PENYAIR yang terkenal dengan sebutan si "Burung Merak" WS Rendra, Selasa (4/3) menyampaikan orasinya berjudul "Megatruh Kambuh, Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu" di hadapan civitas akademika UGM, dan sejumlah tokoh sastra di Balai Senat UGM dalam rangka penganugerah gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC).
WS Renda (sp/yc kurniantoro)
Rendra berbicara soal zaman Kalatida, Kalabendu dan Kalasuba dari karya Ronggowarsito di pertengahan abad 19. Kalatida adalah zaman dimana akal sehat diremehkan, antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak berbatas. Zaman Kalabendu adalah zaman yang stabil namun dilandasi dengan penindasan. Zaman Kalasuba, adalah zaman ketidakadilan didewakan.
Rendra yang tak sempat merampungkan studinya di Fakultas Sastra UGM itu memaparkan, hingga masa reformasi ini, ternyata Indonesia masih saja menjalankan undang-undang warisan penjajah Belanda, yang sebenarnya sudah tidak relevan.
Bagi penyair ini, undang-undang sekarang, sama-sama menerapkan keunggulan daulat pemerintah di atas daulat rakyat. Juga menerapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak pada etika.
Menurut Rendra, Pancasila juga ternyata hanyalah simbol yang tertembus kritik, tetapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, satu sila yang indah ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat, tak punya implementasi dalam undang-undang.
Kalatida akan berlaku terus dan alam Kalabendu sedang berjalan, bahkan sudah menjadi kenyataan. "Inilah zaman kacau, zaman kejahatan menang, orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, hedonisme menjadi dewa. Mikul duwur mendem jero sudah lepas dari konteks dan berganti menjadi 'kalau anda berkuasa dan perkasa maka berdosa boleh saja'," tegas Rendra.
WS Rendra dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 ini merupakan orang ke-19 yang memperoleh Dr HC dari UGM.
Tidak Lulus
Meski tak sampai lulus dari UGM, Rendra melanjutkan pendidikan di American Academy of Dramatics Arts di New York tahun 1967, dan kemudian dia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.
Antara April-Oktober 1978, dia ditahan Pemerintah Orde Baru karena pembacaan sajak-sajak protes sosialnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Kumpulan puisi Rendra seperti Balada Orang Tercinta (1956), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), Mencari Bapak (1997) sarat dengan kritik sosial.
Rendra sendiri mengaku gelar doktor dari UGM ini merupakan kebanggaan tersendiri buatnya saat usianya sudah menginjak 73 tahun. "Saya tidak akan mengajar, karena tidak bisa. Kalau mengajar mahasiswinya nanti malah saya pacari," kata Rendra sambil berkelakar.
Salah satu promotornya, Prof Dr Siti Chamamah Soeratno mengatakan, meski Rendra tidak menyelesaikan studinya di Jurusan Sastra Inggris FIB pada tahun 1960-an, karya-karyanya sangat mewarnai perkembangan dunia seni dan sastra Indonesia.
"Rendra punya konsistensi dengan apa yang gelutinya dan selalu menghasilkan karya-karya besar. Dia memang layak menerima gelar," kata Chamamah.
Kembali pada orasi Rendra, berkaca pada tulisan Ranggawarsita, yang menjabarkan bahwa Ratu Adil akan datang bersama Zaman Kalasuba, Rendra justru ingin agar zaman itu dihindari. Dalam zaman itu, kata Rendra, akan diawali dengan chaos build-in dan akan tumbuh kestabilan dan keteraturan. Namun kestabilan itu akan mengembalikan situasi bangsa pada zaman otoritarian. Kelangsungan kedaulatan rakyat dan kedaulatan manusia menjadi tak berarti lagi.
Apabila para ahli hukum terlambat membahas dan memperbaiki kenyataan adanya kesenjangan antara ius dan lex, chaos layaknya Revolusi Prancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat diktator akan berlaku pula pada bangsa ini.
Sekadar sabar dan tawakal? Tak akan bisa menyelesaikannya. "Apakah kita ingin merasakan zaman Kalasuba yang dikuasai oleh diktator? Atau dikuasai oleh kekuasaan asing seperti di Timor Leste. Oleh karena itu kita harus aktif mengembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan sehingga menjadi lebih baik untuk daya hidup dan daya cipta bangsa," ujar Rendra.
Tidak ada Ratu Adil. Keadilan tetap harus mengacu pada hukum yang adil, mandiri, dan terkawal. [SP/Fuska Sani Evani]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 4 Maret 2008
No comments:
Post a Comment