan, pada Argenteuil Dini bisa lebih lancar dalam menuliskannya. ”Rasanya ada kepuasan hidup tanpa pendamping yang begitu menekan. Ya, ada semacam ...(menghela napas) lepas dari beban yang berat,” ujar Dini.
Periode Nh Dini memisahkan diri dari keluarga ini lantaran suaminya, Yves Coffin, mendapat tugas baru menjadi Konsul Jenderal Perancis di Detroit, Amerika Serikat. Hubungan suami istri yang semakin memburuk di antara keduanya pada saat itu membuat Dini memutuskan untuk tidak ikut ke AS. Hanya suami dan anak laki-laki bungsunya, Pierre Louis Padang, yang saat itu masih berumur 8 tahun yang berangkat ke Detroit, sementara ia dan putri sulungnya, Marie Claire Lintang, tetap tinggal di Perancis karena Lintang masih harus menyelesaikan sekolahnya untuk mendapatkan ijazah Bacalaureat.
Argenteuil adalah sebuah kota kecil yang letaknya kurang lebih 10 kilometer barat laut Perancis. Di sinilah Dini mulai kembali hidup sendiri dengan bekerja sebagai wanita pendamping (dame de compagnie) seorang laki-laki tua, Tuan Willm, di sebuah rumah besar yang sebelumnya pernah ditinggali Karl Marx. ”Hidup sendiri tapi tidak kesepian,” kata NH Dini. Lintang hanya di akhir pekan saja tinggal bersamanya karena Lintang harus tinggal di asrama.
Rasa pedih dan bosan hidup berumah tangga seperti yang diceritakan Nh Dini dalam La Grande Borne sudah tidak tampak dalam buku terbarunya ini. Kesedihan yang mendalam akibat ditinggal ’kekasih’-nya yang meninggal karena kecelakaan, yakni Maurice si Kapten Bagus, juga sudah hilang. Nh Dini justru merasa berbahagia karena ia akhirnya bisa bertemu dengan keluarga Kapten Bagus, bahkan mendapat kesempatan mengunjungi rumah masa kecil tempat kekasihnya dibesarkan.
Obsesi keliling dunia
Saat ini, Nh Dini menikmati masa tuanya dengan tenang di Wisma Lansia Langen Werdhasih di kaki Gunung Ungaran, 30 km sebelah selatan Kota Semarang. Ia di sana sejak akhir 2006. Raut wajahnya yang terlihat lebih muda seolah menyembunyikan usianya. ”Mungkin ini juga, karena ya, hidup tinggal menjalani saja. Memang banyak orang melihat saya kelihatan lebih muda, terutama kalau tidak melihat saya jalan. Soalnya, saya kalau jalan lebih pede (percaya diri) pakai teken (tongkat). Sudah dua tahun ini saya terkena osteoarthritis,” jelas Dini. Untuk mengatasi sakitnya itu, ia rutin mengonsumsi vitamin D, vitamin khusus untuk tulang rawan dan tusuk jarum.
”Saya sudah 30 tahun ini tusuk jarum ke Pak Tjiong di Jagalan. Saya dan dia bahkan sudah angkat saudara. Jadi, enggak perlu bayar, papar Dini sambil tertawa.
Hari-harinya kini masih dilewatkan dengan menulis buku serta sesekali diundang menjadi pembicara atau berceramah, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada bulan November 2007 lalu, ia sempat mewakili Indonesia untuk menghadiri ”Jeounju 2007 Asia-Africa Literature Festival” di Korea Selatan. Naskah buku seri Cerita Kenangan periode setelah Argentieul yang diberi judul Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang sudah ia selesaikan namun tidak akan diterbitkan dulu. ”Ada sekitar 200 halaman. Tapi karena ada dua atau tiga orang yang saya harus ganti namanya. Sebenarnya, orangnya sendiri enggak masalah, tapi lingkungannya yang mungkin belum bisa menerima. Jadi terpaksa saya lompati langsung ke Pondok Baca periode saya sudah tinggal kembali di Semarang,” jelas Dini.
Kendati sudah merasa lebih tenang menghadapi masa tua, masih ada kegelisahan dalam dirinya karena ia masih menyimpan dua obsesi yang belum tercapai.
”Pertama, saya kepengin keliling dunia ke berbagai universitas di dunia yang ada jurusan Sastra Indonesia. Saya ingin ketemu muka dengan mereka yang belajar Sastra Indonesia. Kenapa mereka mau belajar Sastra Indonesia. Atau paling tidak bisa keliling daerah-daerah di Indonesia, keliling ke SMA-SMA, dialog di aula dengan wakil murid-murid, sharing soal sastra, kenapa saya menggeluti sastra, dan sebagainya,” kata Dini.
Kegelisahan yang kedua adalah ia ingin pemerintah daerah atau perusahaan swasta ada yang mau memberi dana abadi untuk kesehatannya.
”Saya ingin hidup santai dan enggak perlu lagi menghitung duit terus untuk urusan kesehatan. Di Malaysia kan para pengarang juga mendapatkan hal itu dari pemerintah atau kerajaan,” tambah Dini.
Selain itu, ia juga gelisah melihat perkembangan dunia sastra di Tanah Air saat ini. Menurut Nh Dini, karya sastra anak muda sekarang cenderung dangkal. ”Mereka itu hanya memaparkan fisik saja, kedalamannya enggak ada,” tutur Dini. Hal ini disebabkan karena sastrawan-sastrawan muda sekarang kurang riset dan kurang bacaan.
”Orang muda kita ini membaca tidak, melihat ya... hanya melihat begitu saja, mendengar juga tidak, karena mereka hanya ingin omong sendiri. Cuma memuaskan diri saja. Akibatnya, deskripsinya enggak ada kedalaman, hanya tampangnya saja,” kata Dini menambahkan.
* Anung Wendyartaka, Litbang Kompas
Sumber: Kompas, Senin, 17 Maret 2008
No comments:
Post a Comment