Sunday, March 16, 2008

Bangun Kembali Keindonesiaan Kita, Kebudayaan Diharapkan Menjiwai Kebijakan-kebijakan Politik

Yogyakarta, Kompas - Menghadapi berbagai persoalan kebangsaan, sudah saatnya bangsa Indonesia membangun kembali keindonesiaannya yang sampai saat ini belum juga terbentuk secara utuh. Untuk itu diperlukan pendekatan kebudayaan dalam menyusun kebijakan-kebijakan politik yang menyejahterakan rakyat.

Sultan HB X meluncurkan buku yang bertajuk Merajut Kembali Keindonesiaan Kita di Gedung Pascasarjana UGM, Yogyakarta, Sabtu (15/3). Lewat buku ini Sultan berharap kebudayaan dapat menjiwai kebijakan-kebijakan politik dan menjadikannya kebajikan publik yang bisa membawa manfaat bagi kebaikan bersama. (Kompas/Wawan H Prabowo)

”Sekarang, ketika banyak daerah yang melepaskan diri dari induknya menjadi provinsi atau kabupaten baru, dan banyaknya permasalahan bangsa yang tak kunjung ada solusinya, terasakan bahwa keindonesiaan kita memang perlu dirajut kembali,” kata Sultan Hamengku Buwono X pada peluncuran buku karyanya, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, di Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Sabtu (15/3).

Seperti yang terungkap dalam pembukaan pameran seni Biennale Jogja IX bertema Neo-Nation tahun 2007, lanjut Sultan, masyarakat Indonesia masa kini sesungguhnya bukan lagi merupakan konstruksi pluralisme tradisional, suku, agama, atau ras, tetapi merupakan konstruksi neopluralisme.

”Artinya, struktur kemajemukan masyarakat saat ini tidak lagi bersifat massa, tetapi semakin spesifik terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil,” tutur Sultan.

Peta pluralisme pun menjadi semakin kompleks. Keberagaman justru cenderung menyempit, mengkristal dalam kelompok. Ironisnya, keberagaman terkadang hanya sekadar dimaknai bahwa orang lain tidaklah lebih baik daripada kelompoknya sendiri.

Di sisi lain, rajutan historis dan pluralisme tidak tumbuh dengan baik sehingga keindonesiaan yang terbentuk belum sepenuhnya utuh. Akibatnya, seperti yang terjadi saat ini, bangsa Indonesia terkotak-kotak sehingga identitas keindonesiaannya pun rapuh.

”Politik identitas dalam format identitas suku daerah dan agama mudah menguat, misalnya dalam istilah putra daerah. Tuntutan pemekaran daerah pun sering kali dipicu oleh menguatnya politik identitas,” papar Sultan.

Jika tidak berhasil diberdayakan menjadi modal sosial, kemajemukan bangsa bukan saja tidak akan memberikan kontribusi apa pun bagi pembentukan keindonesiaan. Namun, kemajemukan juga dapat mengancam stabilitas dan eksistensi bangsa.

”Agar keragaman bangsa dapat memberikan kontribusi signifikan dalam konsolidasi keindonesiaan, maka mimpi bersama tentang keindonesiaan harus diciptakan,” ucap Sultan.

Mimpi itu bisa diwujudkan dengan bersama-sama merajut kembali persatuan, kesatuan, dan keindonesiaan lewat pendekatan budaya. Dengan pendekatan budaya yang tekun dan teliti, budaya etnik-etnik akan teranyam dalam serat-serat budaya yang saling menguatkan.

Pemikiran

Melalui penuangan pemikiran-pemikiran berbasis pendekatan budaya dalam Merajut Kembali Keindonesiaan Kita yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan diedit Julius Pour, Sultan berharap kebudayaan dapat menjiwai kebijakan-kebijakan politik dan menjadikannya kebajikan publik yang bisa membawa manfaat bagi kebaikan bersama.

Dalam prolog diskusi buku karya Sultan itu, Sabtu kemarin, sutradara Garin Nugroho menyampaikan, pendekatan budaya dan nilai-nilai keutamaan dalam buku tersebut mampu mengilustrasikan dengan jelas bagaimana menjalankan fungsi-fungsi negara yang sangat penting.

Menurut Garin, ada tiga aspek penting bagi negara yang disebutkan dalam buku Sultan, yaitu negara yang berbasis multikultural, penempatan agama sebagai rahmat—bukan sebagai umat, dan kemampuan mengidentifikasi wilayah geopolitik dan geostrategis sebuah bangsa.

Ketua Dewan Penasihat Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Surya Paloh menyampaikan dalam epilognya, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita merupakan buku pintar yang mampu menjawab berbagai pertanyaan untuk membangun kembali rumah besar bernama Indonesia yang saat ini mulai rapuh dan rusak hingga terancam roboh.

Peluncuran buku kemarin juga disertai dengan bedah buku bersama empat pembicara, yaitu Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komarudin Hidayat, Ketua Senat UGM Soetaryo, Ketua Fatayat NU Maria Ulfah, Mira Lesmana mewakili masyarakat perfilman Indonesia, dan Franciscus Welirang mewakili pengusaha.

Merajut Kembali Keindonesiaan Kita berisi pemikiran-pemikiran Sultan yang sudah pernah disampaikan kepada publik dalam berbagai kesempatan. Pemikiran-pemikiran itu dikelompokkan dalam lima topik rajutan, yaitu kebudayaan, kebangsaan, ekonomi, politik serta hukum, dan pertahanan keamanan. (DYA)

Sumber: Kompas, Minggu, 16 Maret 2008

No comments: